Bunatin

Puisi-Puisi Pilihan Dheni Kurnia

Mukadimah

Penasaran dengan puisi-puisi Dheni Kurnia dari buku Bunatin yang terpilih sebagai Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018? Berikut beberapa puisi yang diambil dari buku tersebut. Bunatin tampil sebagai antologi puisi yang menegaskan bahwa puisi kerap memancarkan mukjizatnya. Kehadirannya sebagai buku yang menghimpun sejumlah puisi tidak datang dari ruang kosong, melainkan melalui proses panjang kegelisahan penyairnya tentang masa lalu, tradisi, dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia menjadi sumber, sekaligus muara ketika masa lalu dengan segala tradisi dan kebudayaannya itu dimaknai dalam konteks masa kini. Dan puisi yang menjadi alat ucapnya seperti aliran sungai yang bercabang-cabang, tetapi datang dari satu sumber mata air, lalu berlabuh pada satu muara. Maka, dalam perspektif masa kini, Bunatin sebagai simbol masa lalu yang terus berkelindan dalam proses perjalanan kehidupan penyair, bisa hadir menyusup sebagai realitas sosial, melayang-layang sebagai bayangan, atau wujud sebagai harapan yang tak kesampaian.

Kelebihan dan kekuatan antologi itu, tidak berhenti pada kemampuan penyair mengangkat dan menerjemahkan sensasi masa lalu atau usaha menggali dasar kehidupan tempat penyair berasal, melainkan pada keterampilannya mengeksploitasi kekayaan khazanah seni bahasa dalam tradisi lisan menjadi puisi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Permainan sarana puitik dalam antologi Bunatin ini, tidak hanya menjadi sumber kekuatan dan kedalaman puisi-puisi Dheni, melainkan juga menegaskan kecerdasan penyairnya dalam memperkaya daya ucap perpuisian Indonesia. Mantra, syair, pantun, bidal, petatah-petitih, dan segala bentuk ekspresi dalam tradisi lisan, menjelma puisi yang menawarkan pemerkayaan bahasa Indonesia.

Ada sedikitnya tiga hal yang boleh dikatakan sebagai sumbangan penting antologi ini, yaitu: (1) Revitalisasi tradisi sebagai sumber kekayaan sastra dan bahasa Indonesia. Lewat antologi itu, sastra (: puisi) Indonesia seperti diingatkan kembali pada kekayaan masa lalunya. Mengingat medium puisi tidak lain adalah bahasa (Indonesia), maka antologi ini laksana menegaskan kembali kualitas bahasa (Indonesia) yang pada dasarnya inklusif, luwes, dan lentur. (2) Eksploitasi bahasa yang hidup di masyarakat masa lalu penyair, berhasil dilesapkan dalam ekspresi puisi yang mengangkat problem masyarakat masa kini. Ia tidak wujud sebagai tempelan, melainkan sebagai kekhasan stilistika yang membangun kekayaan sarana puitik menjadi lebih berbagai. Sebagai sebuah totalitas, antologi puisi ini dapat dimasuki lewat segala arah. (3) Kemampuan menghadirkan dimensi waktu yang berkaitan dengan ruh budaya sebagai permainan tematik, sehingga menjadi sebuah wacana kultural.

Bunatin

Pandang Makrifat

Bismillah
biiznillah
kutembus pandang ke tubuhmu
ke teluk ari ari
dari ujung ke pangkal
menerawang isi batin
melihat yang tak terlihat

aku menembus jauh ke dalam
ke mata hati tak bermata
ke lubuk jantung tanpa lubuk
ke buntalan tali tembuni
meneroka ke nadi darah
mendiam lama merenung tubuh
ingatkan engkau akan aku

izinkan aku mengasah pandang
untuk mengukur rentak detak
menghitung alir di pori pori
mencari jawab tak terjawab
letakkan empu di ulu hati
untuk menuju seberapa dalam
rindu engkau kepada aku

hakikat aku adalah talang
makrifat aku adalah keinginan
khodam aku adalah penglihatan
kupandang engkau dengan batin
menembus aku di jelajah tubuh
aku tahu yang engkau miliki
engkau tak tahu arti memandang

aku menggerak detak batin
membaca nama dengan khusuk
tajam fikiran ke dunia talang
menghitung setiap bunyi langkah
mengirim sukma ke nadi engkau
agar engkau ikut merasa
bahwa pandang luas membenam

aku tak memaksa membuka tirai
bersekutu dengan dunia ghaib
aku hanya ingin engkau tahu
dari pandangan mata batin
bahwa seseorang yang menunggu
belum tentu berniat lain
hanya menyentuh ulu hati

di tajam pandang mata batin
kusilau engkau dengan makrifat
seperti mendengar jarum yang jatuh
aku tahu arah runcing nan tajam
tanpa melihat tanpa memandang
aku juga tahu seberapa dalam
pandang engkau kepada aku

