Slamet Sukirnanto: Mengenang Penyair yang Merawat Kesusastraan Indonesia
Sihar Ramses Simatupang
Hanya rawa/Aku ingin bicara/Roh padang terbuka/Merintih ke angkasa.//
Hanya rawa/Dirimu di sana/Cermin tubuh dan jiwa/Makin melebar/Membelah luka.//
Jarak waktu antara periode 1960-an hingga sekarang yang setengah abad lebih, membuat kenangan generasi milenial ketiga pada kisah prahara politik, ideologi dan kebudayaan hanya menyisakan dokumentasi yang tercatat di buku sejarah. Di dalamnya, tentu saja termasuk peristiwa Manifestasi Kebudayaan dan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang keras menentangnya.
Slamet Sukirnanto, penyair yang berpulang 23 Agustus 2014 pada usia ke 73 tahun adalah sastrawan Angkatan 1966, sebagaimana halnya kita mengenal sosok Taufiq Ismail, Wahid Situmeang, dan banyak lagi sastrawan lainnya.
Sebelum tahun 2010, Slamet Sukirnanto sering terlihat dalam aktivitas kesenian di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lelaki bertubuh kecil dan berambut pendek itu tampil dengan gaya sederhana. Pakaiannya rapi, lebih suka mengenakan kemeja ketimbang kaus oblong, sama sekali tak mengesankan sosok yang “tak hanya” pernah mengisi kebudayaan Indonesia, tetapi juga sejarah kebangsaan dan politik Indonesia di masa silam. Dialah salah satu sastrawan yang pernah mengukir sejarah Manifestasi Kebudayaan.
Seperti dikatakan sastrawan Eka Budianta lewat surat elektroniknya, “Slamet Sukirnanto tidak pernah jaga gengsi, apalagi jaga jarak dengan sastrawan muda atau penyair marginal. Saya senang bersamanya membantu beragam acara Komunitas Sastra Indonesia di Tangerang.”
Kepergian Slamet Sukirnanto, seketika mengurut kembali puisi-puisinya. Buku puisinya: Kidung Putih (1967), Jaket Kuning (1967), Gema Otak Terbanting (1974), Bunga Batu (1979), dan Catatan Suasana (1982).
Ciri khas karya penyair ini selain lembut nuansanya, plastis, juga kerap mengangkat berbagai lokasi alam setiap dia berkeliling mengunjungi wilayah baru di Indonesia. Petikan teks di atas adalah bagian dari puisinya yang berjudul “Hanya Rawa” yang ditulis dengan titimangsa Banjarmasin, Mei 1979.
Karya Slamet Sukirnanto menjejak sendiri di tengah protes blak-blakan seperti disuarakan Taufiq Ismail atau sajak-sajak liris Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi Slamet kadang tampak simbolik, meski masih terang mengacu pada situasi nyata yang dihadapi publik.
Dengan demikian, kendati ada terasa bentuk liris dan kontemplatif pada puisinya, Slamet tetap tak menihilkan kondisi sosial-politik yang terjadi di luar dirinya. Hal ini bisa jadi dipengaruhi jejak perjalanannya.
Putra dari pelukis R Goenadi itu juga pernah aktif menentang Orde Lama, antara lain lewat kumpulan sajaknya dalam bentuk stensilan yang berjudul “Jaket Kuning” (1967).
Ia pun pernah menjadi anggota DPRGR dan MPRS sebagai wakil mahasiswa pada 1967-1971. Fenomena ini dilihat Eka Budianta sebagai peran pentingnya dalam perpuisian Indonesia “mengesahkan sastra di kancah politik. Ia terpilih menjadi anggota MPR(S) karena artikulasinya sebagai penyair muda sekaligus mahasiswa pejuang.”
Hal itu sangat berguna sebagai legitimasi untuk sajak-sajak lain sebagai alat perjuangan bagi angkatan 1966. Sejak saat itu puisi selalu dipakai untuk berdemo, unjuk-rasa, pidato politik.
Maka bersama Slamet ada Taufiq Ismail, Mansur Samin, Goenawan Mohamad, dkk yang tampil membawa angin baru, zaman baru. Sebelumnya, politik bisa masuk sastra tapi tidak sebaliknya. “Sayang cuma sebentar – karena Pak Harto kurang memanfaatkan sastra untuk mengisi program pembangunan yang dipujanya. Jadinya – cuma fisik,” papar Eka lagi.
