Puisi samarinda

Puisi Novan Leany

Mukadimah

Dengan gembira, kali ini kami tayangkan puisi-puisi Novan Leany dari Kalimantan Timur. Pada puisinya kali ini ditemukan kesan bahwa penyair bermain dengan diksi-diksi yang memiliki keterikatan dengan peristiwa masa lalu atau catatan sejarah. Citraannya kuat menggiring kita masuk ke dalam wilayah puisinya. Maka teks itu berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita melayang membayangkan peristiwanya atau menggali kembali pada catatan-catatan sejarah di buku dan internet. Tidak mudah mengangkat peristiwa sejarah ke dalam larik-larik puisi. Dan Novan Leany berhasil menghadirkan peristiwa itu sebagai suasana batin.

Ia mengawali puisinya dengan ‘Kuburan Keramat’ dengan keterangan kecil sebuah sungai bernama ‘Kerbau Samarinda’. Lalu apa yang hendak disampaikan pada puisinya itu? Jika kita baca cermat, ia sedang menarasikan peristiwa di sebuah sungai, kita bisa memasukinya pada bait, ambillah kamboja ini/yang tak lagi terpetik di pemakaman/melainkan sisa mimpi malam legit/abad 20 dari seorang Tionghoa/yang menghitung angka wangsit. Barangkali juga ia sedang memunculkan ‘kuburan keramat’ pada sebuah sungai di Samarinda: anak sungai telah dangkal/juga kepalaku; di sini/risalah sejarah tumbuh/sebagai limbah dan semak.

Namun, Novan Leany tidak pernah berhenti pada ‘Sungai Samarinda’. Ia mulai masuk lebih dalam pada peristiwa-peristiwa masa lalu di berbagai wilayah, pada masa lalu yang getir, yaitu penjajahan. Inilah puisi, sebuah makhluk ajaib. Ia bisa mengganggu pikiran kita. Kadang menciptakan rasa penasaran yang tiada sudah. Simaklah puisi-puisi selanjutnya, selamat membaca.

Salam redaksi
Nana Sastrawan

Puisi samarinda

Kuburan Keramat 
: Sungai Kerbau Samarinda

Makin gamang aku Baginda,
pena bergeming bagai
kelotok karam di batu
sebab ahli pahat ini,
telah kehilangan tumpukan nisan

Ambillah kamboja ini,
yang tak lagi terpetik di pemakaman
melainkan sisa mimpi malam legit
abad 20 dari seorang Tionghoa
yang menghitung angka wangsit

Anak sungai telah dangkal
juga kepalaku; di sini
risalah sejarah tumbuh
sebagai limbah dan semak

Barangkali Vierkante-Paal
Jendral Hindia Belanda
lupa membingkai luka
sebagai dua musim

Maka, sebelum cucuku kelak
menelisik Georgia Pacific
di jantung huma
akan kubisik telinganya,
“Jangan dulu cium nisan itu,
sebab cerita legenda telah kambang
serupa kayu-kayu di banyu,
dan seorang jenazah terbuang
hanyut ke hulu
tanpa seorang tahu”

2021

Petala Zaman di Sei Wain 
:Desa Salok Bugis 1920-

Di Sei Wain,
yang keguguran
dari tembuni kota
ialah kampungku,
duhai kembang Salok Bugis

Aku tahu,
sejarah juga mengalir
pada ruas arus sungai ini
yang keruh, barangkali
tercemar racun
sabda Dai Nippon
yang kelak kukenal
lewat firasat malam
bagai corak matamu
yang kehitaman
menggulita
seperti masa silamku
maka, agar dada ini
tak terhantam
gelombang tawar,
kutuklah aku
sebagai hantu batang
yang mencucup darah
moyangnya sendiri

O, jantung siapa
tak tersentak?
Dua puluh hari lamanya
bom perang Pasifik,
Bekantan lari ke kota
dengan hidung terbakar,
jukung-jukung terhampar
memisah awak dari angin
bagai bangkai Haruan
yang berganggang
dengan sisiknya
O, jantung siapa
tak tersentak?

Saat petala zaman terbaca
yang bakal buat perih senyuman
adalah dingin kenangan
yang mekar di rahim
rimba balikpapan
atau sisa kendi dan dupa
yang terkubur daun kering
di altar makam tua
ukiran lahjah 1928

2021

Chialoup de Noorman 
:Van der Heyden

Ketika matahari mulai layu
diam-diam sungai,
menyulih bayang ketintingku
dengan Chialoup de Noorman
dikaukah Dato
atau Van der Heyden
umpat berlayar di sana?

Orang Belanda
sebagaimana juga aku
menengok kemarau Kalimantan
macam kering tenggorokan
yang disembunyikan,
sebab rempah kami, berkali-kali
disepah sebagai upah

Inikah janji Bongaya,
yang merompak
segala umbi dan kayu
juga bau huma
di tubuhku,

“Tengoklah bakul dagang ini,
kosong bagai dingin rumah
yang kalut menunggu
seorang ayah
pulang dari laut,”

Maka,
bawalah daku pergi Dato,
jangkar itu tajam
bisa saja menikam
ini punggung

Yakinkan aku,
itukah Van der Heyden
yang kembali datang
mengikat belikat kami
jadi piaraan kompeni,
betisnya telah melekang
liang luka di Paser dan Kutai
juga ransel-ransel tambun
berisi angan dan kemurungan
diarak-arak ke dermaga

Bahhai Dato
dapatkah dikau beri raja
surat keramat?
Sebab
ayahku pernah berkata,
yang mengadu
pada langit
akan bertemu hutan
yang mengadu
pada sungai
akan bertemu batu

2021

Puan Atjie Voorstad

Di ladang Meisje School
si kembang permata,
pekarangan kumbang pengharapan
mencucup madu; sesampai esok nanti,
bertebar benih-benih mereka di taman kota

Huma demam begini
kau meyakini orang lain
akan kelu merapalkan
cinta sebagai pohon tua

“Dedahkan bedah pertiwi dalam dada kami!”
Seorang terdengar melontar dari kejauhan

Katakan, kenapa di mimpimu yang mega
tidak juga menggetarkan apa-apa?
Samarinda serupa dermaga sunyi
nahkoda mengeluh gundah
di malam mati

Ajarkan putriku puan,
barangkali menjahit tragedi
yang terselip di lipatan perut ibunya
atau memasak derita kanak buta huruf
seakan gelagat kesedihannya
tercampak debu kota

Apa kabar Jacob?
Tuhan ada di sini,
sebab kaulah pelabuhan
tempat Aminah pulang
mereka gelar kekasihmu
sebagai Kartini

2021

Novan Leany asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina pada tahun 2019. Puisi-puisinya pernah tayang di berbagai media massa lokal maupun nasional, antara lain Koran Tempo, Mata Puisi, Koran Sumbar, Bacapetra.co, Buruan.co, dan Beritabaru.co, dll.. Kini bergiat di komunitas literasi Macandahan dan Teraksara. Dalam waktu terdekat sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 psikologi dengan mengambil gelar Master of Arts.