Puisi sastra

Puisi Joni Hendri, Destriyadi dan Mustiar Ar

Mukadimah

Dapatkah kita menganggap sebuah puisi sebagai monumen yang dibangun bata bernama kata dan diplester dengan diksi dan gaya bahasa menjadi sebuah pernyataan yang kemudian disebut dinding? Dinding itulah yang kemudian kita sebut dengan larik. Lalu, larik-larik bersikukuh membangun sebuah ruang bernama bait. Akhirnya, kita terjebak dalam monumen bahasawi. Kita berjalan setahap demi setahap memamah bata, dinding, ruang, dan keseluruhan monumen tersebut. Tentu, sebelum masuk kita memandang monumen tersebut dari kejauhan sambil menatap lebih erat dalamannya melalui pintu judul.

Syahdan, sebermula ini kita me-rekreasi monumen bahasawi berlabel puisi. Pada puisi pertama (Joni Hendri), kita masuk dalam monumen bahasawi yang memiliki acuan monumen senyatanya Huis Van Behauring. Kata benda lorong, virus, gerbang, para raja, perigi, kesetiaan, penjajah, jeriji besi, nasib, dan tempat buang mengonkretkan ruang-ruang imaji kita dalam rekreasi bahasawi. Namun, sejumlah kata benda ini mengelak menjadi hanya sekadar monumen bahasawi. Pelekatan kata kerja menutup, tertutup, menjadi, terbuka, berjalan, mengkhianati, datang, melihat, dan mati serta kata sifat sesak, duka, menang, sepi, dan buruk merekreasi monumen bahasawi menjadi puitis. Sampai di sini kita telah mengunyah plester diksi dan gaya bahasa pada dinding larik puisi.

Pada puisi kedua (Destriyadi Imam Nuryaddin), kata benda membangun monumen bahasawi dalam imaji selingkung. Namun, diksi khas penyair muncul, terutama kata danta (gigi atau gading), inai (jenis tumbuhan yang biasa dibuat untuk bahan pewarna kuku), dan pesuk (lubang atau lekuk). Apakah judul “Danta Miga” menandai sebuah nama orang, tempat, atau benda? Terlebih, diksi ritak dan gebar (saya tak sempat mengecek kedua kata ini dalam bahasa ibu penyairnya) yang hadir semakin membuat kita memasuki medan makna enigma. Gaya bahasa personifikasi pada kata kerja terkapar, melumat, disisik, dan dibawa (bait 1) mengonkretkan imaji peristiwa sebuah proses kelahiran (bait 2 dan 3). Tampaknya, monumen bahasawi pada puisi kedua telah membakukan sebuah peristiwa puitis dengan beberapa diksi yang cenderung mempribadi.

Pada puisi terakhir (Mustiar Ar), kita memasuki monumen bahasawi dengan pertimbangan dan perimbangan arsitekturnya melalui enjambemen ‘pemenggalan’ yang menghasilkan tipografi ‘rancang bangun’. Dinding bernama larik direka kreasi sedemikian grafis sehingga efek puitisnya tercipta. Pada ruang 1 (Aku, #1) bait kesatu //Aku/Menghitung buli air/Menitik/Satu// dan bait kedua //Di teras rumah/Tetangga// terbaca efektivitas enjambemen menciptakan ruang-ruang imaji puitis daripada dibuat dalam satu hentakan larik. Pada ruang 2 (Aku, #2) //Aku kuyup// menandai keberlanjutan peristiwa dengan hubungan kausalitas. Namun, puisi selalu menolak dari jalan gelap penafsiran. Meski sebab Menitik. Satu dan akibat Aku kuyup mengguncang nalar puitisnya, puisi selalu menyediakan nalar paralogis dengan rumus “mengatakan sesuatu melalui sesuatu yang lain”. Tabik! (Nizar Machyuzaar – esais).

Salam redaksi
Nana Sastrawan

Puisi sastra

Puisi Joni Hendri
Huis Van Behauring

Saat sesak menutup hidung,
pada penghujung abad yang tertutup
lorong Huis Van Behauring menjadi duka
dan virus-virus yang menang.

Gerbang yang terbuka
tempat berjalan para Raja
makam sepi menjadi perigi
namun, kesetiaan tak mengkhianati
tentang penjajah datang berhari-hari.

Nasib buruk,
di sela-sela jeriji besi
melihat nasib datang ke sana
menjadi tempat buang sampai mati.

Pekanbaru, 2021

Joni Hendri, kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Karya-karya berupa Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang menjadi Mahasiswa FIB UNILAK Jurusan Sastra Indonesia.

Puisi Destriyadi Imam Nuryaddin
Danta Miga

jemari anaknya
fasih terkapar di kubangan darah
melebihi inai pernikahan
melumat telapak dan kuku
napas disisik habis
dibawa angin ke ujung biru

ia gebar jantung di dada
dengan tubuhnya yang luruh separuh
ciumnya sarat memenuhi pipi anaknya
yang beku sambil memarut sisa kata
di tempurung kepala

dan jawaban dari ritak ibunda harus diurai
di dalam darah yang terus keluar
dari pesuk perutnya

2020

Destriyadi Imam Nuryaddin kelahiran 17 Desember, saat ini sedang melanjutkan studi di Yogyakarta. Bergiat di komunitas Natunasastra dan Perifer Song. Beberapa karyanya sudah terbit di media.

Puisi Mustiar Ar
Aku

1/
Aku
Menghitung buli air
Menitik. Satu

Di teras rumah
Tetangga

Aku

2/
Aku kuyup

Meulaboh, Juli 2020

Mustiar Ar. Karya puisinya pernah dimuat di berbagai antologi puisi bersama sastrawan baik itu di Aceh mau pun yang di tingkat nasional dan internasional. seperti pada kumpulan puisi bebas melata edisi Singapura 2018. Selain menulis ia juga berkutat di dunia teater.