Preman Simpang

Puisi-Puisi Norham Abdul Wahab

Mukadimah

Bisa dikatakan bahwa Syair yang berasal dari kata syi’ir ikut memperkaya perpuisian Nusantara yang ketika itu masyarakat sudah mengenal bidal, peribahasa, dan pantun. Syair dan Pantun memiliki kemiripan bentuk, yaitu pembaitan yang terdiri dari empat larik. Keduanya juga menekankan adanya persamaan bunyi akhir, yaitu a-a-a- untuk syair dan a-b-a-b untuk pantun. Di sini tak akan dibahas soal sampiran dan isi sebab masalah itu sampai sekarang masih menjadi perdebatan para pakar. Bentuk syair dan pantun itulah yang mempengaruhi perpuisian Indonesia yang awal, terutama pada persamaan bunyi atau rima. Bahkan, pembaitan dan tipografi cenderung dimodifikasi, yang biasa empat larik bisa menjadi dua, tiga, enam dan seterusnya. Meskipun disadari tidak hanya syair dan pantun yang mempengaruhi puisi Indonesia, ada gurindam dan lainnya.

Pada Dua Puisi Norham Abdul Wahab berjudul ‘Preman Simpang’ yang buku puisinya masuk 20 nominasi Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018, kita menemukan model persajakan pantun atau syairp. Ada pula spirit yang bernuansa kritik sosial dan religi. Norham hendak mengajak wisata melalui diksi dan bunyi, dia juga menyembunyikan makna dengan simbol yang dihadirkan. Akan tetapi, puisi ini bisa jadi hanya persembahan kepada orang yang namanya dituliskan pada kedua puisinya. Atau, Norham sengaja mencurahkan hatinya pada mereka melihat keadaan di sekeliling, ada nada protes namun dituliskan tanpa hujatan. Norham seolah ingin mengajak berdiskusi, mengoreksi diri pada cermin kehidupan.

Begitulah kekuatan puisi. Tidak hanya pada tema yang dibidik melainkan bentuk bahasa yang disampaikannya pun unik, sehingga puisi tercipta bukan sekadar meracau, igauan atau ucapan dari orang-orang yang tak waras.

Salam puisi tak henti-henti!

Preman Simpang

Norham Abdul Wahab
Preman Simpang
: amien

buya, di mata kita yang buta
palu Tuhan masih di tangan
belum diketuk di buku nisan

padahal, pada lima puluh ribu tahun
sebelum mak mengejan ubun-ubun
sebutir tangis telah digores, ditulis
kita tak akan dapat nak menangkis

tapi, pintu jendela lebar terbuka, buya
masih, sebelum jari berhenti bertasybih

dan kita, memancang pandang ke situ
melihat dinding, mencari cacak paku
tempat sketsa dan lukisan bertinta cinta
tergantung, dipintal-pintal benang rindu

sketsa wajahmu, lukisan tubuhku

kau, ditemani embun dan salju
memenuhi hari, melunasi janji

aku, berteman hembus angin yang dingin
membesut langkah kaki, mengheret mimpi

lihatlah buya, catatan itu masih basah:

di barat, ada pintu gembok dari baja
gudang penyimpan lupa dan dosa-dosa
tak ada listrik, tak ada sirkulasi udara

gelap dan pengap, tak ada cahaya
ulat tikus kecoa banyak, berserak
ledah sekali, serempak hewan berak

di sana, perempuan tontonan wisatawan
di balik dinding kaca, godaan intan berlian
tak berjubah tak purdah, bayi semula jadi

ada gurat duka wajah mutiara, memang
namun, berlinyang undang pesta miang
a song a sung a sing bermata-keranjang
membuat lapis langit tak henti menangis

di tenggara, banyak boneka kain perca
suka bertelagah, tentang puisi mentah
tak sudah-sudah, dan tak dapat ditegah

menulis kisah percintaan raja-permaisuri
melukis kehebatan perwujudan wali-wali
nyanyikan indah bukit dan bunga-bunga

