Mukadimah
Bagaimana serangkaian kecemasan yang lalu membentuk kemarahan, dapat disulap menjadi larik-larik cantik dalam deretan kata-kata yang sarat metafora? Itulah puisi. Selalu, dalam puisi yang baik, kita bertemu dengan sesuatu yang oleh Sapardi Djoko Damono dirumuskan: berkata begini, maksudnya begitu! Di situlah kekuatan puisi menyeruak lalu menyebar dalam rangkaian larik-larik, membentuk bait, dan menjelma sebuah wacana. Tiba-tiba, kita merasakan ada sesuatu yang tak lazim, tapi membuka mata hati. Sebuah keindahan yang menyentuh rasa estetik.
Begitulah estetika tidak wujud sebagai serpihan atau fragmen-fragmen, tapi keseluruhan dalam sebuah wacana lengkap, utuh sebagai totalitas. Dua puisi “Pujian bagi Pohonan” dan “Hikayat Sebatang Pohon” karya Warih Wisatsana dapat kita resapi sebagai empati penyair dalam menyikapi kehidupan persekitaran. Penyair tak abai pada dunianya. Ia begitu peduli pada keberlangsungan jagat manusia yang sehat dan beradab pada alam. Ia cemas, marah. Tapi kekuatannya untuk dijadikan senjata hanya kata-kata. Maka dengan itu, ia coba menggugah kesadaran, membuka pemikiran, mengajak kita melakukan perlawanan ketika kita dicekoki janji palsu, ketika alam menghadapi masalah lantaran ulah manusia serakah. Warih memilih cara yang sejuk tapi nyelekit! Setidak-tidaknya, puisi “Pujian bagi Pohonan” menghadirkan ironi yang tajam dan menusuk.
Dalam puisi “Hikayat Sebatang Pohon” ironi itu laksana sengaja dilekatkan pada sosok aku lirik, citra ibu, dan sang kakek. Kembali, kita berhadapan dengan ketaklaziman. Bukankah dalam pohon keluarga ada ayah? Di manakah dia berada? Aku dalam tarik-menarik ibu-kakek menjadi sangat simbolik, sekaligus juga menggelitik, menghadirkan serangkaian pertanyaan. Sebuah puisi yang menjengkelkan, lantaran memunculkan banyak pertanyaan yang menggoda rasa penasaran.
Jika kita merujuk pada pandangan Sigmund Freud, problem pohon keluarga dalam puisi itu punya cantelan psikologis. Bukankah kita tak dapat lepas dari kenangan masa kanak-kanak? Mitos dan segala dongeng yang kita terima semasa bocah, kerap menciptakan dunianya sendiri ketika kita sudah dewasa. Tampak di sana, Warih menariknya pada problem lingkungan, kehidupan alam dan hutan yang gersang.
Dua puisi Warih Wisatsana menjawil kepedulian kita pada alam dan mitos masa lalu yang kadang terasa absurd.
Pesan dalam Mukadimah ini sekadar tawaran belaka, betapa dunia puisi kadang membuat kita jadi galau. Dengan perspektif yang lain, tentu pembaca lain akan menemukan makna lain, cara menafsir lain. Itulah salah satu kelebihan bahasa puisi: kaya ketaksaan. Maka, jalan terbaik bagi pembaca adalah baca, masuki dunianya, dan bersiaplah menghadapi kejengkelan sendiri. Silakan.
Jakarta, 19 Agustus 2018
Tim Redaksi
Warih Wisatsana
PUJIAN BAGI POHONAN
Setelah pohonan ditebangi
yang paling rindang adalah doa
Kita melaju di jalan lurus penuh rambu
bergegas cemas melintasi gerimis
antara lalang ataukah rumpun padi
Bau busuk pestisida limbah janji kata-kata
kini meracuni udara. Sesak menahan napas
menahan cemas pengharapan
Terbentur tanya berulang pada tiap tikungan
Ini kelokan ke masa depan
atau jalan curam ke masa silam?
