PUISI YANG BELUM KUBERI NAMA
Bagi Nenek
Tanganku mengangkat tinggi semangkuk nasi, hasil panen benih
di ladang yang sama di mana nenekku dikuburkan.
Setiap benih padi rasanya manis seperti bunyi lagu pengantar tidur
dari nenek yang tidak pernah kudengar.
Aku membayangkan wajah lembut saat mereka membaringkannya ke dalam bumi,
pakaiannya butut, kulitnya menempel di tulang-tulangnya;
dalam kelaparan besar tahun 1945, desaku
kekurangan lahan kuburan untuk menguburkan semua orang mati.
Tidak ada yang bisa menemukan kuburan nenekku,
jadi ayahku mencicipi nasi pahit selama enam puluh lima tahun.
Setelah enam puluh lima tahun, ayah dan aku berdiri
di depan makam nenekku.
Kudengar ayah memanggil “Ibu,” untuk pertama kalinya;
sawah di belakang punggungnya bergetar.
—-
Dua kakiku melekat di dalam lumpur.
Aku mendengarkan gemeretak dupa yang terbakar dalam upacara penyebaran jiwa nenekku;
menyatukan kedalaman dengan bumi, memupuk akar di lapangan,
ia diam-diam menyanyikan lagu pengantar tidur, menghantarkan tanaman padi bermekaran.
Mengangkat semangkuk nasi di tangan, aku menghitung setiap benih,
masing-masing berkilau dengan keringat kerabatku,
punggung mereka membungkuk di sawah,
wangi pengantar tidur nenekku hidup di masing-masing sanubari kami.
RUMAH BUMI
Jalan-jalan dibanjiri darah hijau mereka sampai menjadi pucat.
Musim panas mengubur suara jangkrik;
musim dingin mengubur daun-daun.
Aku bertelanjang kaki menyusuri trotoar beton – kuburan bagi rumput,
dan kesedihan tak menemukan tempat untuk bersandar.
Beton baja, menjulang,
debu, asap menebal.
Dalam satu suara tegukan menelan matahari.
Aku meletakkan tangan ke wajahku sendiri, aku tidak dapat mengenali diriku sendiri.
Sungai mengalir dari hutan-hutan yang mati terlalu muda,
darah melingkari cahaya awan merah;
manusia tenggelam sendiri dalam banjir
bergegas ke gunung-gunung gundul
-yang pernah rimbun dengan pohon-pohon yang bangga
berpegang teguh pada akar mereka-, menangisi nasib mereka.
Di tempat dimana dulu tanaman padi muda berwarna hijau,
saat ini cerobong asap pabrik menyeruak ke rusuk cahaya.
sebentuk kanker turun, tumbuh, dan menyebar dari keserakahan manusia.
Dimana aku bisa bersembunyi, ketika aku mengejar diriku sendiri?
NGUYEN PHAN QUE MAI lahir di sebuah desa di Vietnam bagian utara pada tahun 1973. Dia pindah dan besar di Delta Mekong, Vietnam bagian selatan. Dia adalah pengarang tujuh buah buku puisi, fiksi, dan non fiksi yang diterbitkan dalam bahasa Vietnam. Terbitan internasional pertamanya, “The Secret of Hoa Sen” (Kumpulan puisi, BOA Editions, 2015) menerima penghargaan Lannan Award dan diterbitkan di Amerika Serikat. Novel pertama Que Mai dalam bahasa Inggris akan segera diterbitkan oleh Algonquin Books (New York). Que Mai menerima penghargaan Penyair Tahun 2001 dari Asosiasi Penulis Hanoi, memenangkan hadiah utama dalam Kompetisi Puisi bertema Seribu Tahun Hanoi, demikian juga pembiayaan dan beasiswa dari Lannan Foundation (Amerika Serikat), Universitas Lancaster (Inggris), dan Price Klaus (Fund for Culture and Development, Belanda). Que Mai meraih gelar Masters dalam bidang Penulisan Kreatif di Universitas Lancaster. Saat ini Que Mai sedang menulis sebuah novel tentang Perang Vietnam sebagai bagian dari upayanya meraih gelar PDd di universitas yang sama. Mulai 2017, Que Mai berdiam di Jakarta, Indonesia. Rencananya dia akan tinggal sampai tahun 2020. Dia sedang akan belajar tentang budaya lokal dan sangat bersemangat untuk memahami dinamika dunia kepenulisan dan sastra di Indonesia.
Leave a Reply