images 2

Puisi Kidung Purnama

Mukadimah

Larik | Pemodelan teks puisi menjadi teristimewa manakala Sang Penyair menyadari bahwa baris puisi yang menyusun bait bagai kalimat yang menyusun paragraf. Baris ini dikenal dengan istilah larik. Ekspresi simbolik aku-larik pada teks puisi kemudian dikenal dengan istilah liris.

Namun, larik tak identik dengan kalimat. Sebabnya, kalimat menyertakan keutuhan pernyataan dalam tanda baca titik. Sementara itu, larik menyediakan ruang kosong antarjeda larik. Teks puisi bagai ruang pejal makna yang rongga-rongganya disusupi resepsi pembaca.

Pada puisi “Merawat Purnama” terbaca empat larik berikut: //Merawat kenangan di usia senja itu/Seperti halnya bentangan garis khayal/Membelah wilayah utara-selatan bumi/Adalah sisa kesunyian nafas panjang//.

Keempat larik ini menjadi pernyataan utuh manakala ditransformasikan ke dalam pernyataan kalimat berikut: Merawat kenangan di usia senja itu, seperti halnya bentangan garis khayal yang membelah wilayah utara-selatan bumi, adalah sisa kesunyian nafas panjang (imaji 1).

Bait | Ada baiknya kita teruskan transformasi larik-larik puisi di atas ke dalam pernyataan utuh yang membangun imaji dunia pembaca. Mari kita konkretkan sebagai berikut ini.

Merawat kenangan di usia senja itu, seperti halnya bentangan garis khayal yang membelah wilayah utara-selatan bumi, adalah sisa kesunyian nafas panjang (1). Terlihat wajah-wajah asing (yang)  berseliweran dalam kecemasan suasana iklim tropis (2). Ada seorang perempuan berpayung merah (yang) berjalan di bawah guguran daun mahoni (3). Udara segar melintas di trotoar jalan Juanda (4). Di bahu kirinya, rambut pirang (yang) terurai manja menjadi seksi dan serasi dengan jas hitam, sedang siklus cuaca menuai coklat matamu saat angin siang menyibak wajah cakrawala (5).

Tentu, transformasi bait puisi ke dalam paragraf ini adalah sebuah alternatif saja. Setiap pembaca memiliki bentuk pengetahuan dan pengalaman hidup beragam sehingga menghasilkan transformasi bait puisi ke dalam paragraf yang berbeda pula.

Sampai di sini kita telah melakukan pengalihmodelan teks liris yang melekat pada puisi ke dalam teks naratif yang menjadi ciri prosa. Apalagi, jika saja Sang Penyair memanfaatkan larik yang mengambil bentuk ujaran langsung tokoh, hal ini dapat menandai teks dramatik.

Akhirnya, tiga puisi Kidung Purnama yang terbaca ini menyadarkan kita bahwa pemodelan teks puisi semestinya dibangun dari semesta larik yang menyusun bait. Barangkali, kita dapat mengistilahkannya dengan tradisi liris konvensional. Sesuatu yang mendasar dalam pemodelan teks dan sering terabaikan. Tabik! (Nizar Machyuzaar – Penyair dan Narateks).

Salam Redaksi
Nana Sastrawan

Puisi- Puisi Kidung Purnama
MERAWAT KENANGAN

Merawat kenangan di usia senja itu
Seperti halnya bentangan garis khayal
Membelah wilayah utara-selatan bumi
Adalah sisa kesunyian nafas panjang
Terlihat wajah-wajah asing berseliweran
Dalam kecemasan suasana iklim tropis
Ada seorang perempuan berpayung merah
Berjalan di bawah guguran daun mahoni
Udara segar melintas di trotoar jalan Juanda
Di bahu kirinya rambut pirang terurai manja
Menjadi seksi dan serasi dengan jas hitam
Sedang siklus cuaca menuai coklat matamu
Saat angin siang menyibak wajah cakrawala

2021

DI UJUNG JANUARI

Dari jendela kaca beranda rumah
Kupotret jengkalan pergeseran waktu
Dingin pagi menusuk sepotong tubuhku
Sebab tebaran kabut belum juga sirna
Memahami resahnya hujan semalaman
Hingga sisa irisan subuh berganti hening
Aku menghirup kesetiaan udara segar
Menyela di antara persinggahan embun
Yang bergelayut di pucuk daun serai
Bidara, mareme dan hanjuang merah
Melebur kesepakatan hari-hari sunyi

2021

SIMFONI MALAM
:Ria Arista Budiarti

Kita adalah pertunjukan drama Korea
Yang dibungkus rindu dengan waktu
Dari sebuah kedai kopi di pojok kota
Malam melarutkan ampas kehidupan
Musik blues menyayat urat nadi cinta
Cukup lama resah meredam gelisah
Malam menjauh memapah wajah bulan
Merampas bahtera gugusan bintang
Gelas-gelas kopi dan sepiring roti bakar
Meratap pilu menyaksikan peran kita
Sandaran air matamu menusuk dada
Bersama dinginnya kota melaju kelam

2020

Kidung Purnama – Lahir di Ciamis, 3 Januari 1969 Salaku aktivis di Sanggar Sastra Tasik (SST), Komunitas Azan (Art & Culture), Keluarga Seni Rupa Tasik (KSRT), Penggerak Puisi Menolak Korupsi (PMK), Pembina Sanggar Seni Nuansa dan Kawan Jurnal SMAN 1 Ciamis. Buku Antologi Puisi Tunggal: Segelas Anggur Batalipu, Bandung 2008, Antologi Puisi Bersama: Apa Dan Siapa Penyair Indonesia – Jakarta 2017., The First Drof Of Rain, Banjarbaru 2017, Menjemput Rindu Di Taman Maluku, Semarang 2018., Risalah Api, Jogjakarta 2019, Mata Air Hujan Di Bulan Purnama, Tembi-Jogjakarta 2020, Pandemi Puisi, Dapur Sastra Jakarta 2020, Gambang Semarang, Semarang 2020, Rantau, Dari Negeri Poci  2020,  Mulang, Ciamis 2021. Korupsi Di Korona, Solo 2021. Kebaya Bordir untuk Umayah, Tasikmalaya 2021. Khatulistiwa, Dari Negeri Poci 2021. Lelaki di Lautan, Antologi Puisi Lelaki Indonesia 2021.