Siang malam melaju Dirundung ragu selalu
itu dengung samar lalat hijau
ataukah bisikan lembut ilham di kalbu:
Selamatkan, selamatkanlah dirimu
Di sini kini tak ada lagi bulan hening di ombak
tak ada derik jangkrik mengais sunyi malam hari
Sepanjang jalan kita terbayang terkenang
belantara terbentang selapang pandang
itik-itik berduyun riang meniti pematang
ikan-ikan meliuk jinak di dasar sungai bening
Berkali kau ingatkan bahwa segalanya semata
selapis tipis batas napas. Petang yang riang
seketika bisa saja menghilang
malam muram datang menghadang
Diri yang lalai tak kunjung sampai
hanya akan menemu hari yang selesai
Tapi apa sesungguhnya yang kita cemaskan,
hamparan gedung-gedung menjulang
kabut dini hari yang mengelabui pandang?
Atau dinding-dinding penuh grafiti
penuh pesan si mati yang tak ingin kembali?
Ataukah kita cemas terbawa lupa
lena sejenak memejamkan mata
Terbujuk godaan berlebih duniawi
terhanyut janji sorgawi yang ingkar berkali
Lalu tergelincir, seketika itu pula kita berakhir
Senasib benih di tanah ini,
tak ada yang kuasa menduga
siapa tersisih mati sendiri, siapa rekah mewangi?
Maka sesabar laba-laba dalam goa
menenun limpahan cahaya
menyempurnakan harinya
Kita terus berjaga, sebisanya terjaga
meniti hati-hati sebaris mantra ini
Melenting seperti belalang
meluncur di angin bagai capung
Siang malam melaju
antara lalang atau rumpun padi
Siapa tahu kelak di depan terbentang
jalan pulang sehening pandang
Selamatkan, selamatkanlah dirimu
HIKAYAT SEBATANG POHON
Setiap petang kakek mengunjungi ibu
Selalu singgah dahulu ke tepi ngarai
Mengulurkan bunga yang sama
ke patung yang itu juga
Aku tak tahu apakah ia sungguh berdoa
Atau semata mengulang mantra serupa
Sesudah itu ia bercerita
tentang kisah lama yang sama
Bahwa dulu di simpang jalan
ada pohon ratusan tahun
Yang akar-akarnya terjulur liar
seperti tangan-tangan para penari
Yang ranting-rantingnya rimbun tengadah
seakan wajah para pemuja yang pasrah
Berkali kakek bercerita
seolah sungguh pohon itu tumbuh
bersama leluhurku
Raja- raja agung yang terbuang
pangeran buronan seberang lautan
Kisah hari tak selesai
pahatan lumut di kaki candi
Ia percaya dalam diriku
ada benih luhur itu
Yang kelak tumbuh merimbun
melampaui segala pohon
Seperti biasa ibu lalu menemani kakek
Berdiam semalaman di dalam kamar
tempat dimana dulu aku dilahirkan
Demam mengigaukan hujan
Memanggil leluhur
yang menyamar
desir air di batuan
Begitulah aku tumbuh tahun demi tahun
Bersama mambang menyeberangi malam
Menemui peri penunggu perigi
yang tak henti membujuk pergi
meninggalkan ibu sendiri
Bertanya rahasia air suci dalam kendi
suratan lontar dan prasasti
Jalan pulang bagi ayah
yang tak kunjung kembali
Hingga kini aku pun tak tahu apakah ibu percaya
Pohon itu sungguh telah tumbuh di dalam diriku
————
Warih Wisatsana. Meraih Taraju Award, Borobudur Award, Bung Hatta Award, Kelautan Award, SIH Award. Diundang sebagai pembicara dan membaca karya pada festival nasional dan internasional. Puisinya diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Portugal dan Perancis. Buku kumpulan puisinya; Ikan Terbang Tak Berkawan (Kompas, 2003) dan May Fire and Other Poems (Lontar, 2015). Selain sebagai kurator, juga editor buku, semisal : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (Michel Picard), novel Perancis ‘Emilie Java 1904’ (KPG), kumpulan cerpen ‘Dari Bui Hingga Nun’ karya Agus Vrisabha (PBK), dan lainnya. Menulis esai dan ulasan seni rupa, sastra, serta seni pertunjukan. Menulis buku biografi Agung Rai (Museum ARMA), dan lain-lain. Pernah berkolaborasi dengan perupa seperti Made Wianta, Nyoman Erawan, serta koreografer Nyotman Sura dan lainnya. Buku Puisi terkininya “Kota Kita” segera terbit.
Leave a Reply