Mukadimah
Puisi dapat juga mengungkapkan cerita, atau rangkaian peristiwa tertentu, epos atau balada. Meskipun puisi-puisi model ini telah berkembang sejak periode klasik Melayu, yaitu syair yang dapat dengan leluasa menyampaikan berbagai pesan, tema, disusun dalam rangkaian bait-bait panjang. Hal ini pun dapat ditemui pada puisi ‘Berkunjung ke Klenteng Eng An Kiong’ karya Yohan Fikri. Hampir dipastikan puisi itu memiliki kisah tentang tokoh atau peristiwa tertentu dan dapat ditemukan simbolisasi ajaran agama, potret sosial atau informasi yang lain yang hidup dalam kultur tertentu. Misal pada bait pertama, Di Kelenteng Eng An Kiong, gerbang berukir sepasang naga/baliho-baliho bertuliskan “Gong Xi Fat Chai” di pagar-pagarnya/seperti seulas senyum menyambutku tiba, atau, sepenggal/kalimat selamat tinggal, melambai meninggalkan masa yang sudah tanggal. Bait ini menjadi semacam pintu gerbang yang memberikan ruang peristiwa atau cerita, ketika semakin masuk ke bait-bait berikutnya akan tergambar dengan jelas sebuah tema yang mengerucut pada kultur tertentu.
Sedangkan pada puisi ‘Malam Seribu Bulan’ karya Reza Yudhistira dari Bogor lebih menekankan pada permenungan. Kedalaman makna pada puisinya tidak mesti dibangun oleh kerumitan. Penggunaan bahasa sederhana dapat mengokohkan puisi menjadi lebih dalam dan bermakna. Permenungan pada puisi ini dapat terasa di bait terakhir, Kemudian kita sucikan semua badan/Malam nanti ayat-ayat turun di bumi/Gema puja puji menyebar/Saat itu, kita akan mengaku diri/Paling berserah.
Hal serupa juga terasa pada puisi ‘Rinjani, Juni, dan Sunyi’ karya Afthon Ilman Huda dari Mataram, NTB. Bagaimana suasana alam Rinjani menjadi sumber metafora dalam menyampaikan kegelisahan batin, menyadari akan suatu kekuatan besar dari sang pencipta, di rinjani/pada juni/dalam sunyi/tak lerai akan nama-Mu. Itulah puisi, dapat dituliskan secara naratif dengan bahasa yang sederhana dan memiliki kedalaman makna. Selamat Membaca.
Salam Redaksi
Nana Sastrawan
Puisi Yohan Fikri M
Berkunjung ke Kelenteng Eng An Kiong
Di Kelenteng Eng An Kiong, gerbang berukir sepasang naga,
baliho-baliho bertuliskan “Gong Xi Fat Chai” di pagar-pagarnya,
seperti seulas senyum menyambutku tiba, atau, sepenggal
kalimat selamat tinggal, melambai meninggalkan masa yang sudah tanggal.
Aku tiba dengan dada membawa muram langit sewarna tembaga;
gerimis di luar kelenteng, berdentingan mengetuk tingkap batinku.
Lampion-lampion menyala, ratusan lilin menyala;
pilau mereka tumpah merembesi meja-meja ibadah,
mengiring gumam doa orang-orang di ruang-ruang sembahyang.
Asap hio yang harum menyebaki udara, seperti tengah mengucap “salamualaika!”
Asap itu tak henti-henti melumasi pilar-pilar kelenteng
dikelir merah mentereng, diukir belitan naga dan rangkaian swastika,
menyemerbak ke seluruh penjuru—ke setiap sudut bilik perasaanku yang biru.
“Bolehkah jika di sini, kukenang asap bukhur yang mewangi,
mencium cuping hidungku di riuh-ruang majelis-majelis barzanji?”
Tetapi, sama sekali tak kujumpai pertunjukan wayang potehi,
atraksi barongsai yang jenaka, pun geliat tubuh seekor naga.
Tidak juga serombongam pemain tanjidor:
orang-orang dengan rahang mengembang meniup
mulut terompet, nyaring memukul gendang kuping,
atau tangan-tangan kekar, kiat menabuh tambur-tambur besar.
Hanya sejumlah keluarga tionghoa, beberapa kasi sibuk kesana-kemari
—sebagian duduk terkantuk-kantuk ditindih sepi.
“Apatah mereka tengah sembunyi dari sejumlah banat mata aparat
yang ketat berjaga di sekitar pelataran kelenteng ini?”
Seperti dulu, ketika huruf-huruf cina, opera sabun dan
film-film mandarin musti disulih suara, liong dan barongsai,
hanya boleh tersimpan di lemari-lemari kaca?
—sejumlah dosa masa lalu yang masih berjelaga di lipat tubuh negaramu.
Entahlah. Di sini, aku hanya datang, berdiri di ambang pintu,
mengucap salam, menjura kepada dewa-dewa yang tak kukenali namanya
seperti ketika kuziarahi makam-makam suci para auliya.
Kuhidu asap hio yang wangi sembari kukenang kembali riap bukhur
yang pernah menciumi cuping hidungku
—di riuh-ruang majelis barzanji yang kerap kuhadiri dulu.
(2021)
Yohan Fikri M, lahir di Ponorogo, 01 November 1998. Mahasiswa di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Puisinya tersiar di berbagai media dan antologi bersama, antara lain: Antologi Puisi Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2020 (2020) Perjamuan Perempuan Tanah Garam (2020), dan Yang Tersisa dari Surabaya (2020).
Puisi Reza Yudhistira
Malam Seribu Bulan
Angin kering lebih sering berhembus
Daun mangga yang bertebangan menempatkanku pada masa lalu;
Di pojok sofa kita terbaring,
Hanyut di kegelapan.
Angin kering berhembus
Mencetak mimpi bunga matahari bebas berdiri tanpa sakit
Seumpama besok hujan turun, siapa yang akan menderita?
Sementara kita selalu sibuk memberi arti
Menjauh dari putus asa. Sering.
Mendadak keringat membuahi api
Revolusi, katamu.
Kemudian kita sucikan semua badan
Malam nanti ayat-ayat turun di bumi
Gema puja puji menyebar
Saat itu, kita akan mengaku diri.
Paling berserah.
Bogor, 27 April 2021
Reza Yudhistira, lahir di Bogor, 06 Agustus 1999. Mahasiswa sastra Indonesia di Universitas Pakuan Bogor.
Puisi Afthon I.H.
Rinjani, Juni, dan Sunyi
ada kudengar nama-Mu,
dalam nafas terpenggal buncah ambisi
: cucur harap para pendaki pada anggun dewi anjani
ada kusebut nama-Mu,
di atas taring batu muntahan senaru
kala lembut angin
menarikan cemara di hutan gua susu
ada kusimpan nama-Mu;
dalam tebing pengujian torean,
dalam legam biru segara anak dari tepian,
dalam gemetar lahar gunung anak barujari yang menahan-nahan
dalam sengat aik kalak asam belerang,
atau dalam gigil kabut juni yang menangis saat di bawah pelawangan.
di rinjani
pada juni
dalam sunyi,
tak lerai akan nama-Mu
Danau Segara Anak, 19-23 Juni 2021
Afthon Ilman Huda. Kelahiran Mataram, NTB. Menulis Puisi, Cerpen, dan Esai. Karyanya masuk dalam Antologi Puisi Menenun Rinai Hujan (2019).
Leave a Reply