Mukadimah
Tiga puisi karya Yusran Arifin berikut ini memiliki pertautan tema. Pada puisi “Menjadi Petani” terdapat peristiwa dan makna yang dibangun kata benda pematang, kenangan, nasib, pucuk-pucuk ingatan, kepala, angin, tusuk bulir padi, sawah, kesabaran, dan kata-kata. Kata-kata tersebut membangun dunia imaji selingkung menjadi petani.
Aku larik puisi yang lesap menyuar proses menjadi petani dalam kata kerja menyusuri, memupuk, menyegar. Hal ini ekuivalen dengan proses menjadi penyair dalam kata kerja menyemai (kata-kata), menyiangi, mengurai, dan memilih (kata-kata) untuk menemukan peristiwa dan makna yang berhama dan bermakna.
Dua figure yang disejajarkan ini, petani dan penyair, dihubungkan dengan jembatan metafora //Di sawah yang rekah/Kesabaran menyemai kata-kata//. Ada usaha untuk membangun asosiasi antarfigure dalam suasana kontradiksi internimis: //Memupuk kenangan, gemercik nasib/Pucuk-pucuk ingatan menyegar di kepala// dan hiperbolis: //Desir angin masa lalu/Lebih perih dari tusuk/Bulir padi itu//.
Syahdan, proses menjadi petani yang ekuivalen dengan menjadi penyair ini membentuk pengalaman dan pengetahuan hidup sedemikian. Aku larik puisi yang lesap membangunnya dalam puisi “Jampe Petani”. Sebuah konklusi dari permenungan atas proses menjadi petani kata-kata.
Selebihnya, Sang Petani dengan cangkul pengalaman dan pengetahuan hidup terus menyemai, menyiangi, mengurai, dan memilih kata-kata di (Zamrud) Khatulistiwa. Sebuah warisan mahakarya terberi alam yang tak habis-habis dibajak para petani kata-kata. Hal ini yang mendasari saya menganggap ketiga puisi ini memiliki pertautan tematis. Tabik! (Nizar Machyuzaar, penyair dan esais)
Mangkubumi, 13 November 2021
Salam Redaksi
Nana Sastrawan
MENJADI PETANI
Kembali menyusur pematang
Memupuk kenangan, gemercik nasib
Pucuk-pucuk ingatan menyegar di kepala
Desir angin masa lalu
Lebih perih dari tusuk
Bulir padi itu
Di sawah yang rekah
Kesabaran menyemai kata-kata
Menyiangi, mungurai dan memilih
Antara yang berhama dan bermakna
2021
JAMPE PETANI
Kau tak memanen apapun
Dari yang tak pernah kau tanam
Di ladang hayatmu
Kelak kau akan menangis
Saat kemarau tiba
Saat perlu bekal untuk mengembara
Atau kembali ke alam baka
Benih-benih yang tumbuh di hatimu
Kelak akan tumbuh dan merambat di ladang amalmu
Seperti labu siam di pekarangan
Yang merambat pagar rumahmu
Bajaklah gembur basah usiamu
Sebaik apapun niatmu menanam
Orang hanya mengingat manfaat
Yang dinikmat dan dilahapnya
2021
KHATULISTIWA
Tersebab surya dicipta bukan sekedar penghangat rag
Bukan pula sekedar penghias epitaf senja di tepi samudra
Sebelum menjadi ruhmu
Ia akan tetap menjadi asing
Dan tak memberi apapun bagimu
Yang tak gegas pergi
Juga tak lambat menjemput maut
Tapi siapapun tak mampu menghenti
Seperti surya di tubuhmu
Menguak jalan takdirmu
Bergerak dengan kelebat yang likat
Mengeja segala pelik jalan unik
Yang sembunyi di gelap nasibmu
Yang bergerak dari timur
Hingga lenyap di tepi kubur
Surya yang tempias di tubuhmu
Sebanding lurus dengan erat
Garis edar kesetiaanmu
2021
Yusran Arifin, adalah penyair yang lahir di Tasikmalaya, aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST). Menulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Menulis puisi, cerpen, carpon, cerbung, esey budaya, fiksi mini, dll. Tulisan-tulisannya dimuat di media nasional dan lokal, antara lain: Majalah Sastra Horison, Jurnal Sajak, Majalah Sagang, Majalah Serapo, Majalah Syir’ah, Tribun Jabar, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Sunda Midang, Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya. Puisi-puisinya, terhimpun juga dalam belasan antologi bersama, antara lain: Orasi Kue Serabi ( GKT 2000), Sauk Seloko ( Dewan Kesenian Jambi 2012), Di Dalam Jendela (Parbud Jabar 2012) Kominitas Dari Negri Poci( Jakarta) , Kini tinggal di jln. Air Tanjung, Kawalu, Kota Tasikmalaya.
Leave a Reply