Mukadimah
Romantisisme puisi sebenarnya merupakan pertemuan yang terjadi pada masa kini antara nostalgia masa lalu dengan harapan ideal masa depan. Dalam puisi, kadang-kadang pertemuan itu diekspresikan dalam bentuk metafora, ironi, atau paradoks. Maka, ia bisa menjelma keindahan atau kedukaan atas rasa sakit yang mendalam. Berbagai aliran atau jenis puisi hakikatnya merupakan pertemuan dua wilayah perasaan dan idealisme yang kontradiksi semacam itu. Penyair coba melihat kehidupan manusia dari perspektif yang berlawanan, kontradiksi, dan paradoks.
Dunia ideal yang diharapkan dan kenyataan pahit yang hendak dilawannya bisa saja dihadirkan secara seimbang. Bisa juga dimakaudkan untuk membangun harmoni. Ketika manusia lebih menghargai akal budi dan memberhalakan rasionalistas, kata romantik justru kerap diartikan secara berlebihan. Imajinasi dan perasaan berperan penting dalam menyampaikan suara hati. Bahkan, semangat romantik dihubungkan dengan perkara perasaan, subjektivitas, spiritualisme dan melankolisme. Back to nature (kembali ke alam) adalah seruan kaum Romantik. Mereka menempatkan diri seolah-olah membawa angin segar dan melenturkan urat-urat yang kaku dalam pergulatan zaman. Orang-orang pun mulai kembali kepada perkara irasionalitas, seperti menghargai keindahan, proses penciptaan, imajinasi, ungkapan perasaan yang membuncah, kepekaan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan suara hati dan gejolak perasaan.
Apa kaitannya dengan puisi-puisi yang dimuat kali ini? Ketiga puisi yang datang dari tiga daerah yang berbeda ini, memberikan ruang berpikir bagi pembaca dengan semangat dan suasana romantik. Puisi karya Novy Noorhayati Syahfida, misalnya, menampilkan ilustrasi sosok ibu yang begitu gembira memperhatikan perkembangan anaknya. Hari demi hari tak pernah lepas: mata, tangan, gerak dan seterusnya senantiasa mendampingi. Ada kesan, puisi ini coba mendobrak ruang peka seseorang dari kehidupan keseharian. Sementara puisi Bagus Likurnianto menuangkan gambaran kehidupan kini lewat bayang-bayang kehidupan masa lalu, terutama masa dalam dekapan ibu. Seorang anak belajar menata kehidupan, merekam segala sesuatu sebagai nutrisi untuk menggerakkan pikiran, hati dan tubuh saat melangkah ke depan. Sosok Ibu menjadi cermin tata nilai romantik. Cara mendeskripsikannya cukup cermat yang membawa nostalgia pada gambaran kehidupan masa kecil: lokasi, suasana dan peristiwa menjadi latar puisinya.
Ibna Asnawi lain lagi. Peristiwa alam lewat simbolisme ‘daun’ menjadi jalan baginya menuju spiritualitas romantik. Dia hendak memberi ruang untuk menghadirkan konteks kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Atau, alam lain di dunia yang entah. Ada pandangan yang ditawarkan tentang sisi romantik.
Itulah puisi. Setidaknya bagi Wordsworth, dikerjakan secara spontan melalui luahan perasaan yang kuat dan mendalam. Penyair Inggris itu juga beranggapan bahwa keindahan alam merupakan pengasuh moralitas manusia. Bagi Wordsworth, alam menyimpan dan memancarkan daya mistik. Dengan kata lain, alam memiliki ruh seperti juga manusia.
Nah, ketiga puisi berikut ini kiranya relevan dikautkan dengan semangat romantik. Jadi telusuri saja. Silakan dan selamat membaca. Ayo!
Novy Noorhayati Syahfida
Sajak Untuk L
pada almanak, angka-angka bebas bergerak
riuh beterbangan menuju satu babak
gemulai gemintang ikut bersorak
ini harimu, nak…
saat pertama aku melihat mata indahmu
memandangku dengan sayu
saat aku mendengar mulut mungilmu
begitu fasih memanggilku; ibu
sebelas tahun berlalu
dan aku masih mengenang semua itu
sebab april telah dibentuk tuhan
menjadi hari yang begitu menakjubkan
Tangerang
Novy Noorhayati Syahfida, lahir pada tanggal 12 November di Jakarta. Alumni Fakultas Ekonomi dengan Program Studi Manajemen dari Universitas Pasundan Bandung ini mulai menulis puisi sejak usia 11 tahun. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di berbagai media cetak, media online, dan juga di lebih dari 90 buku antologi bersama. Namanya juga tercantum dalam Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia (Kosa Kata Kita, 2012). Tiga buku kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Atas Nama Cinta (Shell-Jagat Tempurung, 2012), Kuukir Senja dari Balik Jendela (Oase Qalbu, 2013) dan Labirin (Metabook, 2015) telah terbit. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kontraktor dan menetap di Tangerang.
