Mukadimah
Tentang Penulis | Sebuah puisi berkisah tentang rumah. Penulisnya bernama Iis Singgih. Nama yang memenuhi unsur bunyi pada rima akhir. Mungkin, enak didengar dan mudah diingat. Sebuah nama yang berasosiasi dengan puisi dan musik. Persepsi atas ruang yang paling dekat, barangkali, bagaimana seorang Iis Singgih menghayati tempat tinggal dengan seluruh indera tubuhnya. Terbaca pengetahuan berikut, //rumah adalah kenangan/di mana segala ingatan terpahat rapi/menjaga setumpuk rahasia//. Sintagma puisi ini menarasikan bagaimana domain private dihadirkan dalam puisi dengan penegasan //rumah adalah kenangan/tempat segala disembunyikan/memeram kelapukan/di irama denyut nadi//.
Namun, benarkah puisi telah berjarak dengan penulisnya? Dapatkah kita menyubstitusi aku lirik puisi dengan penulisnya? Meski mengambil tradisi Mappalette Bola, sebuah tradisi pemindahan rumah di Sulawesi, Iis Singgih tidak benar-benar singgah di rumah baru, seperti terbaca dalam sintagma puisi //bergerak dari satu titik ke titik lain/di atas jalanan lengang/sederap langkah melaju bersama debu//. Tersebab demikian, aku lirik puisi berada dalam tegangan antara domain private (perempuan) dan publik (laki-laki). Tersebab demikian pula, penulis puisi yang memiliki otoritas atas teks terbayangi sistem patriarki. Padahal, sebagai metabahasa, puisi dapat menyuar keseimbangan sistem sosial tersebut secara ideologis.
Tentang Alusi dan Ilusi | Romantisme dalam puisi “Ndalang Wayang” menyimpan alusi sampai ke batas genealogi pengetahuan penulis-pembaca, yakni derai-derai kisah Mahabarata. Dalam larik /”barangkali esok tak ada lagi rintih lirih dalam kebingungan waktu” terbaca inskripsi atas peristiwa dan makna berlapis: 1) kisah kematian seorang pesohor (dalang), 2) kisah Pandawa dan Kurawa yang sejajar dengan kebenaran dan kesalahan, dan 3) kisah penulis dan aku lirik puisi yang bersitatap dan bersitegang dengan alusinya. Hal serupa terbaca dalam puisi “Untuk Louis Braille”. Namun, pada puisi terakhir, kita menemukan romantisme bukan dalam alusi, tetapi dalam ilusi. Bukankah penemuan aksara dalam peradaban manusia telah mensahihkan ilusi?
Terakhir, kita akan mencoba menimbang tegangan kisah penulis dan aku lirik puisi yang bersitatap dan bersitegang dengan puisinya. Substitusi penulis ke dalam aku lirik puisi dalam puisi pertama memosisikan otoritas penulis masih dalam sobordinat sistem sosial. Pada puisi kedua, otoritas penulis terhadap teks menandai keberterimaan penulis atas pewarisan pengetahuan sosial dan budaya melalui alusi yang terberi dan mapan. Sementara itu, pada puisi terakhir otoritas penulis telah mengukuhkan diri sebagai Sang Pencipta metabahasa. Puisi merepresentasikan sebuah dunia sampai ke batas judgement ‘pengetahuan ajek mempribadi yang mapan’. Hal ini terbaca dalam sintagma puisi //jadilah kau pengembara aksara/meski tak lagi dapat membaca/juga menghapal gambar peta//. Tabik! (Nizar Machyuzaar)
Redaksi
Nana Sastrawan
MAPPALETTE BOLA
diam-diam angin keluar masuk
lewati jendela yang mulai melapuk
kian hari debu kian menebal
menempel pada dinding
yang setia menjaga usia
rumah adalah kenangan
di mana segala ingatan terpahat rapi
menjaga setumpuk rahasia
hingga hari tanggal satu per satu
nubuah cahaya tetap cerlang
dari tegak pancang penyangga
sampai teduh atap mengayup
Mappalette bola
Mappalette bola
bergerak dari satu titik ke titik lain
di atas jalanan lengang
sederap langkah melaju bersama debu
kompak terpola atur maju lalu berhenti
sejenak letakkan beban dari bahu
tanpa keluh dan gerutu
jala-jala doa dirapal oleh tetua
memupus buih-buih lelah
sejauh langkah para lelaki
angkat rumah panggung
bahu memar menandai jarum waktu
tak mengaduh meski terasa ngilu
Mappalette bola
Mappalette bola
rumah adalah kenangan
tempat segala disembunyikan
memeram kelapukan
di irama denyut nadi
Ruang Kata, 20 Januari 2021
NDALANG WAYANG
:Mengenang Ki Manteb Sudarsono
sebelum gelap kembali merampas kenang
kau genggam sebongkah cahaya
yang pendarnya melampaui segala terang
menarik ke dalam sukma
menuju ruang-ruang sakral
agar tak terasing di tanah sendiri
datang dengan mata tabah
menahan gema jerit hatimu
tersuruk dalam samar zaman
mengurai rimbun suaka kata
luahkan sejuta makna
sebagai pendongeng yang fasih
kau sabetkan kaki dan tangan wayang
dengan sepenuh cinta
menuntun laku hidup manusia
“barangkali esok tak ada lagi rintih lirih dalam kebingungan waktu”
sembari menebar senyum
kau bentangkan layar pertunjukan
memainkan satu demi satu
fragmen Baratayudha
hingga malam tunduk
memberi penghormatan
kepada semua kebajikan
yang mengakar kuat di urat jiwa
begitulah caramu
memilin puncak rasa
di antara tabuhan gending Jawa
dan lengking suluk Waranggono
perlahan kau menyusuri lembah hati dengan hasrat jingga
menyisakan rindu di perbincangan hangat menjelang pagi
Ruang Kata, 16 Februari 2022
UNTUK LOUIS BRAILLE
sudah selayaknya
semua berterima kasih padamu
yang pernah berbisik pada angin
mengandaikan not-not angka
merasuki catatan di benak
agar alunan musik dan nyanyian
mesra beriringan
jara tajam melukai matamu
terkesiap tiba-tiba
pandangan tak hanya ganda
namun hilang menjadi gelap
sambil terus merutuki kesedihan
kembali kau selami hari-hari
yang dulu pernah terlihat
sementara musim memandang dengan haru
burung-burung menyaru
menjelma sekelebat bayang
menuntunmu memancang
panji-panji harapan
di setiap sudut benua
jadilah kau pengembara aksara
meski tak lagi dapat membaca
juga menghapal gambar peta
dari batuan lauh
titik-titik serupa rajah
berubah menjadi alpabhet
memaksa menafsir kata
dalam alit bahasamu
dan keluasan dadamu
adalah ladang paling sunyi
tempat tumbuh subur titik dan garis
hingga kau mampu mengeja huruf
mengetuk jeda birama imajinasi
untuk kembali dimainkan
Ruang Kata, 07-02-2022
Iis Singgih, lahir dan tinggal di kota Malang. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis dan berpuisi. Tergabung dalam komunitas Kepul dan Competer Indonesia, saat ini sedang bergiat di kelas puisi Ruang Kata bersama penyair Demak Mohammad Iskandar.
Leave a Reply