Mukadimah
Penyair yang baik bisa mengkonkretkan pengalaman puitiknya, sehingga kita bisa tersentuh walaupun mungkin tidak bisa kita pahami sepenuhnya makna yang ingin disampaikan penyair. Dengan kata lain, setiap sajak yang berhasil adalah (gagasan) yang dikonkretkan, walaupun tidak termasuk dalam jenis puisi konkret. Itulah pernyataan Sutardji Calzoum Bachri (Isyarat:Kumpulan Esai). Tentu saja tidak setiap penulis puisi dapat mengkonkretkan apa yang dirasakannya sebagai pengalaman puitiknya.
Ada dua hal yang dapat menyebabkan ketidakberhasilan itu. Pertama, pengalaman yang dianggap besar oleh penyairnya ternyata hal yang biasa saja. Kedua, pengalaman besar tak dapat disampaikan oleh penyair dalam puisinya. Dari kedua hal itu kita dapat menangkap secara tersirat pada puisi Abdul Wachid B.S, penyair asal Yogyakarta yang baru-baru ini buku puisinya terpilih dalam 20 Nominasi Anugerah Buku Puisi Indonesia 2018. Pada puisi pertama, nuansa kegaduhan, kenistaan, kemiskinan, kekuasaan dan lainnya yang menimpa dan terjadi pada orang-orang yang mungkin saja sudah dikenal Abdul Wachid. Mereka lalu jadi bidikan. Abdul Wachid mengerti rangsangan besar yang mengganggu pikirannya sehingga dia tak ingin hal itu menguap percuma.
Sedangkan pada puisi kedua, kerinduan dan kegairahan pada Tuhan mendapat porsi yang lebih menukik dalam proses kepenyairannya. Tentu bisa dipahami pengalaman dahsyat menjadi penyair bagi Abdul Wachid telah membuat hidup dan jiwanya mengalami perubahan. Pengalaman-pengalaman puitik itulah yang membuat puisinya, tidak hanya menjadi alat untuk mengantarkan pengertian, tetapi juga sebagai jalan menyentuh misteri Tuhan.
Selamat Membaca.
Abdul Wachid B.S
Orang Gentayangan
Orang gentayangan berangkat pagi, pergi ke entah
Tapi tak punya alamat rumah
Orang gentayangan menapak tak bismillah pada kaki
Tak yayu hayyu yaa qayyumu pada hati
Orang gentayangan, adakah ia bernama?
Adakah ia milik seorang gadis atau istri setia?
Orang gentayangan mabuk pujian, perempuan
Tapi tak milik kekasih, tak punya cinta
Orang gentayangan meratap sepanjang jalan
Serasa bengkak kaki, seperti luka seluruh tubuh
Orang gentayangan mengambang di antara
Jalanan dan udara debu
Orang gentayangan lapar dan dahaga
Tercekik tak mati-mati
Orang gentayangan mencumbu tiap bayang-bayang
Berpuluh gadis, perawan tak perawan
Orang gentayangan suntuk semalam
Berdzikir daging daging daging
Di manakah kenyang?
Orang bergentayangan singgah dari sempat ke tempat
Tapi di manakah pulang?
Orang gentayangan menjerit kesakitan
Tengah malam, di antara jaga dan mimpi
Terkapar. Sendirian
2000
Nun, Kalam, dan Penyair
nun jauh nun dekat
dekatkanlah jiwa kepada
kolam yang
wajah kau aku bisa berkaca
kalam di masa kanak yang
di sepanjang jalan antara
rumah dan sekolah
terus saja didengar tak didengar
disuarakan oleh seorang bapak
kalam itu bertambah hari
kian menjelma menjadi kolam
di tepiannya kau aku senantiasa
membasuh hidup
wajahwajah topeng
topengtopeng luka
mengembalikan jiwa kepada
pulang kampung
dusun yang
masih menghijau oleh
hutan jati hujan basah hatinurani
sekalipun yang
kujumpai tinggalah nama pada nisan
setiap ingat membuat lidah
mengucap kepada al-fatihah
nun jauh nun dekat
dekatkanlah jiwa kepada
kolam yang
wajah penyair sepertiku
berkaca kepada
kolam
kalam
mu
wajahwajah topeng
topengtopeng luka
mengembalikan jiwa kepada
pulang kampung
dusun yang
masih menghijau oleh
hutan jati hujan basah hatinurani
sekalipun yang
kujumpai tinggalah nama pada nisan
setiap ingat membuat lidah
mengucap kepada al-fatihah
nun jauh nun dekat
dekatkanlah jiwa kepada
kolam yang
wajah penyair sepertiku
berkaca kepada
kolam
kalam
mu
wajahwajah topeng
topengtopeng luka
mengembalikan jiwa kepada
pulang kampung
dusun yang
masih menghijau oleh
hutan jati hujan basah hatinurani
sekalipun yang
kujumpai tinggalah nama pada nisan
setiap ingat membuat lidah
mengucap kepada al-fatihah
nun jauh nun dekat
dekatkanlah jiwa kepada
kolam yang
wajah penyair sepertiku
berkaca kepada
kolam
kalam
mu
Yogyakarta, 10 Oktober 2016
Abdul Wachid B.S, dilahirkan di dusun terpencil Bluluk, Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober 1966. Ia mulai giat bersastra di SMA Negeri Argomulyo Yogyakarta dan bersama rekannya mendirikan majalah sekolah Mekar (Media Karya). Achid tengah menulis disertasi untuk Program Studi Doktor (S-3) Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sebagian sajak Achid terdokumentasi dalam berbagai kumpulan puisi. Sajak Achid juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan Inggris, dan dimuat dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Equator (2011). Buku tunggal yang menghimpun antara lain Rumah Cahaya (2005), Izinkan Aku Mencintaimu (2004), Tunjammu Kekasih (2003), Beribu Rindu Kekasihku (2004), Kumpulan Sajak Nun (2017). Di samping menulis karya sastra, Achid kerap membacakan puisinya di berbagai momen penting kesusasteraan Indonesia juga diminta menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Leave a Reply