Mukadimah
Seorang kritikus sosio-kultural, Sheldon Norman Grebstein, menegaskan, bahwa pemahaman terhadap teks (sastra) hanya mungkin dapat dilakukan secara lengkap, jika kita tidak memisahkannya dari latar kehidupan masyarakat dan budaya yang melingkarinya. Apa maknanya pernyataan itu? Sastra pada hakikatnya merupakan tanggapan evaluatif pengarang terhadap dunia sekitarnya. Maka, secara sadar atau tidak, tanggapan itu akan mencelat dan nongol dalam karyanya.
Puisi—yang baik, konon, merupakan bentuk sublimasi kegelisahan penyair atas berbagai problem yang menghimpit dan menekannya. Dalam bahasa Carl Gustav Jung, penggagas psikologi analitik, puisi –sastra—selalu akan memunculkan peristiwa masa lalu, bentuk-bentuk kepurbaan, arketipe, dan pengulangan mite yang paling kuno. Oleh karena itu, tema apa pun yang muncul dalam puisi kontemporer, ia dapat ditelusuri pada kehidupan manusia purba.
Tiga puisi yang ditampilkan kali ini, “Gamelan, Gendhing Masa Lalu” karya Seruni Unie, “Kisah Pengembara” karya Muhammad Daffa, dan “Tiba Di Biloq Songkang” Gustu Sasih, boleh juga disoroti lewat gagasan Grebstein atau Jung, jika kita hendak mengaitkannya dengan kehidupan sosio-budaya yang mengepung diri pengarangnya. Bagaimanapun, puisi—sastra, tidak datang dari langit dibawa malaikat. Ia lahir dari pergumulan kreatif. Di sinilah kemampuan dan penguasaan bahasa seorang sastrawan mendapat batu ujinya yang paling substansial.
Puisi “Gamelan, Gendhing Masa Lalu” karya Seruni Unie mewartakan kisah aku lirik dengan segala kemarahannya yang terpendam. Gamelan adalah arena pergulatan aku lirik dalam tarik-menarik ibu-ayah, dan para nayaga. Sebuah peristiwa yang kerap berulang dalam kehidupan dunia pedalangan. Kita kerap mendengar peristiwa itu, tetapi yang sampai sebagai berita adalah kisah yang samar-samar, rumor yang menyusup di antara gosip dan fakta yang disulap jadi fiksi. Seruni Unie rupanya punya pengalaman tentang itu, dan kini kita dapat menikmatinya dalam puisi yang agak lekat menaburkan simbol-simbol dengan segala metaforanya. Seruni Unie menyampaikannya dengan cara mengalir begitu saja, meski kita merasakannya seperti ada luka yang tak kuasanya dipendamnya.
Luka sejenis tidak kita temukan pada puisi “Kisah Pengembara” karya Muhammad Daffa, meski aku lirik gagal dalam perjalanan pencariannya. Boleh jadi lantaran Daffa menyampaikannya laksana lintasan kenangan belaka. Sumir dengan cantelan yang terlalu umum. Maka, lolong ajag yang lahir dari mitos kultur Sunda –atau kultur lain—, tak dibunyikan secara maksimal. Pada akhirnya, aku lirik gagal pula menjadi Sisiphus. Sangat mungkin ada tafsir lain dengan makna yang lain. Oleh karena itu, terbuka pula peluang menghadirkan polemik.
Gustu Sasih dalam puisinya, “Tiba di Biloq Songkang” juga terkesan agak sumir, meski di sana coba diisyaratkan adanya serangkaian peristiwa subjektif aku lirik. Untuk penyebutan nama-nama khas, masih mungkin kita menemukannya sebagai leksem atau entri ensiklopedia etnik. Tetapi kita kesulitan mencantelkan peristiwa di sana dengan pengalaman kita sendiri. Bagaimanapun, puisi adalah pengalaman subjektif individu yang disulap menjadi pengalaman bersama. Dengan demikian, memungkinkan pembaca dapat masuk ke dalam tubuh puisi, ke dunia yang coba dihadirkan di sana.
Begitulah, ketiga puisi yang ditampilkan kali ini sesungguhnya potensial menawarkan problem yang tidak sederhana. Pemanfaatan warna lokal, simbolisme dalam kultur etnik, dan nama-nama khas yang berkaitan dengan peristiwa sosial adalah sumber narasi yang dalam bahasa Jung sebagai bentuk kepurbaan. Tentu saja kita tidak perlu serta-merta taklid begitu saja. Mukadimah ini sekadar menyoroti kemungkinan lain, bahwa puisi, lantaran mencolot sebagai bentuk sumblimasi, selalu menyimpan potensi keberbagaian tafsir.
Membaca ketiga puisi itu dan coba membandingkannya adalah salah satu cara yang mungkin. Cara lain, silakan telusuri sendiri.
Seruni Unie
GAMELAN, GENDHING MASA LALU
1.
