Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono dan…

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono dan…

Maman S Mahayana

Ada sedikitnya, tiga faktor pudarnya wibawa kritik sastra Aliran Rawamangun dalam mempertahankan reputasinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI).
Pertama, para pendukung aliran ini mulai tidak lagi solid. M.S. Hutagalung hengkang ke Malaysia dan mengajar di sana. Tulisan-tulisan H.B. Jassin tidak lagi segencar tahun 1950-an. Beberapa buku yang dihasilkan Jassin, seperti Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia dan Surat-Surat tidak langsung bersentuhan dengan praktik kritik sastra. S. Effendi dari Pusat Bahasa dan Boen S. Oemarjati tidak banyak (lagi) menulis di koran. M. Saleh Saad, juga belum sempat merumuskan gagasan-gagasannya tentang kritik sastra.

Kedua, peranan A. Teeuw dalam berbagai penataran sastra yang diikuti dosen-dosen dari sejumlah universitas terkemuka di Indonesia, memberi pengaruh lain pada sosok A. Teeuw. Secara perlahan reputasi Teeuw mulai menjadi orientasi bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia. Pengaruhnya mulai menggeser reputasi kritik Aliran Rawamangun.

Ketiga, kehadiran Sapardi Djoko Damono (SDD) di FSUI yang lalu menawarkan mata-mata kuliah (a) Sosiologi Sastra dan (b) Sastra Bandingan memberi warna lain bagi model kritik sastra di FSUI yang lalu merembet ke jurusan-jurusan sastra (Prodi) di FSUI. Secara perlahan menyebar pula pengaruhnya ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Belakangan pengaruh SDD menjadi sangat menonjol, karena selain dia mengajar sendiri mata-mata kuliah itu, skripsi sastra mulai tidak lagi berkutat pada pendekatan intrinsik. SDD pula yang menawarkan mata kuliah Sastra Populer, dengan fokus kajian pada khazanah sastra pop.
SDD sendiri dengan latar belakang sastra Inggris (UGM), mengajar sastra Indonesia (FSUI), memilih penelitian disertasinya sastra Jawa di bawah bimbingan sosiolog, Harsya W. Bachtiar.

***

Kembali, saya beruntung menjadi salah seorang murid SDD. Dua mata kuliah Sosiologi Sastra dan Sastra Bandingan sebagai mata kuliah pilihan Prodi Indonesia, menjadi sangat populer di kalangan mahasiswa FSUI. Saya mengikuti kedua mata kuliah itu. Cara mengajarnya santai, cenderung agak liberal, dan tentu saja tugas-tugas makalah dan Take Home Test menjadi bagian penting dari mata kuliah itu. Satu hal yang juga penting dari sistem mengajar yang dilakukan SDD adalah tugas membaca. Untuk mata kuliah Sastra Bandingan, misalnya, sebelum kuliah dimulai, mahasiswa diwajibkan membaca sekitar 8—12 karya sastra (novel, drama, puisi) Indonesia dan asing. Hal yang sama berlaku untuk mata kuliah Sosiologi Sastra (Bahkan, untuk mata kuliah Drama, SDD mewajibkan 15 drama, dari Bebasari, Rustam Effendi sampai Kapai-Kapai, Arifin C. Noer, termasuk naskah drama asing yang absurd).