Slamet Sukirnanto, sebagaimana sastrawan lain dari kalangan mana pun, mulai LKN, Lesbumi, Manifestasi Kebudayaan hingga Lekra, adalah zamrud panjang sejarah sastra Indonesia yang tak bisa lekang dari catatan kebangsaan kita.
Ia penggerak kesusastraan, kesenian sekaligus kebudayaan Indonesia. Untuk itu, perlu lagi disitir pendapat Eka, setelah kematian sosok penyair yang satu ini. “Untuk generasi sekarang, sebaiknya tidak melupakan Slamet Sukirnanto. Orangnya bersih, tegas, dan tak banyak pamrih. Ia contoh pekerja seni yang sederhana, jujur, dan teliti. Semoga di antara anak muda ada yang siap meneliti karya-karyanya,” ujarnya.
Dalam pembicaraan tentang Slamet, sastrawan yang dijuluki Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, menyatakan kesedihannya. “Slamet, kawan seperjuangan dan kepenyairan. Kami kerap tampil bersama dalam berbagai kegiatan sastra,” ujar Sutardji. Ditambahkan pula, penting artinya mengenal Slamet Sukirnanto, agar masyarakat dapat menghargai dunia kepenyairan kita.
Penyair lainnya yang juga Angkatan 1966, Taufiq Ismail, mengatakan, Slamet adalah pelaku sejarah dan termasuk golongan muda di masa itu – termasuk Taufiq yang usianya 6-7 tahun lebih muda.
Menurut Taufiq, pengalaman Slamet bersama kawan yang sebaya dengannya itulah yang menempanya untuk menulis jaket kuning. Aktivitas Slamet di bidang politik dan kehidupan sosial memerlihatkan wawasan dan perhatiannya yang luas sekali pada masalah kebangsaan. “Tak terlupakan, dia juga merespon masalah sensitif di Indonesia, termasuk apa yang harus dilakukan bangsa ini lewat puisinya seperti pembauran dan toleransi. Dia gigih dan terus menerus melaksanakan kegiatan tersebut,” ujar Taufiq.
Buku dan Keluarga
Bagi putra Slamet Sukirnanto, Fajar Sidiq, pribadi penyair besar ini dapat akrab sebagai seorang bapak yang menyenangkan, figur orangtua yang hangat namun juga tetap tertib di dalam kehidupannya. Para penyair kerap mampir ke rumahnya, sebutlah penyair Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, hingga Rendra. Mereka sering mampir ke rumah Slamet sehingga anak-anak penyair yang beristrikan Bulkis Sukirnanto ini terbiasa dengan dunia kesenian.
Namun, yang unik, ayahnya itu melarang anak-anaknya menjadi seniman. Slamet bilang, dirinya tak ingin ada dua seniman di rumah ini. Namun, kenyataannya, Fajar yang diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, justru memilih kuliah di Komunikasi Massa di Universitas Sebelas Maret dan Institut Seni Indonesia Jurusan Seni Rupa di Surakarta. Berkarya seni rupa, malah kerap aktif sebagai pengamat dan kurator seni visual di berbagai tempat dan di berbagai karya perupa Indonesia. Takdir yang tak dapat dicegah sang ayah.
“Ayah saya menyerah. Akhirnya, mau tak mau dia menerima penampilan baru rambut gondrong saya yang kelihatan nyeniman waktu itu,” ujar putra keenam Slamet ini, ketika diminta mengenang mendiang ayahnya.
Kecintaannya pada dunia pendidikan dan keilmuan ternyata dibawa Slamet Sukirnanto ke dunia keluarga. Buku-buku di dalam rak rumah berisikan banyak bidang keilmuan dari filsafat, buku sastra, hingga biografi. Buku-buku itu pun disosialisasikan kepada enam anaknya.
Hal itu diakui Fajar, “Ketika itu, bapak menjejali kami buku-buku biografi. Mulanya kami tak mengerti kenapa itu penting, ternyata biografi akan berefek, agar kita mencintai dan bangga kepada tokoh masa lalu. Termasuk keberhasilan mereka, para penemu, tokoh budaya dan teknologi,” tutur Fajar.
“Bapak tak pernah memaksa, tapi dia menjadikan rumahnya sebagai jendela dunia. Dia menggiring anaknya ke toko buku atau lapak buku loakan. Saya terbiasa ke Jalan Kramat (lapak buku bekas-red) untuk menemani ayah saya,” katanya.
Begitulah sosok penyair Slamet Sukirnanto dan kita mengenangnya sebagai penyair yang menyadari peran kepenyairannya dalam kehidupan berbangsa!
Leave a Reply