Puisi

Puisi Syam S.Tamoe, Djefri Bantahari, dan Armen S. Doang

Mukadimah

Kegelisahan tanda hidup. Ungkapan Sitor Situmorang yang ditulis dalam esainya tentang Angkatan 45 di tahun 1949 menegaskan bahwa para penulis itu akan tetap berkarya sepanjang usianya, jika ia dapat memelihara kepekaannya pada kehidupan sekitar. Itulah yang dimaksud Sitor sebagai kegelisahan. Ia marah, benci, cinta, dan entah apalagi, ketika gejolak sosial memaksanya untuk tak sekadar jadi penonton. Ia mesti menyuarakan panggilan kebudayaannya. Di situlah peran penyair mengejawantah dalam puisi. Maka, sebagai penyair, mereka tidak akan pernah pensiun memelihara semangat hidup untuk mencipta. Kegelisahan itulah yang akan selalu menghidupi kreativitasnya. Dan kreativitas itu memancar dari berbagai indera yang menangkap peristiwa.

Puisi-puisi karya ketiga penyair dari wilayah budaya yang berbeda ini pun, boleh dikatakan sebagai tanggapan  penyair dalam menyikapi persoalan sekitar. Puisi laksana representasi kegelisahan penyair. Maka, segalanya mengalir dinamis.

Boleh jadi, penyair coba menciptakan sesuatu yang baru. Mungkin juga sebagai upaya menunjukan jati diri dan eksitensinya selaku panggilan kebudayaan. Dalam hal ini, puisi tidak hanya menjadi tanggapan evaluatif, melainkan juga sebagai catatan kritis atas problem sosial. Jadi, puisi lahir dari kegelisahan.

Mari kita simak puisi Syam S Tamoe. Tampak di sana, bagaimana penyair coba mengejawantahkan kegelisahannya. Ada hati yang sepi, rindu, terasing, dan rasa penyesalan yang seolah menekan dan mengganggu hari-harinya. Tapi, boleh jadi juga ada pengalaman yang tak nyaman menghantui setiap langkahnya. Ekspresi itu agak berbeda dengan cara penyikapan Djefri Bantahari. Pencermatannya atas pengalaman orang lain menjadi kekuatan pemantik. Menyelinap sikap empati dan simpati. Puisinya bagai menyimpan kemarahan yang tak terbendung; ada ketidakadilan yang mengganggu. Maka, dia harus menyatakan sikap perlawanan.

Sementara itu, puisi Armen S Doang punya cara lain lagi. Baginya, pengalaman empiris yang membuat puisinya hidup. Rangkaian katanya seperti suara hati yang datang dari dunia lain. Semacam model romantik yang menggetarkan jiwa.

Bagaimanapun juga, puisi laksana sumber sekaligus muara. Penyair menyadari hakikat puisi tidak hanya sekadar menuangkan suara isi hati dan meluapkan emosi atau ekspresi jiwa, melainkan juga menjadi alternatif lain ketika jiwa-hati dilanda kegelisahan. Dengan kesadaran itu pula terbangunlah kegelisahan tanda hidup. Pada saatnya tak terhindarkan, terjadi sentuh estetik (aesthetic contact). Ekspresi kegelisahan tidaklah mencelat begitu saja dalam larik kata-kata yang bermakna artifisial, denotatif, melainkan sesuatu yang metaforis, simbolis dan mengganggu saklar asosiasi—imajinasi pembaca untuk membayangkan hal lain di luar teks. Itulah kecerdasan penyair.

