Mukadimah
Konon, ihwal puisi bermula saat ruang dan waktu takluk pada subjek yang menggelar monolog. Frekuensi yang dihasilkan citra akustik puisi menyisip dalam jeda antarlarik. Alam benda takberjarak, peristiwa takberjenak, persepsi inderawi takberbenak. Sebab tanmakna, dialog subjek dan yang lian darinya menempatkan puisi di antara tersampaikan dan terelak. Selanjutnya, kita akan mencoba menimbang kisah subjek dalam imaji temporal dan spasial yang terdukung logika makna dalam larik dan bait.
Ingatan akan subuh terakhir pada batas peralihan tahun tergambar pada peralihan antarlarik bait 1 puisi “Desember” karya Reza Yudhistira. Dalam kalender Masehi, subuh menandai subjek yang telah berada pada //Desember akan berakhir/Berakhir//, pada pagi pukul 00.00.00 hari terakhir di Bulan Desember, sedangkan bulan Desember tepat berakhir pada pukul 23.59.59. Logika peristiwa dan makna terberi pengetahuan sains. Namun, logika makna puisi sering melampaui kesadaran subjek. Betapa larik /Bulan di atas kuburan/ dalam puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang memenuhi logika peristiwa dan makna dalam dunia puisi itu sendiri. Pada kasus ini puisi menginterupsi kesadaran kolektif pembaca yang sudah mapan terberi pengetahuan sains.
Ingatan atas tumpukan pengalaman dan pengetahuan subjek juga tesertakan dalam kata penunjuk yang mengacu pada imaji temporal dan spasial. Persepsi atas kedua imaji ini terbakukan dalam susunan larik. Pada bait 2 puisi “Merawat Kenangan” karya Riadi terbaca larik //Adakah kau disana/diantara keramaian para pejalan//. Imaji temporal dan spasial terbakukan dalam kata penunjuk sana yang menyarankan peristiwa dan makna berjarak dan diperikan dalam kata penunjuk antara yang menyarankan peristiwa dan makna keramaian para pejalan. Pada kasus ini pengetahuan sains menimbang kesadaran subjek yang berada dalam ruang imaji puitis. Lebih spesifik, pengetahuan atas gramatika atau ketatabahasaan menjadi satu-satunya jejak keberadaan subjek dalam puisi. Sebabnya, logika makna yang terberi dari puisi kepada pembaca adalah disana dan diantara yang bermakna peristiwa bukannya di sana dan di antara yang bermakna tempat.
Ingatan atas imaji temporal dan spasial dengan logika makna yang sama juga terbaca pada puisi “Kepada Mao” karya Wahyu Arshaka. Pada larik /Melumatkan diri kedalam tanah/, timbangan pengetahuan ketatabahasaan membangun peristiwa dan makna atas larik tersebut dalam logika makna ketidakonsistenan jika dibandingkan dengan larik /Daun yang melumatkan dirinya ke dalam tanah/. Namun, dalam puisi ini terbaca daya subjek untuk memaksimalkan citra akustik puisi, seperti dalam larik /Hujan bersilaju memeluk bumi/. Proyeksi imaji temporal dan spasial apa yang membedakannya dengan diksi berlaju? Puisi akan menuntut pembenaran atasnya dalam logika makna, baik secara bahasawi maupun secara sastrawi.
Akhirnya, yang lugas bergegas dalam imaji temporal dan spasial puisi adalah transmisi subjek aku lirik puisi melalui peristiwa dan makna dalam tegangan bahwa puisi sebagian kecil dapat menyampaikan sesuatu dan sebagian besar lainnya menyimpan dalam ingatan kolektif antarsubjek yang melampaui kesadaran subjek. Puisi taksekadar bermonolog dengan kesadaran subjek, tetapi berdialog dalam kesadaran dan sekaligus ketaksadaran antarsubjek. Tabik! (Nizar Machyuzaar)
Salam Redaksi
Nana Sastrawan
Puisi Reza Yudhistira
DESEMBER
Aku mengingat subuh
dan keberangkatanku seperti mata kucing yang mandi air hangat. Penuh harapan.
Desember akan berakhir
Berakhir
Tahun-tahun habis dalam celanamu yang makin bertambah tua,
Dalam dokumen-dokumen di handphone yang sekali kau baca,
Kumpulan screen capture yang cuma sekali kau perhatikan,
Kesia-siaan yang melulu dilakukan. Sebuah ritme yang tak berkesudahan.
Aku taruhkan berita di keramaian
Siapa yang lebih dulu sampai?
Antara kenyataan dan rekaan cuma dibatasi ibu jari,
Diciumnya segala yang menghasilkan uang.
(kebenaran meletus lalu orang-orang gembira menghampirinya)
Malam tadi cukup panjang.
Itu untukmu.
Malam itu kepalaku penuh oleh dirinya sendiri.
Bogor, 21 Desember 2021
Reza Yudhistira, lahir dan besar di Bogor
Puisi Riadi
MERAWAT KENANGAN
Rumah siapa paling sepi
Selepas senyum anak-anak
Tinggal kenangan
Di meja makan
Di luar jendela
kota serupa kepala
Menampung segala peristiwa
Dari keriangan, kecemasan
Juga harapan
Adakah kau disana
diantara keramaian para pejalan
dengan sorot mata memudar
memendam luka masa lalu
dari angan-angan
Yang tak berkesudahan
Rumah siapa paling sepi
Sementara Kenangan berderet
diantara kursi dan meja tua
Menunggu harapan
Mengetuk pintu
Sebagai tanda kepulangan
2022
Riadi kelahiran kota Tasikmalaya. Bergabung di Sanggar Sastra Tasik (SST) , Founder TBM Pustaka Lazuardi.
Puisi Wahyu Arshaka
KEPADA MAO
Angin dingin menerpa
Hujan bersilaju memeluk bumi
Daun yang jatuh pasrah
Tidak merasa kalah
Melumatkan diri kedalam tanah
Memberi arti pada hidup yang harus berlanjut
Lalu senja tiba
Bidadari-bidadari turun dari langit
Para penyair berebut mencumbunya
Seakan tak ada waktu lain untuk bercinta
Kemudian lahirlah sajak
Yang tak memberi arti pada hidup yang harus dibela
Daun yang melumatkan dirinya ke dalam tanah
Berkorban untuk hidup yang harus dibela
Penyair yang melumatkan harga dirinya pada kaki penguasa
Hanya bisa mencumbu senja
Tanpa bisa memberi kesaksian
Kendati keadilan akan tumbang
Wahyu Arshaka. Seorang guru di sekolah dasar, nulis cerpen, novel dan sajak. Cerpennya yang bertajuk “Gadis Senja di Tepi Pantai” masuk dalam cerpen pilihan litera.co.id 2021. Tinggal dan bergiat di Karawang.
Leave a Reply