Berbagai teori dan konsep sastra bandingan disampaikan secara sepintasan. Teori digunakan sebagai dasar analisis, tetapi tidak ditempatkan sebagai segala-galanya. Jadi cukup sekadar memahami konsep, metode, dan tujuan penelitian sastra bandingan. Tokh tujuannya adalah membandingkan—menganalisis karya sastra. Selebihnya, diskusi tentang karya sastra. Beberapa teman yang belum sempat menyelesaikan bacaannya, buru-buru merampungkannya. Sebab, tanpa cantelan pada karya yang diwajibkan itu, dia hanya akan jadi pendengar yang baik.
Sekadar informasi, beberapa karya yang wajib dibaca: Dataran Tortila—John Steinbeck, Sebuah Desa Bernama Poon—Jose Rizal (Filipina), Pohon Tanpa Akar—Syeid Walilullah (Bangladesh), Perempuan di Titik Nol (Mesir), Istri untuk Putraku (Aljazair), Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich—Alexandre Solzentsin, Catatan Bawah Tanah—Dostoyevsky (Rusia), Bumi yang Subur—Pearl S. Buck, Catatan Harian Seorang Gila—Luxun (cerpen), Bukan Pasar Malam—Pram, Kawat Berduri—Trisno Sumardjo, Ronggeng Dukuh Paruk—Tohari, Senja di Jakarta dan Harimau-Harimau—Mochtar Lubis. Drama: Kebun Tjeri—Anton Tjecov, Bila Malam Bertambah Malam dan Dag-Dig-Dug—Putu Wijaya, Menunggu Godot, beberapa drama Jepang (lupa judul dan nama pengarangnya). Puisi: Afrika yang Resah—Okot Bitek, puisi-puisi romantik Inggris, Prancis, Cina, dan Jepang, dan Pengakuan Pariyem.

Kira-kira itu yang saya ingat, tetapi sekitar lima atau enam karya masih tercecer. Yang pasti, mengikuti kuliah-kuliah SDD, kami betul-betul dibuat kenyang, dan sekaligus lapar. Kenyang karena setumpuk buku wajib dibaca, dan lapar karena kami makin sadar, masih terlalu banyak buku yang belum kami baca, dan SDD menyampaikannya santai saja, seolah-olah dia berkata, “Yang kalian baca itu, belum apa-apa. Masih terlalu banyak karya sastra dari pengarang dan negara lain. Maka, perbanyak dulu membaca buku khazanah sastra sendiri.”

Bagusnya, mata kuliah itu diikuti pula oleh beberapa mahasiswa jurusan asing (Arab, Cina, German, Inggris, Jepang, Prancis, Rusia), sehingga mereka diminta menjelaskan latar belakang sosio-budaya-politik kelahiran karya tersebut dari sumbernya langsung. Tugas mahasiswa jurusan Rusia, misalnya, diminta menjelaskan kehidupan politik yang melatarbelakangi lahirnya novel Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovich. Maka, gambaran kamp konsentrasi Siberia sangat membantu pemahaman kita tentang bagaimana tokoh Ivan dari sehari ke sehari, dalam bekapan dingin dan lapar, berjuang hanya untuk bertahan hidup.
SDD kerap mengingatkan, bahwa (karya) sastra tidak datang dari langit. Ia lahir dari sebuah proses yang rumit hasil interaksi sastrawan dengan lingkungan masyarakatnya. Maka, analisis sosisologis—bahkan juga dalam analisis sastra bandingan—faktor situasi sosial-politik perlu mendapat perhatian. Di sini, seorang peneliti tidak hanya dituntut memahami sejarah kelahiran sebuah teks, kondisi dan situasi kehidupan masyarakatnya, tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat, psikologi, dan seterusnya, yang penting untuk dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengungkapkan kekayaan teks (sastra). Itulah yang mendorong kami rajin ikut mata-mata kuliah dari jurusan lain, terutama filsafat, untuk mengikuti mata kuliah Sastra dan Psikoanalisis (Sastrapratedja), Filsafat Ilmu Pengetahuan (Slamet Imam Santoso), Sejarah Komunisme (Franz Magnis Suseno), bahkan juga Filsafat Ketuhanan (Kees Bertens).

Pengaruh SDD di FSUI tampak jelas dari pilihan mahasiswa menggarap skripsi. Kini, apa pun yang berkaitan dengan sastra—termasuk alih wahana novel-film, bisa dijadikan bahan skripsi. Meskipun demikian, SDD tidak begitu saja membebaskan penulisan skripsi mahasiswa. Untuk Sosisologi Sastra, misalnya, selain buku tipis yang ditulisnya, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar (1978) dan Sastra Indonesia sebelum Perang (1978) yang jadi rujukan, ada beberapa buku lain yang patut dicermati dengan baik. Diingatkan pula, perlunya berhati-hati dalam memilih referensi. Saya memperhatikan betul pesannya.