Puisi

Puisi Syam S.Tamoe
Diburu Bias Cahaya

Hampir tertukar rupa
Bumi dan langit melepuh bara
Menyusut waktu kepertapaan rindu
Aku tercengang dalam binar keasingan
Dan lumpuh di muara senyum rasa

Aku rapuh dan berpacu dendang
Menadah pasrah pada geliat ingar-bingar
Kini, tatapku kering terkubur lebur
Dan terselubung di balik keteduhan kelam
Kalau pun senyum diburu bias cahaya

Di helai napas aku terengah-engah
Dan termangu di ketinggian rupa
Membeku dan membatu di hati
Hingga luka menggigil hiasi diri

Sumenep, 30 Mei 2018

Syam S.Tamoe, lahir di Sumenep, 03 Desember 1982. Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.  Karya-karya puisinya dimuat di koran Republika, Media Indonesia, Jakarta Kota dan Kompas 2003-2007 di Jakarta. Selain aktif menulis puisi, cerpen dan opini, juga sering kali diundang menjadi juri baca-tulis puisi sampai sekarang.  Kumpulan Buku Puisi Asbak (2001). Wasiat Cinta Ibunda (2002). Tasbis (2003). Perjaka Tua (2012). Karya puisinya juga terkumpul di Arsip Puisi Penyair Madura (2017). Antologi Puisi Isyarat Gelombang II (2018), Antologi Puisi 101 Penyair Nusantara (2018). Antologi Puisi Asian (2018).

Puisi Djefri Bantahari
Anak-Anak Penambang

-Kepada penambang emas di Marisa

Kamilah anak-anak kehidupan paling tegar
bermandi keringat bahkan darah paling bugar
siang atau pun malam sama saja tak ada beda
tak pernah gentar meski hujan batu sewaktu-waktu

Kamilah mimpi dan harapan orang tua kami
sebab Marisa tak lagi memberi senyum manis di kala jaga
dan sewaktu tidur, Marisa menjelma hantu menakutkan bernama Modernisasi serta Westernisasi

Untuk apa penataan kota bila akhirnya tambang kami dikuasai asing?
Untuk apa rumah sakit dibangun bila kelak anak-anak kami takkan bisa sembuh sebab limbah perusahaan tambang?
Dan untuk apa sekolah menjadi banyak bila kelak anak-anak kami memilih tak bersekolah sebab membantu kami kerja serabutan demi sesuap nasi?

Jangan jual tambang kami. Sebab kami butuh makan!

28 Juli 2017

Djefri Bantahari, lahir di Pohuwato, Gorontalo pada 28 Desember 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penyuka musik Pop dan Hip-Hop, serta senang jalan-jalan ini telah menerbitkan antologi puisi tunggal Lupa (2017). Juga menjadi salah satu kontributor terpilih dalam antologi puisi Ngajak Tobat: Ku rindu surgamu (2017). Pada Juni 2018, Djefri membukukan kumpulan narasi pendek Sepilihan Cerita Luka dan kini sambil bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu SMP di daerahnya, ia tengah mempersiapkan antologi puisi tunggalnya yang kedua. Untuk bertegur sapa bisa lewat E-mail: djefribantaharipart2@gmail.com  FB: Djefri Bantahari (El Featherz).

Puisi Armen S. Doang
Halte Ingatan

dada,
kota yang begitu lapang
kita duduk melipat percakapan
menghitung perlahan harapan

dari sebuah doa
lupa saling bertanya
di mana secangkir cokelat hangat
mengepulkan ingat

lampion-lampion cantik berbaris
di atap halte jatuh gerimis
senyummu tersungging tipis rampis

lalu masing-masing pandang
lepas ke arah berbeda
meninggalkan catatan luka
dari tetes air mata

bus yang lama kita tunggu tiba
kau masuk dari pintu belakang
aku melambaikan tangan

seperti dalam novel kesayangan
syalmu tertinggal
di samping perempuan
dengan jas hangat yang setia membalut usia

Bekasi, 18 Maret 2017

Armen S. Doang, beberapa puisinya telah dimuat beberapa media masa, serta dibukukan dalam antalogi bersama seperti Tifa Nusantara 3, Jugijagijug dan Monolog di Penjara. Salah satu puisinya juga masuk dalam nomine Litera 2018. Sekarang aktif dan bergiat sejumlah komunitas sastra dan dunia kicau burung (Ronggolawe Nusantara) di Bekasi.