Hamid Jabbar

Super Hilang, Segerobak Sajak Hamid Jabbar: Keseriusan yang Tak Kenal Lelah

Hamid Jabbar

Super Hilang, Segerobak Sajak Hamid Jabbar: Keseriusan yang Tak Kenal Lelah

Maman S Mahayana

Puisi bukanlah caci-maki. Ia juga tidak sekadar ungkapan perasaan melankolis remaja yang cengeng. Seperti juga ragam karya sastra lainnya, sangat mungkin puisi dimanfaatkan sebagai alat untuk mengungkapkan kegelisahan penyair ketika ia mesti berhadapan dengan ketidakadilan, ketidakberdayaan atau manakala ia merindui cinta ilahiah. Oleh karena itu, di tangan penyair, puisi dapat menjadi semacam potret kehidupan atau ekspresi subjektif penyairnya sendiri. Inilah yang terjadi dalam antologi Super Hilang (Balai Pustaka, 1998; xii + 397 halaman) karya Hamid Jabbar. Sebuah antologi yang berisi 143 sajak yang dihasilkannya lebih dari seperempat abad lamanya (1972–1998).

Dari segerobak puisi itu, ada beberapa catatan yang agaknya pantas dikemukakan berkenaan dengan itu.

Pertama, secara tematis puisi-puisi dalam antologi ini dapat dikelompokkan ke dalam dua tema besar: kerinduan kepada Sang Khalik (religius) dan sikap permusuhan pada penguasa (kritik sosial). Secara konsisten, Hamid menggarap kedua tema itu dengan memanfaatkan apapun yang mungkin dapat dijadikan sebagai alat pengejawantahannya. Meskipun bentuk tipografi mendominasi pemanfaatan itu, ia juga kerap menggunakan kekuatan bunyi yang bersumber dari tradisi lisan, repetisi, onomatope, bahkan jika perlu, tanpa apapun sekadar untuk mengungkapkan kesunyisepian yang hendak digambarkannya (periksa “Zikrullah”: 21, hlm. 32 atau dalam “Doa Terakhir Seorang Musafir”, hlm. 101).

Dengan cara yang sama, ia ulangi pula dalam “Doa Para Penguasa Sepanjang Masa” meski yang disebut terakhir ini justru untuk melukiskan hal yang sama sekali berbeda. Dari sudut ini, tampak bahwa Hamid secara serius telah berusaha memanfaatkan apapun untuk kepentingan puisinya, meskipun dalam peta perjalanan puisi Indonesia modern, hal ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru.

Kedua, keseriusan Hamid Jabbar dalam menggarap puisi-puisinya tampak dari cara pengolahan kedua tema besar di atas (religius dan kritik sosial). Dalam sejumlah besar puisinya, Hamid sengaja memadukan kedua tema itu, sehingga memunculkan begitu banyak paradoks. Di satu pihak, ia mengungkapkan permusuhannya dengan penguasa korup, biadab, dan menindas, dan di lain pihak ia menyatakan kecintaan, kerinduan, dan ketidakberdayaannya di hadapan Sang Khalik.

Dengan demikian, perlawanannya pada penguasa seolah-olah diwujudkan dalam kepasrahannya di hadapan Sang Maha Penguasa. Inilah yang menyebabkan sejumlah puisi Hamid memunculkan serangkaian paradoks. Gambaran ini pula yang mengesankan posisi penyair seakan-akan berada dalam tarik-menarik antara kegelisahannya sebagai anggota masyarakat dan kerinduannya sebagai makhluk Tuhan. Dalam tarik-menarik antara dua sisi yang berbeda itulah, penyair terjepit dalam posisi yang penuh ketidakberdayaan. Satu hal yang khas yang jarang dilakukan penyair kita. Ini pula yang menjadikan puisi Hamid berbeda dengan puisi penyair lain.

Ketiga, adanya beberapa revisi atas sejumlah karya yang telah dipublikasikannya, memperlihatkan juga bahwa puisi bagi Hamid Jabbar merupakan sesuatu yang penting. Demikian juga adanya proses penciptaan beberapa puisinya yang diselesaikannya dalam rentang waktu yang relatif lama dan terjadi di beberapa tempat, mengesankan bahwa puisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosok seorang Hamid Jabbar. Jika hal ini dianggap sebagai sebuah kelemahan, maka itu justru memperlihatkan keseriusan yang mengagumkan. Hamid Jabbar dengan puisinya merupakan dua hal yang, barangkali, tidak dapat dipisahkan. Puisi telah menyatu dalam kehidupan Hamid.

Keempat, meskipun antologi ini mengangkat dua tema besar (religius dan kritik sosial), secara lebih spesifik sesungguhnya antologi ini memperlihatkan tema-tema yang sangat beragam. Keberagaman ini justru menjadi menarik lantaran Hamid berusaha membungkusnya lewat berbagai cara. Oleh karena itu, sangat wajar jika kita menemukan adanya begitu banyak pengaruh, seperti persajakan dalam tradisi lisan (mantra atau kaba), pantun, nyanyian dolanan anak-anak, dan pengaruh para penyair sufi. Dengan demikian, dalam banyak hal, puisi-puisi dalam antologi ini justru sangat kaya pengaruh yang lalu berpadu dan menjelma ke dalam karya-karya Hamid, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam antologi Super Hilang ini.

Kelima, kekayaan pengaruh sebagaimana dinyatakan di atas, justru menjadi sesuatu yang khas dan bukan sekadar tempelan, lantaran Hamid juga memanfaatkan berbagai kemungkinan tipografi. Bentuk puisi naratif yang kadang kali diselingi bentuk puisi tradisional (pantun, syair, atau mantra), merupakan beberapa contoh dari kesungguhan Hamid memanfaatkan segala bentuk tipografi dan pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya. Jadilah puisi-puisi Hamid tidak tampak monoton dan berhasil menghidar dari bentuk-bentuk yang klise. Bahkan sekaligus memperlihatkan kekhasannya.

Dilihat dari keseriusan penyair dalam proses kreatifnya dan menjadikan puisi sebagai sesuatu yang penting dan telah menyatu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kepenyairannya, maka antologi antologi puisi Super Hilang ini patutlah kita sambut baik. Ada banyak hal yang memperlihatkan kepada kita, bahwa menulis puisi bukanlah sekadar main-main. Ia menjadi pekerjaan yang serius yang memerlukan kekayaan pengalaman batin dan keluasan pengalaman intelektual. Dalam konteks inilah, Hamid Jabbar telah mengejawantahkan peran sosialnya sebagai sastrawan.