Sastra di Tengah Budaya Kaum Pecundang
Maman S Mahayana
Sungguh luar biasa sihir Piala Dunia! Perhatian segenap bangsa di jagat ini seperti tersedot dan tumpah pada layar kaca. Tukang becak berteriak histeris. Kesebelasan yang dijagokannya, menang. Ia berjingkrak memegang uang taruhan. Dan kaum cerdik-pandai, politisi, para eksekutif atau buruh bangunan, hanyut pula dalam tontonan yang secara langsung, sebenarnya tak ada kaitannya dengan keadaan yang terjadi di negeri ini.
Sebuah stasiun tv swasta, memahami betul maniak para pecandu bola. Berbagai mata tayangan seperti hendak memanjakan mereka. Kuis-kuis dengan hadiah uang berlimpah memperlihatkan, betapa pentingnya sepak bola. Sponsor pun berlomba-lomba menjadi sinterklas. Tak ketinggalan, koran-koran menambah jumlah halamannya. Begitu royal media cetak itu memajang potret apa pun yang berkaitan dengan sepak bola.
Sihir hiburan massal memang dahsyat. Ia dapat menghipnotis berbagai lapisan masyarakat. Dalam sesaat seseorang bisa mendadak menjadi mitos; pahlawan yang tiba-tiba dipuja macam dewa, diangkat setinggi langit dan dihujani bonus kemewahan. Setelah itu, ia sekadar jadi legenda yang hanya penting untuk dirinya sendiri atau dicampakkan. Yang tersisa hanya cerita masa lalu; catatan sepenggal nostalgia tentang zamannya.
Pertanyaannya: apa maknanya buat kehidupan manusia? Adakah sangkut-pautnya dengan kehidupan bangsa kita ini? Apakah dengan segala keroyalan dan kemewahan itu, kesebelasan kita tiba-tiba mampu menyeruak masuk menjadi salah satu tim Piala Dunia? Dengan memanjakan para maniak bola, adakah jaminan bahwa mereka tak membuat lagi kerusuhan ketika kesebelasan yang dijagokannya kalah? Itulah sihir sepakbola yang seketika bisa membuat banyak orang lupa apa pun. Sepak bola seolah-olah telah menjadi segala-galanya bagi kehidupan ini. Ia seperti telah menjadi agama baru.
Boleh jadi, dilihat dari satu sisi, itu merupakan representasi kultur pecundang. Mereka bangga atas kehebatan orang lain. Meringkuk dan menikmati hidup dalam ketiak orang lain, seolah bakal menyelesaikan semua masalah. Hidup menjadi bayang-bayang, memang tak berisiko. Tetapi itulah seburuk-buruknya karakter. Itu pula yang diharamkan eksistensialisme. Maka, pernyataan: ?Jadilah diri sendiri, dan hiduplah sebagai manusia unggul!? seperti suara tak bermakna. Adagium Descartes, cogito ergo sum ?aku sadar maka aku ada? juga bagai kehilangan relevansinya lagi, karena memang, menonton sepak bola tidak perlu berpikir.
***
Tradisi menonton tanpa dibebani macam-macam, apalagi jika mesti berpikir segala, agaknya telah menjadi virus yang tanpa sadar menggerogoti sikap kritis dan budaya baca. Berbagai macam bentuk tontonan yang ditayangkan stasiun tv di negeri ini seperti memberi pembenaran pada usaha untuk tidak menghargai pikiran. Perhatikan saja iklan-iklan tv. Yang ditawarkan tak jauh berkisar pada persoalan perut (makanan dan minuman), urusan mandi (sabun, sampo, sikat dan pasta gigi), gaya hidup, dan tak satu pun iklan buku! Lihat juga tayangan sinetron, telenovela atau kuis-kuis dengan iming-iming hadiah menggiurkan. Titik tekannya sekadar hiburan an sich. Manakala hiburan ditempatkan di atas segalanya maka tak dapat lain, pilihannya jatuh pada budaya populer. Sebuah produk budaya yang mengumbar selera rendah dan mengeksploitasi emosi murahan, naif, dan primitif.
Sebagai produk budaya yang bersifat massal, ia dapat diapresiasi oleh hampir semua kalangan. Massalisasi itu erat kaitannya dengan tujuan ekonomi yang hendak dicapainya. Jadi, sejauh menguntung dan mendatangkan materi, ia akan diproduksi secara massal sekadar hendak memanjakan selera publik, gaya hidup, dan mimpi-mimpi. Itulah kecenderungan yang kini sedang terjadi dalam diri sebagian besar masyarakat kita. Hidup tanpa berpikir, menonton sebagai bagian penting dari aktivitas keseharian, dan cita rasa pada gaya hidup sebagai usaha mengangkat martabat; gengsi.
