Mukadimah
Puisi, kerap dianggap sebagai ucapan bayangan batin penyair. Ketika ia terlibat secara emosional dalam sebuah peristiwa, boleh jadi jiwanya tak tenang. Ada gejolak yang bergerak begitu saja. Dalam bayangan batin itu tercermin gambaran yang jernih suara hatinya dalam memaknai hidup yang tak pernah sepi dari berbagai persoalan. Begitulah Subagio Sastrowardoyo berhujah. Bagi A. Teeuw, kekuatan puisi tidak hanya jatuh pada tema yang menunjukkan kekayaan dan keberanekaragaman pemaknaan persoalan hidup, melainkan juga bergantung pada bahasa dan cara mengungkapkan. Tentulah, ini dapat ditangkap penyair pada saat terjadi proses kreatif yang berkelindan dengan sentuh estetis.
Berdasarkan pemikiran itu, kita menjumpai nilai-nilai estetik pada tiga puisi yang kita angkat minggu ini. Ada paduan batin yang tercermin pada larik-lariknya. Tidak tampak adanya unsur yang berlebihan atau tidak pada tempatnya. Puisi karya Daffa Randai, misalnya, kerisauan yang mengganggunya, terasa menyuarakan aspek rohaniahnya, karena ia berhadapan dengan kecemasan pada sunyi. Ada semacam katarsis yang sengaja dimunculkan dia lirik, seperti pembersihan batin dari berbagai peristiwa masa lalu. Ia lirik memberikan sinyal kuat untuk meyakinkan dirinya berada dalam kesunyian. Pada dasarnya rasa itu memang diperlukan umat manusia ketika ia diterjang kerisauan.
Puisi Risen Dhawuh Abdullah lain lagi duduk persoalannya. Ia laksana merasakan hidup yang sedih. Gambaran batin kosong atau jiwa berasa kering bisa juga melahirkan pemikiran puitis. Namun, ‘aku lirik’ malah terjebak pada kesendirian. Bayang-bayang batin terus menekannya sehingga dirinya sendiri seperti mabuk kata-kata. Dengan begitu, pengungkapannya jadi laksana kurang kental menyatu pada kesepian. Ada beberapa kata yang agak gelap ketika lanjaran tak dimunculkan di sana.
Puisi Tety Aprilia tentu berbeda. Batinnya dapat menangkap peristiwa masa lalu bersama seseorang. Sudut-sudut tempat yang dilewatinya, menggambarkan bayangan batin yang kuat untuk menekan pikiran, sehingga terhubung pada imagery (citra) atau gatra sebagai hal yang penting dalam puisi.
Ya, gatra atau citra yang visual dan verbal. Ia hadir sebagai bayangan batin, makin dalam perenungan ke dalam bayangannya, semakin bercabang seluk-beluk ikatan gatra, dan pada akhirnya menjadikan puisi itu utuh dan kukuh.
Begitulah …. silakan menikmati!
Daffa Randai
Dipeluk Kesunyian
ada yang senantiasa bertahan menanti kau
di balik jaring teralis kedai, tepi jalan.
dilambai-lambaikannya mata
menelusuri sepanjang ruas igauan:
tetapi sampai pada batas, tidak juga kau ditemukan.
tentu sudah sejak tadi, dari punggung meja:
kenangan mengepul memeluk udara,
melipatgandakan kecemasan. sementara ia cuma
seorang diri, melipat sepi demi sepi yang kerap mampir
tanpa rikuh, menolak pulang kendati usai disuruh.
kemudian, tidakkah kau sekali bertanya, berasal dari apa
tuhan menciptakan hatinya? atau bagaimana cara ia
menyimpan kau bahkan pada letak yang paling dasar?
untuk kali ke sekian, dari balik jaring teralis kedai, tepi jalan:
ada yang senantiasa bertahan, sendiri dipeluk kesunyian.
2018
Daffa Randai, lahir di Srimulyo, Madang Suku II, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan pada 22 November 1996. Detik ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Salah seorang inisiator terbentuknya komunitas Pura-Pura Penyair. Puisi-puisinya tergabung dalam antologi bersama seperti, Kepada Hujan di Bulan Purnama (Tonggak Pustaka, 2018) dan Rumah Kita (Tonggak Pustaka, 2018). Beberapa karyanya juga tersiar di surat kabar Sriwijaya Post, Sumatera Ekspress, Magelang Ekspres, dan media daring.E-mail: randaidaffa22@gmail.com, Ponsel: 0822-8245-2892.
Risen Dhawuh Abdullah
Di Stasiun
tahukah kau di setiap gerbong yang berlalu?
di dalamnya terdapat simpul-simpul waktu
yang tertata pada perjalanan sunyi
yang Pernah tertepa hujan abu
bau udara semoga yang tertahan di jemur mata
gelombang keinginan konstan terpancar
walau harus perang dengan hujan
yang identik kalau dulu katamu
yang identik luka abadi kutambahkan
mengenakan dingin bukan sulit mudahnya membangun perkara,
mengabadikan hati yang terpahat rindu
di pinggir rel kereta, aku menatap
menatap setiap kemungkinan-kemungkinan
kereta-kereta yang akan menikahiku
Bantul, 2017
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Tety Aprilia
Rindu dalam Secangkir Kopi
Cahaya pagi menyergap embun
Saatnya membuka daun jendela
Dan kusibakkan tirai ungu
Kucium harumnya rerumputan
Kuseduh kopi Gunung tilu
Seperti yang biasa yang Engkau Seduh
Ku ingin Kopi hitam yang tak pekat
Katamu saat menatapku saat senja
Aromanya menyeruak tanpa kata
Pagi ini sedang apa engkau di sana
Batinku sambil mengaduk kopi
Dalam cangkir merah jambu
Yang pernah engkau pilihkan untukku
Kuingat pagi itu engkau datang
Membawa setangkai bunga kopi
Dan segenggam biji kopi
Tanpa kata yang terucap
Secangkir kopi Gunung Tilu pagi ini
Membawaku kembali menyusuri kisah lalu
Saat kita melepas rindu di samping Gedung Merdeka
Hanya terdiam dalam temaramnya jalan Asia Afrika
Dan kini secangkir kopi itu menunggumu kembali
Bandung, 13 Mei 2018
Tety Aprilia, Lahir Garut, 16 April 1976 Tinggal di Bandung. Bukunya yang sudah terbit, Sahabatku anak Baduy, Cerita Tari dari Garut, Batik dan jumputan pewarna Alam. Tety Aprilia adalah seorang pustakawan di Sekolah Dasar 196 Sukarasa di Bandung, selain itu dikenal sebagai penulis, Tety juga sering menulis puisi dan dikenal sebagai penggerak literasi di lembaga, komunitas dan lainnya.
Leave a Reply