Mukadimah
Puisi merupakan sebuah jalan besar bagi mereka yang ingin memakrifatkan keberadaannya. Bukan berarti tak ada jalan lain untuk menuju ke sana. Akan tetapi, inilah salah satu jalan yang mengantarkan manusia untuk tidak berlarut dalam prosesi pencariannya terhadap perkara keabsolutan kehidupan.
Bersama puisi, renik-renik persoalan terjaring menukik sampai ujung hati, sehingga mereka dapat merasakan getarannya. Tentu, hanya penyair yang tak jemu mengembara di rimba kata dan kedalaman rasa saja yang sanggup menggapainya. Internalisasi yang diolah sepanjang usia dan masa, yang kemudian melahirkan para penyair matang sikap dan sifatnya untuk sampai kepada esensi. Bukan mereka yang berahi ingin menulis puisi dan disebut penyair, lalu tiba-tiba hadir begitu saja dari sebuah pasar gelap.
Faktor determinan dalam puisi adalah diksi. Diksi sebagai penanda rasa puitik. Dapatlah kiranya kita jenguk sejenak pada Musriadi Amjo; penyair ini tampak begitu nikmat dengan elementasi
religius padat makna yang terwakilkan dalam salah satu bait puisinya di bawah ini: /jalan itu pasti akan tiba sebagai janji menyetubuhi pikiran manusia/ … dan seterusnya
Jelas, diksi adalah elemen penting puisi, puisi mutlak bermain dengan diksi, dan licentia poetica merupakan suaka puitiknya.
Lain Musriadi Amjo, beda pula pada Nuriman N. Bayan. Ingat akan pernyataan yang dikemukakan Subagio Sastrowardojo (1924-1994), “Puisi itu filsafat, sedangkan prosa adalah ilmu jiwa”. Tampaknya, penyair Nuriman hendak menyelusup pada wilayah kefilsafatan ke dalam tubuh puisinya. Apakah dia sampai pada usianya yang masih relatif muda itu? Tentu usia tak pula mutlak dapat mengukur kedalaman seseorang. Pengalaman empirik, puitik dan keluasaan wawasan akan menjadi pengecualiannya.
Lantas, bagaimana dengan Sunaryo J.W? Cukup asyik! Eksistensialisme tak pernah mati dalam puisi. Cogito ergo sum! Maka, jadilah … Penyair berusaha mengetengahkan problem sosial seorang pemangku adat, yang pada galibnya menduduki peringkat teratas dalam tataran masyarakat adat. Namun, tidak semata pangkat tinggi itu sanggup membela realitas kehidupan. Karena Sunaryo J.W berpikir, maka puisi itu ada!
Baiklah. Demi menginsyafi nasihat Goethe, “Bilde Kuntsler, rede nich! (Berkaryalah Seniman, jangan berdalih!) Kita kudap saja karya tiga penyair yang puisinya kita muat berikut ini, siapa tahu bisa memanjakan lidah. Selamat bersantap!
Jakarta, 26 Agustus 2018
Tim Redaksi
Musriadi Amjo
JALAN PULANG
berderit di jalan waktu, tak menentu
menggemah dalam jiwa, berderak!
jalan yang tak diketahui muaranya
kapan jalan itu sampai ke ujung
menutup dunia setiap mahkluk manusia
jalan itu pasti akan tiba sebagai janji
menyetubuhi pikiran manusia
ingat waktu, hari, bulan, dan tahun
tereja dalam rupa tak berbentuk
memberi rasa takut, mengerikan!
gelap manusia yang tak paham
indahnya kematian menuju pulang
jalan itu penuh rintangan
rumpil, rumit penuh duri, dan onak
godaan dunia tipu daya menakjubkan
nafsu itu nikmat Tuhan terindah
keburukan di jalan pulang
jika manusia menjadi budaknya
jalan itu di rindukan manusia
dalam detak waktu yang menjerit
tak berdebu, molek menawan hati
indahnya penuh makna, rahasia Tuhan!
mendekapnya butuh pangkuan usaha
berserah bersadar dengannya segenap daya
bibir, lidah, napas, penggucap zikir tak henti
waktu adalah inggat padanya
napas menjadi melodi zikir
dalam lantunan nada-nada indah
puji-pujian atas segala kemahaanya
rasa terus menginggatnya
mengguncang jiwa pada kesahduan
melafalkan la ilaha illallah
tak henti sampai di ujung usia
mati kembali pada zat yang punya
jalan pulang kerumahnya, kembali!