Bagi saya, buku Sosiologi Sastra karya Umar Junus (pertama diterbitkan Dewan Bahasa kemudian diterbitkan Gramedia), misalnya, terkesan memperlakukan karya sastra seperti matematika. Umar Junus dalam buku itu membuat semacam bagan-bagan matematis untuk menghitung jumlah lakuan, hubungan tokoh, dan pola penceritaan yang kemudian menghasilkan angka-angka. Saya juga masih ingat tentang sebuah skripsi yang membahas novel Keluarga Gerilya, Pram, lewat kajian stilistika. Sebagai ilmu, tentu saja cara apa pun diizinkan, sejauh ada pertanggungjawaban ilmiahnya. Tetapi, buat saya, cara itu sangat mungkin malah membuat pembaca skripsi itu tidak punya minat untuk membaca karya sastranya. Apa yang dilakukan penulis skripsi pada karya Pram itu? Ia menghitung jumlah kata kerja aktif dan kata kerja pasif yang terdapat dalam novel itu. Hasilnya: Pram lebih banyak membuat kata kerja aktif daripada pasif. Kesimpulannya: Pram cenderung aktif!

Lihat juga skripsi-skripsi (sastra) yang ditulis sejumlah besar mahasiswa IKIP. Mereka menggunakan bagan-bagan yang memuat angka-angka, rumus-rumus dan perhitungan statistik dan entah apa lagi. Apakah karena penekanannya pada pengajaran, maka model skripsinya seperti itu. Mungkin saya keliru, tapi sampai sekarang, tidak ada orang yang dapat meyakinkan saya, bahwa model skripsi yang demikian dapat menumbuhkan minat orang (yang membaca skrispi itu) untuk membaca karya yang diteliti.

Kembali, sebagai ilmu, apa pun diizinkan, tetapi cara itu—menurut hemat saya— tidak merangsang minat orang untuk membaca karya sastra. Juga terkesan tidak menghidupkan apresiasi terhadap karya itu. Hal yang sama terjadi ketika karya sastra diperlakukan sebagai teks kebahasaan. Lalu analisis linguistik digunakan untuk membongkar struktur kalimat dalam karya itu. Hasilnya, kembali yang muncul angka-angka. Mengapa penelitian sastra yang seyogianya kualitatif, malah dilakukan secara kuantitatif? Kalaupun bukan angka-angka, struktur kalimat dilihat secara sintaksis atau semantik, lalu dari situ disimpulkan kualitas karya itu. Jadi karya sastra diperlakukan sebagai objek gramatika.

Memperlakukan karya sastra sebagai sebuah teori tentang sastra, juga tentu tidak adil. Sejumlah skripsi (sastra) yang menganalisis novel lewat pendekatan intrinsik, dalam beberapa kasus cenderung memperlakukannya sebagai teori tentang sastra. Dengan berpegang teguh pada gagasan E.M. Foster—atau yang paling banyak dikutip dalam skripsi-skripsi, Nurgiyantoro—sebuah novel dijentretkan menjadi parafrasa-parafrasa. Teori dan analisis laksana minyak dan air, nggak nyatu. Kalaupun ada usaha analisis yang tajam, konsep alur dipaksakan pada alur karya sastra yang dianalisis.

SDD dalam disertasinya tentang novel Jawa tahun 1950-an menegaskan, bahwa para pengarang Jawa cenderung tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh pakem wayang. Maka, alur dan penokohan tidak berkembang. Jika teori yang dikemukakan Foster tentang alur diterapkan pada novel Jawa atau bahkan cerita pewayangan, yang akan terjadi kemudian adalah pemaksaan. Estetika wayang dan penilaian terhadap dalang, justru jatuh pada lanturan (atau goro-goro, saya lupa istilah teknisnya), yang menurut Foster sebagai kelemahan. Kesimpulan SDD: tidak semua teori (Barat) dapat diterapkan dalam khazanah sastra kita.