Bagus Likurnianto
Risalah Masa Kecil
– Surat untuk Biyung –
/1/
Biyung, aku kangen sebuah bisikan lembut angin yang menari di temali jemuran belakang rumah kita, berhembus ke arah rambutku seperti gerakan tangan Kekasih. Bertiup ke segala penjuru membawa pesan yang diberitakan terus-menerus oleh doa yang kau tebar untukku. Sekian lama aku mengenal waktu, melewati masa-masa sebelum mengaku dewasa yang mengenalkan diri sebagai seorang yang mandiri. Lalu, menanggalkan kesibukan pada tugas-tugas ganas yang belum sempat Biyung ajari sampai tuntas.
Ternyata aku masih kecil, Biyung. Menuju pelukmu saja aku masih sulit merangkak, merengek di setiap malam mengacau tidurmu tak pernah diam, mengadu restu bayang-bayang mayang wajahmu pada lembar kepayang kutuliskan rindu ini dengan bahasa kasih sayang. Aku lupa cara mengenakan pakaian, Biyung. Padahal sudah kau ajari aku sedari bayi, perihal baju dan anak kancingnya kini mulai tidak lagi pada hakikatnya, celana yang kupakai pun malahan sengaja kusobek biar nasib diri ini diakui oleh zaman yang tetek bengek.
/2/
Biyung, aku masih begitu pemula untuk belajar berjalan merambati dinding zikirmu. Tentang laju langkah perlahan kaki mungil ini begitu rintih menapaki suatu jalan tak serupa dulu iming-iming sebotol susu mengajariku melewati licinnya lantai-lantai waktu. Aku merasa bahwa wacana hidup cumalah milik masa kecil semata, Biyung. Seperti halnya pesan Biyung semasa aku tengah dibuatmu bingung seolah ingin diberitahu pasal muasal dunia yang berputar-putar mengikuti alur setapak yang dimulai dari semai bunga berkelopak.
“cah bagus, hidup memanglah rentetan wangian bunga yang berjajar di sepanjang jalanan, kita mencoba memungutnya dengan tangan-tangan yang dingin kemudian menaruhnya di pelataran rumah kita digersangi masa lalu yang menyenandungkan sabda paling alastu. Kita adalah kupu-kupu di senja yang tua, hinggap di pohon doa menyaksikan matahari ditelan waktu, lalu berbisik pada Semesta agar saat hari tiba kita telah siap memulai kepak perjalanan dengan membaca basmalah”. Katamu, saat wajahku hinggap di tanganmu usai menuntut ilmu.
/3/
Biyung, aku mengingat lagi pesanmu. Dahulu, ketika kita masih bisa menabur nganga luka dan bunga. Aku duduk menikmati wangian dari punggungmu, menyaksikan daun pandan, melati, dan sebangsanya yang kau rajut dengan benang gelisahmu. “cah bagus, bunga-bunga ini adalah bagian dari rumah kita, kelak. Saat setapak tiada lagi menangisi jalan hidupnya sendiri, angin tidak pula mencari layang-layang untuk menunjukkan bahwa dirinya ada dalam bayang, pun air dan api menjadi tujuan hidup dari muasal datangmu.
Begitu pula hamparan rumput hijau yang kita tanam di halaman akan menjadi alas pembaringan, tikar pesujudan dengan segenap doa dan kekhusyukkan, juga sebagai tempat kita temukan restu di bawah kibaran bunga-bunga kesantunan”. Katamu, dengan wajah renyuh memandangku. Dan beberapa orang di sekelilingku menyimpan pertanyaan mereka bersama jelaga di antara wangian doa, lukisan anak kecil yang terbingkai masa lalu, dan segantung waktu pada lelangit wajah Biyung sebelum segenap sayap kupu-kupu berkelepakkan di kepalaku.
Purwokerto, 12-14 Oktober 2018
Bagus Likurnianto. Lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Beralamatkan di Dukuh Taman Sari, Kelurahan Parakancanggah, RT 04/I Banjarnegara. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Purwokerto ini merupakan pegiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban, Komunitas Sastra Rumah Penyu, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI. Pernah menjadi juara 3 Peksimida Jawa Tengah tangkai lomba penulisan puisi tahun 2018, juara 2 Lomba Cipta Puisi Kepesantrenan tahun 2017. Kegemarannya membaca dan menulis. Beberapa tulisannya termaktub dalam publikasi antologi bersama, seperti; Wangian Kembang (Sempena, 2018), Rumah Kita (Tembi, 2018), Febisme 2 (IAIN Press, 2018), Puisi untuk Lombok (Apajake, 2018), Perempuan Hebat (Anlitera, 2018), Pilar Puisi 4 (IAIN Press, 2017) serta pada beberapa publikasi di sejumlah media masa, seperti; Pikiran Rakyat, Malang Post, Minggu Pagi, dan lainnya.
Ibna Asnawi
Ibadah Daun-daun
sebelum rakaat pertama salatmu
angin datang dari ujung entah
mengusap ubunmu
kepada angin itu
yang datang dan berlalu
kau tak berani bercerita
kerontang tubuhmu terhadap hujan
kau hanya terus pasrah
digundahkan kesiurnya meski hampir luruh
sampai akhirnya doamu rampung
kau masih sendirian mendekap harapan
kabar tentang hujan
selalu setia kau tunggu
kebahagiaan bagi seluruh sanakmu
menghijau lagi saat kau lumpuh
dihanyut waktu
LK, 17 Oktober 2018.
Ibna Asnawi, Lahir di Sumenep, 07 November 1996. Sedang mengaji di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Putri.
Leave a Reply