Mukadimah
Karya sastra, memetik pendapat Goldmann (Epistemologi of Sociology, 1981:55-74), pada dasarnya merupakan pengungkapan atau proses menyatakan pandangan dunia secara imajiner. Segalanya dihadirkan dalam relasi yang imajiner pula. Salah satu unsur penting di sana adalah keindahan yang dalam konteks seni disebut estetika. Unsur inilah yang jadi penggerak pikiran menemukan sensasi. Saklar imajinasinya dihidupkan lewat kata sebagai ‘tanda’ atau informasi peristiwa.
Dari tiga puisi Kamajaya Al Katuuk yang dimuat kali ini, kita berjumpa dengan kata (dan rangkaian kata) yang coba menyajikan kedalaman pikir. Kata sebagai tanda untuk menuangkan rasa estetik.
Tidak hanya itu, ia juga menawarkan kata dengan kedalaman makna lewat pengucapan khasnya.
Dalam puisinya yang lain (Biologi Pohon Ketela), kita seperti diajak masuk ke ranah imaji. Tanda yang tersirat dapat dimaknai sebagai kehidupan yang berulang-ulang. Nah, kata yang hadir dalam ruang sempit itu mengisyaratkan tafsir dan pemaknaan yang luas.
Begitulah, pikiran sebagai tanda menegaskan kekuatan pada keyakinan terhadap zat adikuasa.
Aspek lain yang patut diperhatikan pada puisi Kamajaya Al Katuuk ini adalah model pengucapannya. Adakah sesuatu yang baru? Ya. Di sana ada keanehan atau ketidaklaziman yang dapat kita tangkap pada gaya pengucapannya. Itulah salah satu kekhasannya yang lain lagi. Ada sesuatu yang tak biasa, tak lazim.
Aspek lain yang juga menonjol adalah adanya kecenderungan sufistik. Mengusung tema dengan sudut pandang sufistik tentu saja memerlukan perenungan yang mendalam. Sebuah perjuangan yang kerap dilakukan para penyair kita. Dalam hal ini, penyair perlu melakukan penjelajahan kreatif untuk menemukan gaya pengucapannya sendiri.
Satu syarat bagi penulis puisi untuk mencapai maqam kepenyairan.
Tiga puisi Kamajaya Al Katuuk yang dimuat ini dikirimkan Sovian Lawendatu dari manuskrip buku puisi berjudul ZIARAH LANGIT (1997). Selamat membaca.
Malam Bintang: Doa Pencegah Bunuh Diri
Malam bintang:
Malaikatkah engkau yang mendaraskan kitab
malam yang
sejak kaki senja
pamit
lewat lambainya di kitab mihrab
gunung.
Malam bintang:
Bintang yang ruyak mendaftar
nafsu
satu
satu.
Bagai doa bintang pada malam:
Aku hendak nyenyak
maka
tak kuijinkan kau mengintip mimpiku
hingga
dini beralih
jadi tangan belai
jadi sungut bisik merdu.
Bagai doa bayang pada cahaya:
yang penting, sayang
Aku
selalu
berjalan
mematokkan tanda
mengucurkan darah
di ladang-ladang
berdoa semoga jadi sejarah
bukan untuk siapa
untuk ke untuk
Bagai doa kuala pada sungai:
betapa aku perlu kesibukan ini
membaca kitab sejati
sampai lupa luka tubuh
harap yang pernah tumbuh;
sahabat yang bersalam sambil menikam
mengadu pada hukum malah berjadwal makam
dan pulang rumah tanpa salam.
Malam ada bintang
Aku tak ada!
Secara kuda pada ladang aku katakan
Aku tak ada!
Secara air pada sungai aku serukan
Aku tak apa!
Tetapi kedepak langkah kuda
dan keciprat air di sungai
terus ke terus.
Biologi Pohon Ketela
(Oposisi Biner)
Sebatang pohon ketela dipotong-potong
Terpotong batang
batang terpotong
tapi selnya tidak mati
hanya hidup tertunda
Sampai bumi memeluknya
Langit menangisinya
Lalu tumbuhlah sirung
Umbi kehidupan baru
Berbatang-batang
berpohon-pohon
berumbi-umbi
Sebatang pohon kehidupan dipotong-potong
Terpotong harapan
cinta tak sesanding kuasa
tapi sel-sel nabi tak pernah mati
hanya berganti nama
Sampai bumi memeluknya
Langit menangisinya
Lalu tumbuhlah sirung
Umbi kehidupan baru
Berorang-orang
bertanah-tanah
berlaut-laut
cinta demi cinta
atas nama cinta dendam pada angkara
Memotong pohon kuasa
Orang menyangka menguburnya
Tapi sel angkara tak pernah mati
Sampai bumi hamil karenanya
Langit menangisinya
Lalu tumbuhlah sirung
Umbi kehidupan baru
Angkara demi angkara
atas nama dendam cinta pada cinta
Pohon tumbuh dari
Lalu ke lalu
Dari sel ke sel
Dari mati ke umbi
Lalu ke lalu
Dari sel ke sel
Dari kubur ke bangkit
Lalu ke lalu
Dari sel ke sel
Dari angkara demi cinta
Dari cinta demi angkara
Dari lalu ke selalu
Kau sambil mengintip
mungkin merasa memilihnya
tumbuh bersama salah satunya
atau memelihara keduanya.
Lihatlah ke tanah, selalu ada yang baru
Kupu-Kupu Terbang Sampai
Kupu-kupu terbang sampai
demi bunga yang
dimekarkan matahari yang
tadi subuh bersamaku
menyiang ladang harapan
dari ilalang duniawi
Belibis turun melintasi ladang dan tegalan
ditebarkan langit yang
pagi tadi menyirep
teratai hingga berbenah istirah
agar aku bebas menghadap matahari
mendaraskan jampi
menjinakkan jin supermarket
menyirnakan pelet gadis-gadis zombi
yang gentayang telanjang di gang nafasku!
Aku turunkan antena
asesoris hidupku:
mengembalikan dunia jadi bumi
saya pada aku
pada diri sendiri
muara pada hulu
pada asal
akal pada nurani
We live in succession, in divission, in parts, in particles. Meantime within man is the soul of the whole, the wise silence, the universal beauty, to which every part and particle is equally related, the eternal ONE (Emerson, The Over-Soul)
Indra,
Tunggallah!
Merentas jalan sampai
(beru)Jung padaku!
(tu)Run padaNya!
(sam)Pai padaKita!
Ana al Haqq!
Laa ilaaha illallah
Tak ada apa-apa
Tak ada siapa-siapa
Bunyi tak
Lamun tak
Lihat tak
Rasa tak
Ana al Haqq!
Ku
pu
Ku
pu
Ana al Haqq!
Kamajaya Al Katuuk lahir di Bandung, 14 Maret 1960. Dia Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Negeri Manado (S1), Bidang Kajian Amerika Universitas Gajah Mada (S2), dan Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (S3). Sejak tahun 1984 dia mengajar di Universitas Negeri Manado sambil terus berkiprah di bidang media dan sastra. Buku puisinya yang sudah terbit antara lain: Harmonika (1980), Bukit Kleak Senja (1991),Riak Utara (1990). Karyanya juga banyak dimuat sejumlah media di antaranya: Anita, Cemerlang, Kartini, Kompas, Media Indonesia, Republika, Horison, dan Bisnis Indonesia.
Leave a Reply