Iyut Fitria

Puisi-Puisi Iyut Fitra

Mukadimah

Puisi dalam proses penciptaannya bisa dikatakan lahir dari pengaruh lingkungan atau budaya masyarakat tertentu. Dia (puisi) tidak melulu berbicara tentang diri sendiri atau penyairnya, itulah mengapa puisi selalu mengalami perubahan tema dan sudut pandang meskipun diciptakan oleh satu penyair. Sebut saja Iyut Fitra dalam buku puisi ‘mencari jalan mendaki’ yang masuk dalam 20 nominasi penghargaan Anugerah Hari Puisi tahun 2018. Dalam dua puisinya yang dimuat kali ini memiliki hubungan psikologi masyarakat Minang, khususnya laki-laki yang memiliki posisi penting dalam kultur Minangkabau. Merantau, adalah satu di antara jawaban yang paling sering dijumpai pada pertanyaan-pertanyaan bagaimana posisi laki-laki menjadi hal istimewa.

Pada dua puisi ini, Iyut Fitra menciptakan tokoh Balun sebagai representasi dari kegelisahan penyair mengamati lingkungan sekitar. Balun, sebagai tokoh imajinatif yang lahir dari desakan-desakan kerasnya hidup dan budaya setempat. Misalnya dalam puisi ‘Kota dalam Kepala’ mengisahkan Balun yang gelisah akan melakukan perjalanan ke sebuah kota, atau bisa saja dia telah berada di sebuah kota lain yang bukan kotanya sendiri. Kegelisahan-kegelisahan itu menganggu pikirannya, dimana terjadi banyak peristiwa-peristiwa penuh perjuangan dan gambaran kebobrokan sebuah kota. Dan, setiap persinggahan pada kota-kota lain, perih yang terasa.

Sedangkan pada puisi kedua ‘tersesat di sebuah kota’ tokoh Balun begitu merasakan kebingungan arah antara jalan pulang ke kampung halaman atau meneruskan perjalanan di kota. Akan tetapi, semakin Balun berjalan jauh, dia seolah merasakan tersesat. Sepertinya Iyut Fitra menangkap fenomena merantau di daerahnya begitu terperinci. Dia seperti sedang melempar pertanyaan pada adat Minang, apakah memang penting seorang laki-laki Minang merantau? Atau, memang sudah tidak ada lagi pekerjaan di daerah sendiri? Lalu, mengapa harus merantau jika hanya mendapatkan perih dan luka?

Selamat membaca!

Iyut Fitra
Kota dalam Kepala

setiap malam
kata di punggungnya berpinak
menjelajah dari satu ke lain kota
rimbun dalam pikiran
“apa kaubawa wahai, orang lalu?
setiap singgah selalu perih bersiburu
telah ia tanggalkan segala
bait-bait terus mengejar
di setiap tempat orang-orang menggambar perang
kota-kota ambruk
bersamaan dengan anak-anak muda muntah
di simpang jalan
“kata serupa apakah ini menjerat?
bait tumpang tindih dan sesat.”
ia rasa kepalanya penuh

bumi dipijak
langit telah dijunjung
si balun melintas di berbagai kota berbagai cerita
menjadi ia
menjadi lakon kadang saksi
ke mana orang-orang pergi akan kembali

pada sebuah pagi
secangkir teh dan jendela terbuka
gambar-gambar itu berterbangan
menjadi burung-burung
melintasi perbatasan
kota dalam pikirannya terbakar
melemparkan api kesumat
ke wilayah-wilayah kemudian dilupakan
oalah, siapa itu memuliakan pembantaian
adakah mereka berangkat mengejar kata
atau mereka datang merebut tahta

“ke mana lagi tujuanmu, orang lalu?
apakah sampai rubuh setiap tiang kota.”

kota dalam pikirannya
meledak dalam setiap kata

tersesat di sebuah kota

kalau saja sebelah diri bisa kau kirim
ia akan merawat sebagaimana cermin tak berdusta pada
wajah
menunggu adalah keingkaran berulang
sementara tungkainya singkat untuk mencari
waktu bergulung
hanyalah suara parau mengimbau-imbau
dalam lantun-lantun sipongang ia tersesat

“ini simpang ke berapa?”
ini kota mana?”

tanah ibu
rantau dalam diri
ketajaman sumur sunyi
masa lalu
kampung yang hilang
kain tiga warna
o, marawa!

semakin jauh pergi
kian terasa hampir ke jalan pulang
wajah terbelah-belah
cermin berderai dipulun bayang
ia merasa baru saja berangkat
lainnya entah berada di kota mana

“ke mana lagi harus kucari?
setiap saat aku terusir dari pergi ke pergi!”
si balun kembali berjalan
entah mendaki
entah kembali

Iyut Fitra, Lahir dan menetap di Payakumbuh Sumatra Barat. Bukunya yang sudah terbit: Musim Retak (2006), Dongeng-dongeng Tua (2009), Beri Aku Malam (2012), Orang-orang Berpayung Hitam (2014), Baromban (2016), Lelaki dan Tangkai Sapu (2017).