images

Puisi Syukur Budiardjo

Mukadimah

Puisi dan sejarah bagai teman tapi mesra. Lirik puisi lebih ingin menghadirkan persepsi inderawi tinimbang epik sejarah yang mengedepankan abstraksi akali. Ini bukan hanya perkara bagaimana ke-lalu-an terberi begitu saja, melainkan juga bagaimana pengetahuan terbentuk lintas generasi.

Sejarah yang bersandar pada fakta-takta inderawi disusun dalam nalar kausalitas menjadi epos. Sementara puisi, dia ingin menghidupkan fakta-fakta inderawi itu ke dalam medan permainan sensasi. Kisah merah putih, kisah jembatan merah, dan kisah 10 November 1945 dalam pakem sejarah direduksi oleh lirisisme khas puisi menuju ledakan-ledakan impulsif sensor motorik urat dan syaraf ke batas tubuh.

Sampai di sini, puisi bagai lorong waktu yang mengantarkan pembaca pada maunya tubuh untuk menginderai citra-citra hasil perselingkuhan nan mesra dengan abstraksi akali. Namun, takjarang pula puisi terjebak pada nalar kronologi semata.  Jika tubuh pembaca lancung dan kadung terlahir dari abad modernisme yang mendewakan logos.

Selebihnya, mari kita masuki tiga lorong waktu yang dibangun Syukur Budiardjo. (Nizar Machyuzaar)

Salam Redaksi
Nana Sastrawan

Puisi-Puisi Syukur Budiardjo
MERAH PUTIH BERKIBAR

Pagi hari 19 September 1945
di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
naik ke atas hotel sekelompok pemuda
dengan tekad yang membara.

Mereka memanjat tiang bendera
lalu turunkan bendera Belanda
merah putih biru warnanya
yang dikibarkan sore hari sebelumnya.

Mereka robek kain biru dengan darah mendidih
hingga tinggal bendera merah putih
lalu mengereknya kembali ke puncak tiang
tanpa ragu tanpa bimbang.

Meski sebelumnya
telah gugur seorang pemuda
karena pistol menyalak tentara Belanda
yang menghantam tubuhnya.

Merah putih berkibar di angkasa
meneriakkan Indonesia merdeka
meski darah tumpah di persada
melumuri bumi tercinta.

Jakarta, 7 November 2013

JEMBATAN MERAH BERDARAH

Malam hari 30 Oktober 1945
dekat Jembatan Merah Surabaya
milisi bersenjata berjaga-jaga
demi republik tercinta.

Deru mobil tentara Inggris
membawa Brigadir Jenderal Mallaby
tak membuat para pejuang miris
apalagi melarikan diri.

Sesudahnya bunyi tembakan membahana
memuntahkan peluru dan granat
lalu malam bertambah kelam saja
karena dendam kesumat.

Darah tertumpah di Jembatan Merah
para pejuang tak kan menyerah
meski harus berkalang tanah
hingga tertulis dalam sejarah.

Petinggi Inggris menemui ajalnya
dikoyak peluru dan granat
membuat mereka terhenyak seketika
lalu malam dicekam khianat.

Jakarta, 7 November 2013

MENDUNG MENGGANTUNG DI LANGIT SURABAYA

Pagi hari 10 November 1945
mendung menggantung di langit Surabaya
karena ultimatum telah habis waktunya
sedang pejuang dan rakyat tak menggubrisnya.

Pejuang berjaga di seantero kota
tak sudi dihina lagi oleh Belanda
yang membonceng tentara NICA
lalu berkuasa kembali di bumi tercinta.

Hingga tiba pada waktunya
bom dimuntahkan dari udara
lalu meluluhlantakkan segalanya
karena NICA yang murka.

Tentara dan tank Inggris menggempur Surabaya
dari darat dan laut meriam membombardir kota
tapi pejuang tak gentar menghadapinya
dengan semangat baja menggelora di dada.

Tentara pejuang, milisi, kiai, dan santri
berlaga demi tegaknya ibu pertiwi
dengan teriakan Allah Akbar berkali-kali
dilambari tekad yang tak lagi mati.

Dengan bambu runcing dan senjata seadanya
para pejuang merangsek tentara gurka
Bung Tomo membakar semangat mereka
hingga pertempuran makin membinasa.

Teriakan Allah Akbar terus mengumandang
menyemangati mereka di medan perang
tak penting kalah atau menang
karena republik ini mesti tetap terpancang.

Pertempuran berkobar hingga tiga minggu
meminta korban beribu-ribu
membuat hati menjadi pilu
dan langit pun menjadi kelabu.

Darah tertumpah di Surabaya
mengalir sendu ke mana-mana
aromanya wangi serupa bunga
menjadi pupuk Indonesia merdeka.

Jakarta, 10 November 2013

Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo. Email budiharjosukur@gmail.com.Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16913.