Mukadimah
Seperti yang sudah diketahui bahwa ‘distikon’ adalah satu di antara macam-macam puisi yang memiliki karakter pada baitnya terdiri dari dua baris. Model seperti ini dapat kita baca pada puisi Nizar Machyuzaar, seorang penyair yang tinggal di kawasan Tasik. Meski demikian, dalam penciptaannya puisi tidak pernah terjebak pada model apapun, puisi memiliki kebebasan untuk diekspresikan, Puisi-puisi Nizar bisa ditafsirmaknai secara jernih dan reportatif. Jernih disebabkan pembaca merasa tidak perlu mendapatkan konteks pengetahuan dan pengalaman yang sebenarnya mengiringi pernyataan penyair pada puisinya. Sementara reportatif, penyair telah memberikan referensi kepada pembaca tentang tokoh atau penulis yang dikagumi baik sosok maupun karya oleh penyair.
Hampir semua puisinya memberikan gambaran reportase yang bersumber dari teks bacaan. Semacam pilihan untuk membuat puisi dari buku-buku yang dibaca untuk dikembangkan kembali menjadi pemikiran atau gagasan penyairnya. Misalkan pada larik-larik puisi ‘Trilogi Puisi, buat SCB’ dengan Tragedi, Winka, Sihka yang dipopulerkan oleh Sutradji Calzoum Bachri yang menggunakan kata ‘kawin’ pada puisi Tragedi Winka dan Sikha menjadi sesuatu yang lain. Kidung bergayut/bercaya Hawa jika Adam takbersua (Tragedi). Teringat pacar belam main tekateki/kasur dan buncah keluh mengeluh (Winka). Bau tubuh bergegas/tinggal sensasi pada sentuhan terakhir (Sihka). Nizar, membawa puisi Sutardji tersebut pada tafsir yang lain, mengembangkannya menjadi suatu bacaan yang lebih jelas, seolah ia sedang menerjemahkan puisi Sutardji. Ya, menerjemahkan puisi dengan puisi. Itu pun sangat terasa pada puisi-puisi lainnya. Selamat Membaca.
Redaksi
Nana Sastrawan
Puisi-Puisi Puisi Nizar Machyuzaar
Dwilogi Distikon
Buat Mark Knopfler
Brother In Arms
Masa lalu ngumpet di klarinet
Luruhmu, melodi nirhibuk dan tanmabuk
Telegraph Road
Bagai kisah dalam denting
Bunyi dan huruf menari kasmaran
Mei 2021
Trilogi Distikon
Buat SCB
Tragedi
Kidung bergayut
bercaya Hawa jika Adam takbersua
Kadung semaput
percaya bahwa Jika kita manusia
Kira senggang dalam juang
rengkuh dan simpuh pada rute
Kita lenggang dalam ruang
kukuh dan teguh pada mite
Winka
Keringat pasar dalam asin poripori
sayur dan buah lelawuh kaweruh
Teringat pacar belam main tekateki
kasur dan buncah keluh mengeluh
Sihka
Bau tubuh bergegas
tinggal sensasi pada sentuhan terakhir
Debu lekuk nerabas
pergi takpamit pada keramaian bertubir
April 2021
Tetralogi Distikon
Buat PAT
Bumi Manusia
Sejak ujaran “aku berpikir maka aku ada”
Tak ada tempat buat jin, bahkan pun tuhan
Anak Semua Bangsa
Sebagai pewaris sah kebudayaan dunia
Ambivalensi mirip anak haram kebhinekaan
Rumah Kaca
Sebab kemaritiman tergadai darat nan elok
Senarai zamrud di katulistiwa siapa menohok
Jejak Langkah
Mereka-mereka yang menebar jala kuasa
Kita-kita menjemput hidup dalam binasa
April 2021
Nizar Machyuzaar adalah penyair, esais, dan pembelajar tekstologi dan stilistika. Penulis, aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia, Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk, Gelanggang Sasindo Unpad. Karya tulis dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Majalah Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Aktivitas sehari-hari mengajar di SMA swasta dan di bimbingan belajar.
Puisi yang indah sekali pak😁
Puisi yang sangat indah 😁
Terima kasih atas apresiasimu, kawan. Sehat dan sukses selalu.
Sehat selalu sahabatku…
Masih ingat kamu Kisah tentang “Yuni Kinayungan”
Ini lah aku sahabatmu Nijar…
Oooh ternyata kau masih hebaaaat sekali sahabatku…?
Keindahan syairmu masih hidup, dan tak pernah meredup walau dimana keindahan masa belajar kita dulu telah tiada yaitu Sanggar Teater Ambang Wuruk…
Tetapi denyut puisi dalam jiwa mu selalu bergenyut sampai kini, tak pernah mati dan jangan pernah mati!
Hidup!!! Sanggar Seni Teater Ambang Wuruk!!!