Mengenali puisi biasanya berjumpa dengan hal yang tersirat. Seperti pada puisi Vito Prasetyo, ia memotret sebuah peristiwa pemakaman, mendeskripsikannya menjadi liris, penuh imaji dan permenungan sehingga pembaca digiring pada suatu reportase yang pada akhirnya disepakati untuk dihayati. Misalkan pada larik bukankah kematian itu indah/airmata pun sirna/mengering di tungku membara/langit bersorak, senandungkan/simphoni kematian/karena itulah keabadian.
Sedangkan pada puisi naratif sering kali dijumpai deskripsi visual muncul dengan sangat gamblang. Semacam pilihan untuk menuangkan kejadian atas apa yang dilihat, dirasa pada realitas sosial. Deretan fakta-fakta yang diurutkan menjadi rangkaian ikatan antara puisi dan penyairnya, begitu pun dengan benda-benda yang terlihat menjadi kekuatan makna-makna empirik dan faktual. Hal-hal tersebut dapat terbaca pada larik puisi Tegar Satriani, Pada sebuah pasar: jam mengitari los-los sempit ketika seorang penjual menyuguhkan kehidupan di kebun belakang rumahnya/Setandan pisang terikat di sebuah rak kayu/Di bilik yang lain ada wortel dan alpukat dari lembah yang jauh. Begitulah kehadiran puisi, dia tidak pernah menempati ruang kosong, melainkan hidup pada ketajaman pikir dan kepekaan rasa penyairnya. (redaksi).
Puisi Vito Prasetyo
Simphoni Kematian
setajam angin, mengiris tulang
liang tanah menanti
aroma pemakaman pun
mendengus di tubuh rerumputan
di atas sana,
gemintang berjalan serupa
penyiksaan aib
hujan hanya teduh letih
yang ucapkan: amin
malam kian rapuh
terpasung ingatan
sepasang jagal menghampiri
bagaikan malaikat tanpa jubah
sorot mata ini pasrah
sunyi dan sepi, terpaku bisu
tak bergeming
hanya terbaca: kematian
adakah cara bijak untuk tidur
berjalan teratur, seperti sinar
membungkuk
menelusup
dan mengendap
atau berlari serupa mimpi
: menunda ajal
awal malam, juga akhir
episode yang ternoda
cangkul dan linggis
mendera keras
daging terkuliti, api menjulur
tungku membara, perapian cinta
tulang makin memutih
seperti sinar dalam salju
melintasi tanah: liang lahat
itu jalan terindah
tak ada kabut
kubaca sekali lagi
di penggalan bait
anyir dan amis membungkus
hidupkan doa, meracik
pengadilan akhir
setumpuk dosa
kibarkan rasa sesal
tak ada lagi tempat
kepala bersujud
bukankah kematian itu indah
airmata pun sirna
mengering di tungku membara
langit bersorak, senandungkan
simphoni kematian
karena itulah keabadian
musang dan serigala
datang berziarah
kalungkan sajak, di atas pusara
rerimbun ilalang memainkan
kecapi dan seruling
suara-suara memekak
jalan telah buntu
Malang, 2021
Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kabupaten Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya. Puisi-puisinya pernah diterbitkan diberbagai media cetak maupun daring. Buku puisi terbarunya, Sepeda dan Buku (2021).
Puisi Tegar Satriani
Pada Sebuah Pasar
Pada sebuah pasar: dunia demi dunia berjejal di setiap bait. Kau menawariku di menu itu. Lalu apel, sawi, cabai, ayam potong, garam, beras, dan lengkuas meledak setelah jam buka. Udara seperti dipenuhi lumpur dan aroma mawar. Tak ada bangku untuk bercakap-cakap. Satu pelanggan pergi. Lima pelanggan datang. Kita tak menemukan bahasa. Dua ekor burung hinggap di sebuah kabel dan mencoba mengalahkan bunyi satu sama lain. Ingatkan aku tentang kematian itu, tentang pertanyaan di balik baskom seorang pria peminta-minta di pintu timur.
Pada sebuah pasar: jam mengitari los-los sempit ketika seorang penjual menyuguhkan kehidupan di kebun belakang rumahnya. Setandan pisang terikat di sebuah rak kayu. Di bilik yang lain ada wortel dan alpukat dari lembah yang jauh. Seperti dongeng. Kehidupan berjajar di lorong-lorong lembab. Namun apa yang kita punya. Biarkan segalanya pergi. Mimpi menyisakan potongan-potongan kain dan sepatu bekas. Sebuah lagu tua berputar di kios terakhir. Biarkan kenangan kami mengantarmu kembali ke pintu depan. Biarkan waktu membersihkan bau amisnya sendiri.
Biarkan jejak datang dan menghilang. Biarkan wajah-wajah kami menyusun sebuah pagi.
Juni 2020
Tegar Satriani, lahir di Grobogan, Jawa Tengah pada 3 Februari 1996. Lulusan S1 Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro. Puisinya pernah dimuat dalam Lembaga Pers Mahasiswa “Momentum” Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan Lembaga Pers Mahasiswa “Manunggal” Universitas Diponegoro. Puisinya pernah tergabung juga dalam antologi puisi Surat Untuk Kaki Langit Palestina (2018), sebagai Penulis Istimewa dan antologi Merayakan Pagebluk (2020).
Leave a Reply