Pekanbaru,30 Juli 2018
Musriadi Amjo, lahir di Pulau Kalimanting, Kuansing-Riau, 23 Mei 1973. Alumni Sendratasik Universitas Islam Riau-Pekanbaru, kini menekuni hidup sebagai petani karet, disela-sela kesibukan bekerja sebagai Guru Bantu Provisi Riau, menjadi guru Seni Budaya, guru Budaya Melayu Riau, di SMAN 1 Kuantan Hilir Seberang, Kuansing-Riau. Kontak : musriadi73@gmail.com / 081378957745.
Nuriman N. Bayan
GARAM DI KANDUNG DALAM MATA
Ketika lelah menjadi mata air. berapa lagi
kadar garam di kandung mata itu. sedang hujan
tetap manis, sungai-sungai tetap tawar dan laut-
tak henti-henti mengirimkan kisah-kisah musim
ke udara– menjadi awan menjadi hujan, lalu jatuh–
diresap tanah, digeser bukit, menjadi air menjadi alir
ke matamu ke mataku. sudah sampaikah ke hatimu?
Morotai, 31 Juli 2018.
Nuriman N. Bayan atau lebih dikenal dengan Abi N. Bayan lahir di desa Supu Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, 14 September 1990. Anak dari Hi. Naser Dano Bayan dan Rasiba Nabiu. Saat ini menjadi Pembina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (Komunitas Teater) dan Komunitas Penulis Tepi, juga sebagai guru di MAS Nurul Huda Gotalamo. Karyanya tergabung dalam antologi: Senyuman Lembah Ijen, Negeri Bahari, Mengunyah Geram, Kunanti di Kampar Kiri dll. Kini tinggal di Morotai.
Sunaryo J.W
TIGA FRAGMEN KESEDIHAN
1/
Di pesta perkawinan, ahli adat itu
raja dengan singgasananya;
ada tari penghormatan baginya
dan penyematan lencana
sebagai tanda bagi ahli adat itu
boleh berkuasa, pada hari itu
sehari atau dua hari,
atau dua hari lebih,
tak ada yang boleh menyangkal
segala sabdanya, di istana bongkar-pasang itu;
ahli adat tak lain lilin bagi gelap
atau kompas bagi penjelajah.
2/
Tapi, bila habis waktu berpesta
pangkat ahli adat itu
turut kedaluwarsa,
tak ada lagi tari penghormatan
atau penyematan lencana
kerna tanpa pesta
tanpa upacara-upacara
tak akan ada daulat ahli adat!
3/
Kini, setelah ahli adat itu
selesai membaca kitab keadaan
ia lantas berpikir
bagaimana cara bertahan hidup
agar tak layu mawar di dapur
dan tak gugur daun di kamar tidur.
Kuli, ya, kuli!
Tak ada selain kuli
di wilayah tanpa introspeksi;
kuli panggul, kuli bangunan
akan dilahap para ahli adat
yang tak bisa berdaulat setiap saat.
“Ya, beginilah, kalau jadi raja musiman
tanpa pesta, tanpa upacara-upacara
ahli adat tak lain perut yang lapar
perlu diisi, perlu perjuangan,
agar tak mati ditikam kelaparan,” katamu.
Padangsidempuan, Juli 2018
Sunaryo JW. Lahir 16 Oktober 1994, di Batang Pane II, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatra Utara (saat ini tinggal di Padangsidempuan). Tahun 2017, ia mendirikan komunitas menulis (Bengkel Kreatif Menulis) bersama Budi Hatees, di Padangsidempuan. Tahun 2018, ia aktif sebagai pengurus Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Padangsidempuan (DK2P). Sajak-sajaknya pernah dimuat di Harian Mimbar Umum, Waspada, Sumut Pos, Padang Ekspres, Riau Pos. Antologi Puisi bersamanya antara lain: Kunanti di Kampar Kiri (2018), Sakkarepmu (2015), Pasie Karam (2016), Anggrainim, Tugu, dan Rindu (2018), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), buku puisi tunggalnya berjudul Sajak-Sajak Anjing Geladak (2016)—sedang menyelesaikan buku puisi keduanya: “Debu di Wajah Mamak”.
Leave a Reply