Hari Raya Puisi

Sebuah Sikap, Sebuah Apresiasi

Hari Raya Puisi

Sebuah Sikap, Sebuah Apresiasi

Maman S Mahayana

(Prolog Hari Raya Puisi: Antologi Puisi Pemenang Anugerah HPI 2013-2017)

Hari Raya Puisi! Itulah judul yang terpilih dari sekian banyak kata, frasa, klausa, dan kalimat yang ditawarkan sebagian masyarakat kita untuk melabeli buku ini. Pengusulnya, mungkin punya filosofi di sebaliknya: mengapa Hari Raya Puisi, tetapi mungkin juga tidak. Di luar perkara itu, kita menjumpai metafora yang pas dalam kaitannya dengan penerbitan antologi puisi karya para pemenang Anugerah Hari Puisi ini.

Hari Raya adalah sebuah penanda waktu yang di sana ada peristiwa besar. Tidak ada hari raya tanpa filosofi di belakang dan di depannya. Bagi umat Islam, Iedul Fitri atau Iedul Adha, misalnya, adalah hari besar yang menyimpan berbagai peristiwa sejarah dan ideologi. Bagi umat yang beragama apa pun, hari raya menyimpan sakralitas; sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa suci. Meski buku ini elok tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang suci, nilai-nilai dalam proses penciptaan puisi, bahkan karya lain sebagai produk kreativitas manusia, kerap menyelusup sesuatu yang kadang bersifat sakral. Ada kesucian yang tersembunyi, ada misteri yang kadang tak terpahami oleh logika formal.

Begitulah, selalu ada energi gaib dalam proses kreatif apa pun. Mungkin lantaran Tuhan berada dalam singgasana-Nya sebagai Sang Mahakreator, maka manusia yang melakukan penciptaan, kreasi atau rekreasi, kerap dianugerahi kekuatan gaib, sihir, atau spirit apokaliptik. Puisi adalah pergulatan penyair dalam mengejawantahkan proses kreatifnya. Ia sedang melakukan penciptaan –atau penciptaan kembali—sebagai representasi sifat Tuhan. Oleh karena itu, dalam sejumlah kasus, selalu saja lahir puisi yang wujud sebagai –meminjam istilah Sapardi Djoko Damono—karya “wahyu”. Saya meyakini itu. Maka, setiap karya kreatif apa pun –dalam hal ini puisi—sering kali membuka peluang bagi puisi itu membawa nasib baiknya sendiri. Mungkin ia lahir prematur dan wafat setelah proses persalinan. Mungkin juga ia jadi anak saleh yang tak jarang mengangkat dan membawa penyairnya entah ke mana. Itulah mukjizat puisi!

Pernyataan di atas boleh jadi terkesan hiperbolis. Tetapi, pengalaman telah mengajari, bahwa Tuhan memang memberi keistimewaan kepada makhluk manusia, sehingga derajatnya lebih tinggi dari makhluk lain. Dalam kehidupan sosial, keistimewaan itu dapat pula mengangkat manusia yang bersangkutan derajatnya lebih tinggi dari manusia lain. Lalu apa keistimewaannya itu? Kreativitas! Itulah anugerah yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepada umat manusia: kreativitas. Puisi tidak lain adalah produk kreativitas. Hanya penyair yang kreatif yang akan menghasilkan puisi yang baik, yang cerdas, yang menjadikan pembacanya tidak dibikin pusing tujuh keliling, melainkan pancaran aura bahagia lantaran disodori banyak makna. Puisi memang ajaib, dan oleh karena itu, diyakini, puisi tak pernah mati.

Begitulah puisi, meski ia kerap diperlakukan secara berlebihan atau dipercaya sebagai pancaran risalah Tuhan, ia tetaplah produk manusia. Oleh karena itu, dalam pengertian ini, puisi harap tetap ditempatkan sebagai karya yang sepatutnya punya marwah dan martabat, sebab di sana—dalam puisi— ada nilai-nilai penciptaan dan penciptaan itu lahir lewat proses kemuliaan kreativitas. Kesimpulannya: penyair adalah manusia kreatif!

***

Hari Raya Puisi adalah penghargaan pada manusia-manusia kreatif yang bernama penyair. Mereka menjelmakan puisi bukan sekadar menderetkan kata-kata menjadi frasa, klausa, atau kalimat yang dipaksa diindah-indahkan; juga tidak bertujuan hendak menggelembungkan deretan kata-kata itu menjadi semacam curhat, menghadirkan lompatan-lompatan pikiran yang maknanya hanya diketahui oleh Tuhan atau menyemburkan luahan sumpah-seranah yang menjelma umpatan caci-maki. Hari Raya Puisi adalah serangkaian capaian dari pergulatan penyair merayakan kata dalam perjuangannya mencapai nilai-nilai estetika dan sekaligus meluaskan makna (kata). Ada perburuan pada kedalaman makna kata yang dalam bahasa Chairil Anwar … sampai ke putih tulang!

Hari Raya Puisi dapat pula dipandang sebagai capaian estetika, stilistika, dan pengolahan tema menjadi sesuatu yang khas, unik, tetapi dengan tetap menyimpan nilai-nilai universal. Maka, tanpa bermaksud melebihkan, puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini, dapat dianggap sebagai (1) puisi pilihan terbaik menurut para penyairnya sendiri; dan (2) puisi karya para penyair terbaik Indonesia dalam lima tahun terakhir ini (2013—2017) menurut versi Yayasan Hari Puisi sebagai penyelenggara Anugerah Hari Puisi. Setidak-tidaknya, puisi-puisi dalam buku ini tidak lahir secara instan. Ada proses seleksi yang ketat dan tidak sederhana. Ada proses pemilihan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, estetika, dan sosial. Bahwa di luar sana ada nama-nama penyair lain, ada puisi-puisi lain yang juga dapat dianggap sebagai puisi terbaik, tentu saja hal itu sebagai sebuah keniscayaan. Tetapi, puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini adalah karya para jawara yang mendapat kehormatan sebagai pemenang Anugerah Hari Puisi yang diselenggarakan Yayasan Hari Puisi.

***

Penerbitan buku antologi Hari Raya Puisi ini, bolehlah ditempatkan sebagai perayaan puisi yang sepatutnya dapat dinikmati siapa pun juga, penyair atau yang bukan atau belum jadi penyair. Publik mustahak tahu, mengerti, dan ikut menimbang-nilai, sejauh mana capaian yang ditorehkan para penyair kontemporer kita dewasa ini. Dalam konteks ini, kita tak perlu silau pada nama-nama, sebab yang terpenting dari nama-nama itu adalah kiprah kepenyairannya. Oleh karena itu, perkara objektivitas adalah kata kuncinya. Berdasarkan sikap dan penilaian objektif itulah kita dapat menempatkan kepenyairan sebagai profesi yang pantas diapresiasi dalam kehidupan kemasyarakatan kita.

Dalam kehidupan kepenyairan Indonesia, Hari Raya Puisi adalah sebuah sikap tegas, bahwa arena perjuangan para penyair adalah permainan, perburuan, dan penemuan yang menjadikan bahasa manusia punya harga dan nilai kemanusiaan. Manusia—lewat kreativitasnya, menciptakan bahasa. Tetapi, bahasa manusia bukan benda yang beku, diam dan bergeming di tempatnya. Bahasa manusia adalah entitas yang hidup, dinamis dan terus bergerak lincah sejalan dengan perubahan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya masyarakatnya.

Ketika manusia terjerat oleh pesona alam, takzim pada kekuatan gaibnya, dan berkehendak melakukan perdamaian dengan alam, lahirlah bahasa yang merepresentasikan kedekatannya dengan alam. Tetapi, manakala perubahan sosial-budaya mengganggunya, lahir pula petatah-petitih, nasihat, ekspresi etis, dan ujaran-ujaran kecintaan manusia pada kehidupan yang harmoni, penuh cinta-kasih, saling hormat dan tenggang rasa. Begitulah, manusia yang lantaran dianugerahi kreativitas, ia akan membangun bahasa yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lingkungannya. Dampaknya, bahasa manusia akan terus bergerak, membebaskan diri dari kondisi stagnan, berkehendak melepaskan belenggu yang mengikat kretivitas. Maka, tidak perlu heran, jika dalam perjalanan sejarah umat manusia, gerakan pembebasan itu akan terus terjadi sepanjang zaman. Pertanyaannya: siapakah yang tampil sebagai penggerak itu? Jenis manusia macam apa yang emoh tunduk pada misteri nasib, lalu menguak takdir?

Itulah manusia yang perjuangan hidupnya berada di tengah arena bahasa. Tanpa jenis manusia itu, bahasa manusia akan terpuruk pada kutuk tempurung, semacam dengan kerakap yang tumbuh di batu, mati segan hidup tak mau. Para penyair ( : sastrawan) dan mereka yang lapangan perjuangannya berada di tengah arena bahasa adalah jenis manusia itu. Mereka adalah peneroka, penerabas, dan pembuka sekat yang mengganjal kreativitas. Oleh karena itu, Hari Raya Puisi adalah perayaan kemenangan penyair pada sikap tegasnya sebagai profesional yang menentang pembonsaian bahasa, menolak ekspresi normatif yang artifisial, dan tak hendak taklid pada buih-busa bahasa. Hari Raya Puisi seyogianya dapat dimaknai sebagai sikap tegas penyair dalam memainkan peranannya hidup berkebudayaan.

Atas sikap itu, publik perlu memberi apresiasi. Itulah soalnya. Tanpa karya, bagaimana mereka dapat melakukan apresiasi? Hari Raya Puisi yang menghimpun puisi-puisi terbaik karya para penyair jawara adalah objeknya. Biarlah publik ikut melakukan penilaian terhadapnya.