lalu, mereka akan tertawa bahak hahaha
jumawa, berdiri di pucuk puncak tangga
walau kaki pincang, berdiri bergoyang
walau wajah gincu, disolek racun madu

mereka, mengubah kata jadi permata

tapi muntah, ketika disuguhi janji para nabi
tapi marah, ketika diingat sebentar lagi mati
tapi berkilah, ketika diajak dekat pada Allah

di selatan, kondisinya hampir sama
matahari malu dijadikan sesembah
serupa bulan tak sudi dituhankan

namun agama, imitasi dan dijual-belikan
dipasang dipajang di pasar di pertokoan
diperdagangkan dengan harga murahan

memberi kabar, kebodohan belum nisan

akan hilang muka, di kelak di kemudian
saat tak dapat memandang wajah Tuhan

di utara, ada gempa yang mengguncang
merebahkan marwah, rubuh terlentang
serupa sampan diterjang topan di lautan

seorang buya dipenjara, perlakuan sememena
alquran tak boleh dibawa, shalat di tempat dua
seorang ulama koma, kemaluan di-bully
kaki digari, bengkak tak dapat bergerak

seorang ustadz diikat, mulut disumbat
walau hati langlang, tak dapat dijerat
menghumban doa embun rimbun daun

tak ada cermin, hanya tumpahan airmata
memindahkan wajah surga ke genangnya

di timur, ada pintu kayu ukiran jati
pahatan tangan, suci dan mengkilap
tempat menghadap, mengebat harap

di situ, kitab-kitab tertata tersusun rapi
lengkap bersih, tak berdebu tak berdaki

dan kita ingin sekali mencuri, tertangkap
dipenjara di sana, abadi selama-lamanya*

tapi, kita masih tegak di sini, tergagap
di simpang lima, di samping bingung
di simpang bimbang, simpang gamang

telanjang dada, membusung bercekak pinggang
pasang wajah garang, memegang sebilah parang
menakik siapa saja yang tak patuh pantang larang

hujjah atas nama Allah, berkecai bak ludah
tak ada kesah, merah wajah jika disanggah

sebab kitalah akak, preman simpang
siapa melawan, dicincang dihayang
ke sungam ke tekak ke kerongkongan
makanan cacing dan menjadi kotoran

sebab kitalah akak, preman simpang
siapa membantah, dipatah dipelasah
dijadikan alas langkah, dipijak-lapah

sebab kitalah akak, preman simpang
yang takut, diam dan siapkan setoran

buya, apakah palu Tuhan telah ditalukan?

pintu jendela menyempit di pandang mata
jarum jam letih, hendak istirah melangkah
perlahan-lahan, hentikan gerak, laju lelah

buya, mata kita sememangnya telah buta!

Mboro, 2018
*mengenang sebuah puisi gubahan (alm) Kuntowijoyo

Preman Simpang (2)
: ramon

hampar yang terbentang
penat mata memandang
padahal, langkah melelah
tubuh ringkih menyinggah

kilat petir, hujan butir pasir
memaksa hati, tebing disisir
badai topan dan gelombang
memanas hati, memanggang

tak ada jalan besimpang di depan
semua langkah, arah dan tujuan
tak berbatas, tak bersempadan
walau sajadah tak membelit sedan

sombong nan bertato di badan
tak perduli letih kaki berjalan

ohai dikau, preman simpang
sahabatmu dekat, kematian
menjengah tiap kesempatan

tak bercakap, menghembat
membuat angkuh tercekat
tak sempat langkah bersilat

ohai dikau, preman simpang
sudah, sembunyikan berang

moh, kembali ke pangkal jalan
tempat utusan menyalin pesan:
“Aku dekat, lebih dari urat kematian”

ketakutanpun rapi tersimpan
lari mendekat, rindu dekapan
jarak jadi malu, pergi berlalu

MBoro, 2018

Norham Abdul Wahab, lahir di Bengkalis. Beberapa karya cerpen dan puisinya dimuat media cetak. Buku kumpulan cerpennya Ulat Perempuan Musa Rupat (2018) dan buku kumpulan puisi tunggalnya Preman Simpang (2018).