Lalu, bagaimanakah dampaknya bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa? Jika kondisi ini terus berlangsung, pemerintah masih tetap menempatkan dirinya sebagai penguasa, elite politik sekadar mengurusi perutnya sendiri, aparat masih kerap pat-pat-gulipat, dunia pendidikan masih jadi alat uji-coba yang tiada henti, dan stasiun tv terus-menerus mencekoki masyarakat dengan sajian mimpi, maka menjadi bangsa pecundang tinggal menunggu waktu saja (atau kini bangsa ini telah jadi pecundang?).
***
Mencermati sejarah perjalanan hidup bangsa ini, jelas sudah bahwa Indonesia dibangun dan didirikan oleh kaum intelektual. Sejumlah nama dengan gampang dapat kita sebutkan begitu saja. Mereka, para pendiri bangsa ini, tentu saja memainkan peran kebangsaannya dengan intelek dengan memanfaatkan wawasan dan pemikirannya. Tanpa itu, mustahillah lahir kesadaran kebangsaan (1908), kesadaran untuk membangun kultur sendiri (Polemik Kebudayaan?Surat Kepercayaan Gelanggang?Manifes Kebudayaan). Jika kini pembangunan kebudayaan seperti terpinggirkan dan marjinal, maka sungguh, itu tidak hanya berkhianat pada semangat para pendiri bangsa ini, tetapi juga ?murtad? pada ruh yang mendiami pelosok negeri.
Ruh keindonesiaan adalah keberagaman etnisitas. Maka yang disebut Indonesia adalah kepelosokan itu yang di dalamnya lahir, hidup, dan berkembang-biak etnis-etnis dengan keanekaragaman kultur yang menyelimuti dan memancar dalam peri kehidupan kesehariannya. Kesadaran ini boleh jadi memberi ruang yang lebih bebas dan leluasa bagi pertumbuhan dan perkembangan kultur etnis. Kesadaran ini juga mesti dipahami sebagai keniscayaan yang sesuai dengan semangat keindonesiaan. Dengan begitu, desentralisasi merupakan salah satu jalan keluar dari penjara yang memasung kreativitas kultural.
***
Dalam lingkup yang lebih khusus, sastra sesungguhnya mempunyai tempat yang potensial bagi usaha-usaha pemahaman atas kesadaran itu. Sastra Indonesia yang lahir dari ruh kultural pengarangnya, senantiasa menyodorkan kegelisahan atas problem etnis, kultur, dan secara keseluruhan: problem kemanusiaan. Oleh karena itu, meski sudah sejak lama kegelisahan itu disodorkan para sastrawan kita, kini kesadaran itu perlu disebarkan kepada khalayak yang lebih luas: masyarakat bangsa!
Bahwa pemerintah dan dunia pendidikan kita masih kurang memberi apresiasi atas kekayaan kebudayaan dan khasnya, kesusastraan kita, tak berarti kita putus asa dan berhenti memperjuangkannya. Lahirnya poros-poros kesusastraan di berbagai daerah dengan kesadaran mengusung problem kultur-etnis, seperti Bali, Bandung, Banjarmasin, Jakarta, Lampung, Madura, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan entah wilayah mana lagi, menunjukkan betapa mereka sesungguhnya ?sadar atau tidak? telah mengejawantahkan ihwal multikulturalisme atas pemahaman kultur-etnis yang melingkarinya. Dengan begitu persoalannya tinggal, bagaimana jalinan komunikasi yang lebih mesra melalui pertukaran informasi dapat ditumbuhkan. Bagaimana Melayu atau Minangkabau dapat diapresiasi Sunda, Bali atau Jawa. Demikian juga sebaliknya.
***
Jakarta, barangkali dapat diasumsikan sebagai bentuk miniatur Indonesia. Atau, anggaplah ia merepresentasi Indonesia, mesti tidak dalam kerangka dan pemahaman dominasi dan sentralitas. Oleh karena itulah, munculnya komunitas-komunitas sastra di wilayah Jabotabek, seyogianya dipahami sebagai bentuk miniatur keindonesiaan itu. Di sana, ada Jawa, Sunda, Padang, dan sejumlah etnis lain. Mereka tentu saja tidak dapat melepaskan ruh kultural yang telah melahirkan dan membesarkannya. Maka, komunitas itu, potensial menyebarkan pemahaman berbagai-bagai kultur-etnis.
Dari komunitas-komunitas inilah, tidak berlebihan jika kita berharap mereka tidak hanya menawarkan keberagaman kultur-etnis, tetapi juga menyodorkan kultur yang lebih membumi dan menyodorkan sesuatu yang dapat menjadi bahan pemikiran kita. Ia tidak sekadar mendesak kita untuk membaca fenomena, tetapi juga menjadikannya sebagai bahan pergulatan intelektual. Boleh jadi, melalui itu? Salah satunya? Kita tidak hendak memubazirkan intelek kita. Sebab, hanya para pecundang yang lebih suka dan terbiasa menganggurkan inteleknya. Maka, jika intelek dan pemikiran kita secara sadar atau tidak, telah dipensiunkan, bersiaplah kita jadi pecundang.
Leave a Reply