Begitulah, SDD telah mengajari sejumlah mahasiswanya, bahwa teori sekadar alat. Jangan dia dijadikan berhala, sebab yang terpenting adalah bagaimana alat itu dapat mengungkapkan kekayaan teks (sastra), dan bukan memeretelinya. Gunakanlah alat itu pada objek yang cocok, sesuai, tepat, proporsional. Bukahkah memotong pohon cabe, tak perlu pakai gergaji? Begitulah kira-kira analoginya.
***

SDD adalah kisah tentang humanisme. Ia lahir dari keluarga bangsawan Solo—seperti juga Rendra, tapi tak pernah memakai gelar kebangsawanannya. Ketika dia sakit, kami menjenguknya di Rumah Sakit Cipto. Seperti lazimnya orang membezoek, kami bertanya itu ini. Pada saat itu, datang dua orang suster. Salah seorang tampak memperhatikan nama yang tertera di ujung tempat tidur. Ia lalu bertanya kepada SDD, “Dok, Dokter praktik di mana?” Teman saya tampak menahan tawa. Pak SDD menjawabnya dengan baik. Katanya, “Saya bukan dokter. Saya penyair. Dosen di Fakultas Sastra.” Suster itu tampak malu-malu.
Selepas kedua suster itu keluar, teman saya meledak tawa. Saya tak ikut tertawa, masih terpesona oleh jawaban SDD tadi. Sama sekali, tidak ada kesan merendahkan. Tidak ada! Caranya memberi keterangan seperti ia menjelaskan sesuatu kepada mahasiswanya.

Saya jadi ingat pernyataan SDD ketika mengomentari esai saya yang dimuat majalah Horison. Dalam esai itu, saya mengritik agak tajam (saya ulangi: agak tajam) gagasan seorang guru besar sebuah universitas di …. Jarang sekali ia mengomentari tulisan saya. Tetapi, dari beberapa teman, pernah pula dia memuji tentang tulisan saya yang berupa resensi novel Para Priyayi yang dimuat Suara Karya. Tulisan itu mendahului resensi buku yang sama yang ditulis SDD. Menurut teman saya, SDD berkata begini: “Saya kagum sama dia (maksudnya saya, MSM). Bagaimana dia begitu cepat membaca novel itu dan menulis resensinya?” Tentu saja saya senang mendengarnya. Lalu bagaimana komentar SDD atas esai yang dimuat Horison yang di dalamnya saya mengritik gagasan seorang guru besar? Ini komentarnya: “Pak Maman –kepada sesama kolega, Pak SDD selalu memanggil dengan kata sapaan Pak (atau Bu atau Mbak) meski usianya masih sangat muda— saya sudah membaca esainya di Horison. Saya sama sekali tidak bahagia membacanya!”

Tidak bahagia! Bukan sedih atau kesal atau esai itu buruk. Itu pertama kali SDD mengomentari langsung tulisan saya. Tetapi itu peringatan yang luar biasa. Saya bersyukur ia mengingatkan saya dengan cara yang luar biasa itu. Tentu saja saya sadar, bahwa kenyataannya saya memang belum apa-apa. Jadi, tak perlu pongah, apalagi sombong! Terlalu banyak orang hebat di negeri ini, dan kita; (saya) laksana titis air di lautan.

Dalam kesempatan yang lain, ketika kami—saya, SDD, dan Budi Darma—menjadi juri sayembara novel –DKJ dan Yayasan Buku Utama—SDD kadang menjadi pendengar yang baik dan kompromistis. Selalu, hasilnya adalah kesepakatan bersama. Tidak ada kesan pilihannya mesti jadi juara. Kami betul-betul saling bertukar pendapat. Saya sungguh-sungguh belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati. Kerendahhatian SDD itu pula yang mengingatkan saya pada satu peristiwa bersamanya. Waktu itu ada kegiatan berkaitan dengan Seminar HISKI. Kami berdua di sekretariat panitia. Ketika masuk waktu magrib dan kami bermaksud sembahyang berjamaah, SDD mempersilakan saya menjadi imam. Tentu saja saya menolak. Tetapi apa yang dikatakannya: “Silakan Pak Maman jadi imam. Anda kan lebih Islam dari saya!” Kami kemudian sembahyang berjamaah. Saya imam, SDD makmum. Dan ketika sujud, saya menangis. Luar biasa orang ini! Orang hebat yang rendah hati!

Sampai sekarang, saya masih harus terus belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati!