Penyair Indonesia

Puisi Rini Febriani Hauri dan Eddy Pranata PNP

Mukadimah

Mukadimah kali ini menyorot tema tentang alam dan lingkungan yang menjadi objek interaksi penyair dengan puisinya. Cara yang unik dan personal justru menjadikan kedua penyair ini beragam dalam mencapai efek dan gejolak dalam puisi mereka.

Demikianlah interaksi penyair dan alam lingkungannya dapat menciptakan sesuatu yang sebaliknya. Rini Febriani Hauri justru bergejolak ketika berdialog dengan daratan yaitu suku pribumi dengan hutan-daratannya, Eddy Pranata yang justru tenang bahkan berlenggak-lenggok dengan laut.

Eddy Pranata PNP adalah salah satu penyair Indonesia yang terlihat dalam puisinya berdialog dan menyelami tentang laut. Wilayah baharilah yang dijelajahinya. Meski laut tampak syahdu dalam puisinya – wajah laut yang ramah, sekonyong-konyong dapat saja berubah.

Eddy memainkan efek tipologi untuk menghasilkan dendang pada kesederhanaan sekaligus ketenangan dirinya dalam menerjemahkan laut. Membaca puisi Eddy, seakan kita jadi ingin melongok sungguh anak lautkah dia sehingga tenang “bercanda” dengan laut, atau sebaliknya masih melihat laut dari sunggingan senyum semata.

Pada puisi Rini Febriani Hauri, tampak bahwa tak ada energi paling besar dari seorang penyair yang memuntahkan riwayat negerinya sendiri. Meski dengan bahasa yang naratif, dengan diksi simbolik yang secukupnya, energi kemarahan itu tampak tersusun rapi, memburu untuk kemudian meledak.

Jambi adalah salah satu wilayah yang menjadi lintas transportasi darat sejak puluhan tahun yang lalu. Maka, kepedihan Rini Febriani Hauri seakan menjadi kabar dari sudut pandang berbeda terhadap sebuah modernisasi peradaban kota yang cenderung fisik, tapi menghilangkan sejumlah pranata, habitat alam, tradisi yang pernah terjaga. Menariknya, Rini mampu menjaga bahasa yang simbolik dan khas dengan kata-kata yang lazim. Meski jelas maksud penyampaiannya, tak menjadikan itu sebagai kabar ringan, melainkan kontemplatif, penuh perenungan.

Pilihan katanya mengikat larik-larik sajaknya seperti “para dewa bersemayam menanam biji dan kesuburan”, “pohon-pohon sawit mengisap kehidupan” menambah rindu juga kepedihan, lalu kata “hanya deru angin menyapu hamparan belukar” adalah sepi tiada tara yang terasa bersimaharajalela.

Bagi yang pernah menapak lintasan jalan di Sumatra, khususnya Jambi, insyaflah, bahwa ada sesuatu yang salah yang kita lakukan hingga melukai riwayat kota ini – sampai luka itu pun bersisa dalam tubuh puisi penyairnya.

Jakarta, 5 Agustus 2018
Tim Redaksi

Penyair Indonesia

Puisi Rini Febriani Hauri
Dongeng Bukit Duabelas

kami hanyalah sisa-sisa belantara
di antara gempita eskavator dan chainsaw
yang memberadabkan negeri dari tradisi

di antara setapak yang jauh masuk ke tengah rimba
para dewa bersemayam menanam biji dan kesuburan
hingga tumbuhlah moyang dan inang kami
seperti bersatunya lumut pada tumpukan batu
dan kayu

sejak peradaban datang,
siang semakin lama menjelang
dan hari terasa pengap diterpa kabut asap

babi hutan sulit ditemukan
pohon-pohon sawit mengisap kehidupan
sepanjang sungai pergi dan terlupakan

pokok-pokok kayu menganga
seperti mengisahkan dongeng cenayang
yang tak lagi singgah memberi isyarat
pada tumenggung yang letih menerka masa depan

kau lihat? beras telah melahirkan kaum eksodus
yang rela keluar rimba tanpa kepastian
dan juga restu nenek moyang
kecuali mereka menjadi kuli dari lahan sawit
sekadar mengobati rasa takut dari perut yang buncit

di sudung yang murung, beras tinggal dua gelas
betapa naas hidup terkatung di tengah rimba
pelahan-lahan dihancurkan pendatang

lihatlah, jalan-jalan terbuka lebar dan matang
semakin ke dalam, semakin lapang;
hanya deru angin menyapu hamparan belukar

Muaro Jambi, 2018

Rini Febriani Hauri, buku puisi tunggalnya berjudul Suatu Sore, Bersama Jassin (Bawah Arus, 2016). Empat buku cerita anak yang pernah ditulisnya, antara lain Lubuk Bumbun (Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 2017), Hikayat Depati Parbo (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2017), Kuliner Khas Jambi, Sedap Nian Oi (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018), dan Sultan Thaha Syaifuddin (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018). Penulis bermukim di Jambi.

Puisi Eddy Pranata PNP
Laut yang Tenang

lautku selalu mengabarkan seribu sajak pada
tebing-tebing karang
nyaris setiap waktu
sajak dengan bahasa yang sederhana
yang sangat mudah untuk kaupahami

mestinya engkau tidak memaksaku
untuk selalu memahami jalan pikiranmu
yang sering absurd

biarlah aku menjadi laut yang tenang
tanpa ombak
yang menyakitkan
tanpa karang-karang
yang melukai

aku ingin selalu mengalah
aku ingin terus belajar memahami
angin yang berkesiur
sekecil dan sesederhana apa pun peristiwa
yang kita lalui telah menjadi sejarah yang
tertuang dalam palung ingatan yang terdalam

dan lihatlah bangunan rumah dengan
dinding senyap dan
piring dan gelas kosong
di atas meja berdebu
telah kita biarkan
entah sampai kapan.

Jaspinka, 2017

Eddy Pranata PNP, sejak tahun 2004 lalu mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia.  Sehari-hari beraktivitas di Disnav Ditjenhubla di  Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017). Puisinya dipublikasikan di Horison, Aksara, Litera, Kanal, Jejak, Jawa Pos, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos,  Kedaulatan Rakyat, Batam Pos, Sumut Pos, Fajar Sumatera, Lombok Pos, Harian Rakyat Sumbar, Radar Surbaya, Riau Realia, Flores Sastra, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Banjarmasin Pos, Suara NTB, Radar Banyuwangi, Solopos, Koran Madura, dan lain-lain.