Pernah kutaruh rasa benci pada seperangkat gamelan itu, ibu. Lantaran selalu mengalun suaramu, menyembah kelangenan. Bonang, siter, kenong pula kendang adalah saksi pongah. Saat kehadiranmu melengkapi kegenitan para wiyogo yang tak kenal lelah.
Dulu, di jauh remajaku. Segala cibir kuterima, semenjak sinden kau pilih sebagai jalan cerita.
Pernah kusimpan dendam itu, ibu. Di saku rok abu-abu. Dan memusuhimu diam-diam, setiap pulang tanggapan. Lalu mengharap semua terhenti. Menyetop amarah bapak juga desir angin sengak.
Masa itu, aku baru 17 — saat ego berangas
Sedang usiamu 40, dengan emosi belum teduh
Sementara waktu berdenyut semena-mena
Tak menyisakan bahagia apalagi mesra di antara kita
Gamelan terus dibunyikan, mengiringi pertengkaran demi pertengkaran
2.
Sandal tinggi, konde dan alis tebal adalah bekal andalan. Untuk mengabdi pada ladrang. Dibarengi kerling nakal dari penabuh bangkotan, satu per satu gembyang kau tuntaskan
Sesekali senyum mengurai. Menandai kepuasan batinmu tercapai
Meski kau sadar
Di balik pintu, tangan bengis bapak siap menunggu
3.
Maka sejak itu
Aku tak sanggup hormat padamu, menuang kesumat untuk bapak
Lalu menutup kisah pribadi
Menghindari gamelan pula menjaga jarak dengan jenis lawan
Kau tahu?
Aku trauma. Hilang kepercayaan diri.
4.
Malam berangsur tua
Gelaran karawitan belum purna
Namun tiba-tiba kau memilih hengkang
Menanggalkan kemerduan juga subyo kaum pejantan
Katamu, aku harus nembang kasmaran. Punya pasangan, agar saat renta tak sendirian.
Aku menanggapi diam
Di luar, dingin menyelimut
Perlahan tubuhmu pucat pasi menyertakan hawa sepi
Aku makin kehilangan kata. Tertunduk tanpa daya
Memahami :
kau telah pergi, menyusul bapak yang lebih dulu menghadap Ilahi
Aku gagal berbakti
5.
Sepurane, ibu. Sekarang aku tahu, nggerongmu serupa wasilah. Agar anak-anakmu tumbuh mamah. Tak melolong lapar, meski langkahmu sendiri sempoyongan. Menahan tatapan caci, melawan sindiran keji
Sepurane, ibu. Bila sempat ku-durhagai titi laras bawamu
Solo, 2018
Seruni Unie, penikmat puisi asal Solo. Beberapa sajaknya pernah terbit di media. Dan termaktub dalam antologi bersama. Antologi tunggalnya, Catatan Perempuan (2011), Andrawina (2015) dan Zikir Mawar (2016). Sempat terpilih 15 penulis UWRF 2017. Bergiat di pawon sastra.
Muhammad Daffa
KISAH PENGEMBARA
Sebagai pengembara yang berjalan dari musim-musim runtuh
Aku mencarimu di banyak kota yang gagal kucatat.
Sebagai seorang pejalan yang gemar menjelajah musim-musim luruh
Kucari juga jejakmu pada jalan tua di sekujur kota
Hingga yang kutemukan hanya sepi, lalu lampu-lampu yang selalu letih terjaga.
Sebagai pengembara timpang mengingat nama
Kucari pula jejakmu pada sunyi tiap gang yang selalu dikepung lolong ajag
dan aku pun merasa gagal menemukanmu.
2017
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. Puisi-puisinya dipublikasikan pada Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Koran Banjar, Tribun Bali, Buletin Jejak, Majalah Santarang, Majalah Simalaba, dan sejumlah antologi bersama, Ije Jela (Tifa Nusantara 3), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Maumang Makna Di Huma Aksara (2017), Rampai: Banjarbaru Lewat Sajak, Negeri Bahari: Dari Negeri Poci 8, dan Senyuman Lembah Ijen. Buku kumpulan puisi tunggalnya Talkin (2017) dan Suara Tanah Asal (2018).
Gustu Sasih
TIBA DI BILOQ SONGKANG
wangi dupa
bercampur angin dingin dari tenggara
dari kangeqne
dari gertoq
dari penimbung
yang jauh
gerak dedaun ala tahun 90-an
merasuk ke dalam diriku
sebagai ruh
sebagai salam jumpa yang intim
bagi rindu
bagi pembacaan atas sejumlah peristiwa yang hilang
bagi gustu
yang tiba
yang ingin masa lampau itu berlangsung kembali
di biloq songkang
sebagai rumah yang teduh
bukan sekadar jadi kenangan yang berjalan mundur
2017
Gustu Sasih lahir tahun 1988 di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Menulis puisi sejak masih SMP. Berawal dari ketertarikannya pada potongan-potongan puisi yang sering ia temukan pada lembar-lembar soal ujian. Puisi-puisinya telah diumumkan di sejumlah surat kabar dan media online. Namanya tercantum dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (YHPI, 2017).
Leave a Reply