20210529 214142

Puisi Yoseph Yapi, Daviatul Umam dan Sahaya Santayana

Mukadimah

Penyair ialah bagian integral masyarakat. Untuk itu, tidak heran kita sering menjumpai puisi-puisi yang tercipta dari seorang penyair sangat berdekatan dengan peristiwa atau kehidupan dari masyarakat. Ia sedang mengungkapkan suatu kejadian meskipun kerap kali terbungkus oleh metafora. Pada bait puisi Aku Telah Mendengar Puisi karya Yoseph Yapi Taum misalnya, ada semacam kegundahan pada dirinya; aku telah mendengar desis api tersulut/para demonstran memenuhi jalanan/ dengan pedang yang haus dan murka. Ya, puisi adalah kesaksian atas serangkaian peristiwa di waktu tertentu. Karena itu, puisi juga bisa semacam catatan yang tidak terbungkus oleh keinginan individu dan tipuan. Dari sana terungkap situasi sosial dengan simbol-simbol yang mengisyaratkan peristiwa di zaman-zaman tertentu.

Hal serupa pun dapat kita jumpai di puisi Burung Gagak dari Sigi karya Daviatul Umam. Nuansa suatu konflik yang terjadi tergambarkan pada setiap larik puisinya. Enam rumah tinggal arang/Puing-puing kenangan dibangkitkan/Lenyap sudah asap yang menyembul/Dari sela-sela tumpukan abu. Inilah puisi yang menghadirkan dua kepribadian penyair. Satu sisi, ia merasa simpati, sedih, marah pada sebuah peristiwa tragis yang menimpa suatu tempat. Satu sisi lagi ia pun mewakili kegelisahan pembaca yang menyaksikannya.

Berbeda dengan puisi Sahaya Santayana. Ia memotret peristiwa dalam dirinya, meskipun terasa pada beberapa lariknya, latar di luar dirinya pun memengaruhi keheningannya pada sebuah perjalanan hidup. Apalagi ingin kusimpan dalam tulisan/hari-hari yang debu di trotoar/melumat habis maksudku belum tuntas/meski di atas meja dengan pena dan kertas. Itulah puisi, tercatat dengan empati, berbicara dengan hati nurani dan menggambarkan problem personal sekaligus juga universal. Selamat membaca! (redaksi).

20210529 214142

Puisi Yoseph Yapi Taum
AKU TELAH MENDENGAR API

Aku telah mendengar desis bara api
dari kusut nalar yang mengering bagai taring
merampas batas nafas di lorong-lorong gelap
Api yang akan ditiupkan ke langit
dan membakar surga serta segala isinya

Aku telah mendengar desis jilatan api
dari bilik-bilik remang dan lantai yang hangus
Api di bilik-bilik yang tak bakal padam
di tengah pekik gagak di siang hari
dan kelelawar-kelelawar sepanjang malam

Aku telah mendengar desis api tersulut
Para demonstran memenuhi jalanan
dengan pedang yang haus dan murka
hanguskan dewa-dewa yang tak sanggup terbang
dan gadis-gadis yang gemetar di kolong ranjang

Aku telah mendengar desis pekikan api
merubuhkan loteng-loteng lengang
di antara bau amis, serapah amarah
Benihnya ditanam sejak berabad yang lalu
di bawah cahaya bulan yang murung

Yogyakarta, 1 Mei 2020

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember 1964. Yoseph Yapi Taum banyak melakukan penelitian dengan dukungan beasiswa dari Ford Foundation, Toyota Foundation, Asosiasi Tradisi Lisan, Asian Scholarship Foundation (ASF), dan Hibah Dikti. Menulis makalah yang dibawakan dalam seminar-seminar nasional maupun internasional, dan berbagai artikel sosial budaya yang dimuat dalam beberapa media cetak. Kumpulan Puisi Ballada Arakian (2015) merupakan antologi puisinya yang pertama. Antologi ini mendapat anugerah Penghargaan Budaya 2015 dari Universitas Sanata Dharma. Antologi puisinya yang kedua berjudul Ballada Orang-orang Arfak (2019) banyak menyuarakan memoria passionis orang Papua.

Puisi Daviatul Umam
BURUNG GAGAK DARI SIGI

Seekor burung gagak melintasi kepala
Ada sekerat jantung segar di paruhnya
Dari Sigi ia terbang
Ke luar batas akal mencari sarang

Mendadak langit sekental duka
Mengandung hujan api yang terbendung

Nyawa menjelma kata lain dari debu
Sekali jentik empat butir terhempas

Seperti apakah ganasnya luka bakar
Yang menjalar hingga ke ujung napas?
Seberapa puaskah mata pedang
Menatap sebongkah kepala tak berdosa
Yang baru saja ditumbangkan?

Wangi takdir dan angit takbir berpadu
Tiada kalah-menang dalam peristiwa itu

Enam rumah tinggal arang
Puing-puing kenangan dibangkitkan
Lenyap sudah asap yang menyembul
Dari sela-sela tumpukan abu

Namun cucuran nanah dan dendam
Yang tak bisa dibayar terus saja berkobar
Sebagaimana tawa dan cinta yang subur
Tertanam di tengah belantara kesesatan

Surga jadi boneka rebutan masa kecil
Apa yang mereka yakini mengunci
Sekian pintu, tak terkecuali pintu keluar
Bagi kedamaiannya sendiri

Jakarta Timur, 2020

Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Kini tinggal dan bekerja di Warung Puitika, Yogyakarta. Buku puisinya, Kampung Kekasih (2019).

Puisi Sahaya Santayana
SEPANJANG MASA SULIT

apalagi ingin kusimpan dalam tulisan
sepanjang masa sulit tersudut waktu
aku tersendat susuri gang yang sempit
rumit tersesat serupa labirin dalam kota

apalagi ingin kusimpan dalam tulisan
hari-hari yang debu di trotoar
melumat habis maksudku belum tuntas
meski di atas meja dengan pena dan kertas

geram pecah di ujung tandukku
setelah mengulum-ngulum kalimat
perjalanan kadang tak berlapang khusyuk

yang kupacu di bawah arus tekanan
menjelang purna tugas mudaku darimu
aku memilih bahasa kiasan di jalan sajak

Tasikmalaya, 2021.

Sahaya Santayana, lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Desember 1995, menulis sejak 2014 di Sanggar Sastra Tasik (SST). Mantan jurnalis di gemamitra.com dan sekarang menetap di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat di beberapa media cetak dan online, serta antologi puisi bersama baik Nasional maupun Asia Tenggara. Instagram : @santay.saayana