Mukadimah
Situs puisi selalu menampik ingin berdiri sendiri. Sebagai penanda dalam semiotika primbon, lima (panca) dan pelajaran atau perhitungan (wara) telah menginskripsi sebuah laku menabik imanensi dalam ritus-ritus asali sampai ke batas tubuh. Selebihnya, petanda “Yang Liyan” terbaca dalam sintagma puisi bernada alegoris //duhai, adik ari-ari, pembawa api dari selatan, saudara yang pendiam, tak geser diterjang amukan angin dan terjangan gelombang, bersidekap dalam ketenangan bagai pucuk aren yang lentur mengarsir cakrawala kelam berupa sketsa denyar gemintang//.
Setidaknya, situs “Pancawara” dapat dianggap sebagai usaha membuka tabir semiotis pada sistem ketandaan primbon atas penamaan dalam konsep hitungan hari (pasaran) Jawa Kuna. Bait-bait yang membangun subsitus Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon menautkan Sang eMpu-nya wara sebagai Yang Liyan dari tradisi penandaan logosentris ala Cartesian yang berpusat pada Kuasa Manusia atas makna. Namun, inskripsi atas Yang Liyan terbaca ngungun karena toh situs dan ritus “Pancawara” disemat dalam domain bahasawi, seperti terbaca berikut ini: //semua tumbuh/dalam doa diam//semua yang diam/bersulur temaram//.
Dalam ritus seperti ini, sintagma puisi akan memendarkan asosiasi pada perhitungan enam hari (sadwara) dan tujuh hari (saptawara). Lalu, Sang Penyair yang menubuh dalam ritus dapat dianggap semesta logos yang siap menggelontorkan imaji-imaji tolak bala //”bul kukus cahya agung/yang tak ada/semoga tersedia”//. Tubuh Sang Penyair adalah dissosiasi situs itu sendiri: //malam repas/bintang berpijaran memanggil matahari/suhu berloncatan/antara panas dan hujan/bertumbukan//. Akhirnya, Sang Penyair bagai Anak bayang menggiring saderek papat kalima pancer. Tabik! (Nizar Machyuzaar).
Salam redaksi
Nana Sastrawan
PANCAWARA
- Legi
malam repas
bintang berpijaran memanggil matahari
suhu berloncatan
antara panas dan hujan
bertumbukan
di udara, embun menetes sebagai ketuban
merambat menjadi sarang yang membiaskan hitungan bulan
timur
ya sebermula terbit keheningan dengan semburat tangis menghangatkan tempat tidur dan janji membenihkan perumpamaan:
–semua orang merasa
mendengar ilalang bernyanyi
kakang kawah
merajut titisan penyendiri
malam repak
melekatkan yang nyaris retak
- Pahing
engkau datang tak berpaling
menunduk dan merapat
sisanya tinggal alunan seruling
lamat-lamat
duhai, adik ari-ari, pembawa api dari selatan, saudara yang pendiam, tak geser diterjang amukan angin dan terjangan gelombang, bersidekap dalam ketenangan bagai pucuk aren yang lentur mengarsir cakrawala kelam berupa sketsa denyar gemintang
engkau tak berpaling
hanya tersungging
bersama bulan di ranting
perjalanan berbaling
- Pon
yang tertidur dalam jeda adalah darah, meronce kembang ke barat, mengistirahatkan yang penat. karenanya, bulan berbentuk sabit, terbit di sore hari dan terbenam di kebun penyulih
semua tumbuh
dalam doa diam
semua yang diam
bersulur temaram
ini bukan lelap, tapi denyut yang melalar, minggu demi minggu termaktub di formula aljabar
nafas itu
semua menunggu
4. Wage
pias
jagat bernuansa kapas
bahkan yang sedang mengepak
berbunyi retak
jatuh di tengah teratak
tanpa peta
tanpa penanda
tanpa cahaya
hanya tali pusar, menyamarkan utara, semua tersesap dalam tembang tanpa coda:
“bul kukus cahya agung
yang tak ada
semoga tersedia”
- Kliwon
berdiri
di lengkung langit putih
menghadap diri
abad-abad sunyi
datang dan pergi
Agustus 2021
Kartawijaya, Lulusan Sastra Indonesia Unpad, selain menulis puisi juga bermain keroncong.
Leave a Reply