Airmolek, 09.2017

Nikahku di Nikah Syahwat

Selembar daun sembilang
menyebut namamu
melambai lambai
bersama ruh angin
melesap ke pedu jantung
menghentikan segala detak
merindulah syahwatmu

setetes getah bening senduduk
melekat diaroma tubuhku
terbanglah ke alam bunian
bersama hasrat berahiku
menuju tali darah engkau
menggerak lingkaran pusar
khayallah syahwatmu

aku nikahkan engkau
dengan syahwatku
dengan mahar selembar sembilang
dan setetes getah senduduk
dengan wali para bunian
dengan izin penghuni alam
terimalah syahwatku

engkau terima nikahku
nikahku di nikah syahwat
izinku di tali jantung
rindumu mengurung niat
sah aku di zakar
sah engkau di mahar
bersatu dalam syahwat

nikahku di nikah syahwat
nikahmu di nikah zakar
khayallah syahwatmu
terimalah syahwatku
dalam gelora syahwat

Talang Gedabu, 17.2017

Keras Air Secencang Besi

Akulah air sekeras besi
akulah besi sederas air
keras aku di dencing engkau
keras engkau dalam zat
zat aku bertemu engkau
keras besimu selunak air

aku yang memberi engkau nama
dari keturunan adam ketiga
sifat aku takluk di engkau
keras aku di lunak hati
aku yang membuat engkau keras
aku yang membuat air menderas

patuhlah engkau kepada aku
lunaklah engkau di diam aku
darahku merah jantungku hitam
tak tertakik di kala lunak
tak tersudu dikala keras
buatlah aku sejalan engkau

kau hanya pinjam sebentar
tak lama di genggam tangan
namamu air sepanjang deras
namamu besi sepanjang keras
tak lalu dandang di air
di batang besi engkau mengalir

engkau keras di tangan malaikat
turun ke bumi di tangan nabi
rasa takutmu berpindah tempat
keras rohmu di mantra talang
aku tahu asal engkau menjadi
melunak engkau tersentuh air

engkau besi karena lidah
engkau tajam karena lidah
lidah adam yang memberi nama
ludah adam yang membuatmu cair
engkau besi setajam lidah
engkau air sekeras besi

dek tajam engkau berkelakuan
dek deras engkau menghanyutkan
aku tahu asal kau air
aku tahu asal kau besi
keraslah air secencang besi
lunaklah besi laksana air

Airmolek, 28.2015

Menginang Malam

Aku menginang malam
menelan sirih tanya
mungkinkah satu purnama
talang takat berbuah jerami
bunga manggar mekar sehari
teluk belanga berwarna cerah
gambus berdenting sebulan penuh

gigiku bergarang karena menginang
songkokku melepuh ditiup panas
tombak tersandar tanpa tujuan
memaling rotan di langit cerah
hanya ada kau di dalam batin
memuja bayang sepanjang galah
meremuk dalam jantung hati

dekatlah dayang dekatlah
bawa aku ke perigi takat
aku menginang terkenang engkau
menyirih lalu di malam pekat
memuja bayang sepanjang galah

Talangtakat, 18.2009

Dari Sungai Limau ke Batang Gangsal

Aku adalah anak sungai limau
dari puak cenaku yang terbilang
ayahku air ibuku batang
dari nenek datuk mandrajati
dari tanah pemberian raja
memuja siang bersuluk malam
langit tempat meminta
tanah tempat memuja
bumi dan langit di langkah lama

aku bersanak ke batang gangsal
yang mengalir deras ke sungai akar
ayah tigapuluh beribu pagaruyung
keturunan datuk ria belimbing
penakan kandung datuk ria tanjung
bernenek sama datuk ria muncak
jauh dari irama langkah lama
berpenghulu, mangku dan monti
berbatin sebati dengan adat

dari sungai limau ke batang gangsal
aku berkayuh memuja kerabat
menjalin nasib sepenggal marwah
menyambung hati sepanjang ranah
menjaga ladang sejengkal tanah
langkah lama adalah panutan
melayu islam bukanlah buatan
kami hidup dek sayang hutan
kami mati hidup berkawan

dari sungai limau ke batang gangsal
aku tunak dengan ruh moyang
menjaga mata yang tak terpejam
menjaga segala isi bumi
sayang anak dilecuti
sayang kampung patuh ke patih
kata adat  berbuhul sendi
kata sepakat kata rang banyak
melayu aku di dalam syarak

dari sungai limau ke batang gangsal
hidup menyatu dengan alam
kami bersepakat dengan seloko
hutan berpuaka hidup berlarangan
tak berkata dengan dusta
tak berjanji dengan mungkir
bermamak ke tanah pilih
berjanji sama sehidup dan mati
merindu dengan nafas yang satu

Lbk. Kepayang, 06.2017