Dalam peta perpuisian Indonesia, Hari Raya Puisi mewartakan tidak hanya kiprah nama-nama mapan atau yang mulai mapan, tetapi juga nama-nama baru yang berkat karyanya, mereka menyeruak mengibarkan panji kepenyairannya. Itulah mukjizat kreativitas. Ia dapat menebas ruang dan waktu. Lewat kreativitasnya itu pula, ia tampil dengan puisi-puisi yang tidak sekadar. Tidak ada kekuatan apa pun yang dapat membendungnya. Ia hadir dengan kekuatan gaibnya. Lalu bagaimana kualitas karya mereka? Biarlah publik ikut menilainya.

***

Hari Raya Puisi adalah salah satu bentuk apresiasi pada kejayaan puisi. Ia mesti ditempatkan sebagai momen kemenangan, meski kita tidak tahu, entah sampai kapan hari raya puisi ini dapat bertahan. Tetapi inilah awal mula kita menetapkannya sebagai sikap: bahwa Anugerah Hari Puisi yang kemudian melahirkan Hari Raya Puisi serba-sedikit tetaplah punya nilai sakral jika ia dikaitkan dengan puisi sebagai pengejawantahan kreativitas.

Tuhan menganugerahi manusia yang berbeda dengan makhluk hidup lain, bukan pada organ yang bernama otak an sich, melainkan pada otak yang di sana tumbuh subur kreativitas. Itulah otak yang kreatif, bukan otak yang beku dan koclak. Bukankah binatang dan hewan pun punya otak, tetapi tidak merepresentasikan kreativitas. Binatang dan hewan bergerak secara naluriah, meski mereka juga punya otak. Manusia idiot, orang gila atau wong gemblung, juga dalam batok kepalanya tersimpan otak. Tetapi lantaran ada kelainan, mereka tak melahirkan kreativitas. Nah, begitu. Puisi mustahil lahir tanpa kreativitas. Oleh karena itu, ia punya nilai sakral, jika dikaitkan dengan kesadaran manusia mengagungkan sifat Tuhan: Sang Pencipta, sumber segala kreativitas. Dengan menempatkan puisi sebagai representasi sifat Tuhan yang menjadi anugerah manusia, kita—manusia—laksana debu dalam jagat raya ciptaan-Nya, tetapi sekaligus juga sebagai pemantik kesadaran, agar manusia merayakan kreativitas dalam kehidupan sesama manusia.

Puisi-puisi karya para pemenang Anugerah Hari Puisi yang terhimpun dalam buku ini, tentu saja tidak mewakili keseluruhan model estetik yang lahir, tumbuh, dan berkembang di jagat kepenyairan Indonesia. Meskipun begitu, kita berani mengklaim sebagai mewakili sebagian peta kepenyairan Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Atau, dapat dianggap sebagai puisi-puisi terbaik perpuisian Indonesia menurut versi Yayasan Hari Puisi, sebuah yayasan nirlaba yang berhasil mensosialisasikan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia, tarikh yang diambil berdasarkan tanggal lahir penyair Chairil Anwar, 26 Juli 1922. Penetapan itu dilakukan oleh puluhan penyair Indonesia di Pekanbaru, Riau, 22 November 2012. Setelah ditandatangani para penyair, teks deklarasi dibacakan oleh presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.

Sebagaimana yang disampaikan dalam surat permohonan kepada para penyair pemenang Anugerah Hari Puisi, persoalan yang melatarbelakangi pentingnya antologi puisi ini diterbikan adalah adanya kesulitan publik sastra, khususnya penyair di Indonesia, mendapat buku-buku antologi pemenang Anugerah Hari Puisi. Hal yang sama terjadi pada beberapa teman penerjemah dari berbagai negara yang hendak menerjemahkan puisi-puisi Indonesia yang representatif dianggap sebagai puisi Indonesia terbaik. Atas pertimbangan itu, Yayasan Hari Puisi coba mengambil jalan tengah dengan menerbitkan buku antologi puisi karya para pemenang Anugerah Hari Puisi. Lahirlah Hari Raya Puisi ini.

***

Bagi perpuisian Indonesia, Hari Raya Puisi bolehlah ditempatkan sebagai kecenderungan mutakhir kepenyairan kita, meski kita tahu, bahwa ada banyak kecenderungan lain yang beredar di luar nama-nama yang terhimpun dalam buku ini. Tak jadi soal. Tokh hidup itu sendiri, mustahil dapat dirangkum dalam satu genggaman. Meski begitu, setidak-tidaknya, Yayasan Hari Puisi coba menyuguhkan sumbangan para penyair bagi perpuisian Indonesia, dan Yayasan Hari Puisi menyuguhkannya kembali sumbangan mereka bagi Indonesia!