Cakrawala

Puisi Jang Sukmanbrata

Mukadimah

Apa yang selama ini dapat dilakukan puisi agar pengalaman dan pengetahuan hidup terpatrikan? Bukankah prosa lebih leluasa menghidupkan dan mengabadikannya? Sementara puisi, ingin lebih asik-masyuk memamah kata dalam belantara petanda.

Satu perkakas yang teristimewa ditempa dan ditempa Sang eMpu-nya kata dalam proses pemodelan teks puisi adalah pencitraan. Puisi ingin lebih  meruangkannya melalui diksi, gaya bahasa, serta rima dan ritme. Citra gambar dan suara telah sahih menelusup ke segenap penginderaan sesiapa menghampiri ruang puisi. Darinya, puisi ingin intens menggerakkan sensor motorik penginderaan ke jantung citra rasa, seperti terbaca dalam bait I puisi “Cakrawala Kecil Pertama” berikut ini.

Musim berganti
Cakrawala mengabur di hatimu
Jangan kira menutup pintu selalu membawa rindu, daun gugur tanpa tahu tubuhmu di bawah debu menyisakan kenangan
kepingannya kerap tersangkut di jalan menuju hutan
Berikan hatimu ya pecinta anak!

Dalam larik 1 terdapat kata konkret /musim/ (menyarakan citraan pelihatan) dan kata kerja /berganti/ (menyarankan citraan pelihatan dan kinestetik) yang sempurna menjadi kisahan sederhana. Kisahan berlanjut ke larik 2 dengan matra yang sama dengan larik 1, yakni /cakrawala mengabur/.

Namun,  penunjuk tempat /di hatimu/ menempatkan citraan hasil penginderaan sebelumnya pada ruang dan waktu  dengan pelibatan partisipan orang kedua /mu/ yang mengandaikan partisipan orang pertama /aku/ lesap atau taklugas.

Terbaca nada romantisme dalam larik 3 /Jangan kira menutup pintu selalu membawa rindu/. Lalu, analogi dalam ungkapan personifikasi /daun gugur tanpa tahu tubuhmu di bawah debu menyisakan kenangan/ diakhiri tutupan kisah /kepingannya kerap tersangkut di jalan menuju hutan/ pada larik 4.

Kehadiran partisipan orang pertama /aku/ yang lesap ditegaskan kembali dengan pernyataan /Berikan hatimu ya pecinta anak!/. Sampai di sini sebuah kisahan yang terpatri dalam bait I telah mengantarai bentuk pengalaman dan pengetahuan hidup partisipan orang pertama /aku/ (lesap) kepada partisipan orang kedua II /mu/ (lugas).

Selanjutnya, sila pembaca budiman menginderai ruang dan waktu puisi pada bait-bait berikutnya. Di sana kita mendapati bahwa pencitraan begitu mumpuni menghidupkan imajinasi. Tabik! (Nizar Machyuzaar). Parigi, 30 Oktober 2021

Salam Redaksi
Nana Sastrawan

Puisi-puisi Jang Sukmanbrata
CAKRAWALA KECIL Pertama
 _ kenangan pada Anak-Anak MeRdEkA yang membuat majalah Cakrawala Kecil

Musim berganti
Cakrawala mengabur di hatimu
Jangan kira menutup pintu selalu membawa rindu, daun gugur tanpa tahu tubuhmu di bawah debu menyisakan kenangan
kepingannya kerap tersangkut di jalan menuju hutan
Berikan hatimu ya pecinta anak!

Bukan kerugian pun keberuntungan
Datar datar saja dirimu melingkar serupa sembung rambat
Biarkan aku membasuh kakimu, guru
Di masa semua kata memadati telepon genggam
Diri malah kerap lepas tak terpegang
Rapatkan tubuhmu ya penghibur pengembang desa

Malam ini tak pergi sebab dingin menebal
Besok pagi andai masih bergerak,
tentu memberi salam, menebar biji rambutan
sebelum novel memoar anak merdeka selesai
Sepasang pengelana tanpa keturunan lenyap.
(dimakan keakuannya di kabut Ubud).

Bukit Padalarang, 2019 Agt 10

CAKRAWALA KECIL Kedua

_ terkenang kelompok Anak-Anak MeRdEkA Bandung

Bukan seperti hari kemarin
yang mudah hilang saat bercanda, dan dalam warna lukisan tua
atau di gelombang kata pengarang roman,
masa sering berubah wajah,
pandangan mata suka tertunda di kertas,
di perabotan yang disuka wanita
Sewaktu menatap dunia main kotak umpat
Penghuninya tentu petak umpet bukan?

Bukan hari ini saja
majalah, koran dibuat hiburan sesaat
sebagiannya menyeru penuh semangat
“Bangun negeri! Bangun!”
Lalu batu-batu tetaplah saksi paling jujur meski buruh pemecah batu menyetorkan bubuk dan serpihannya ke udara murung
Dan percaya doa ratapannya betah di celah gunung marmar, di granit hitam yang digosok buruh paling papa

Bagus! Baik benar di panggungkan
Umur itu hutang tertulis di buku akuntasi
sebentar dapat dihitung, sebentar seperti bayi menangis lalu pergi menunggang angin bukit yang kebetulan mampir
Terus saja bertanya sebelum menerima, biar ratu fana ini mati!
Cakrawala kecil bermula dari majalah dinding
Diganti berulang kali namun catatannya tak terhapuskan, dibawa anak-anak ke tepian kolam sunyi
– jadi utuh sendiri

Jadi kau tak perlu hirau
Semua berbuah pulau pulau
Dan hidup anak merdeka berkilau
di kampung kumuh, di kebun nira pujaan para budak benda
Selamat meneruskan tanpa pujian juga cibiran

Tuh berdatangan ke lahan kopi
Sepi merangkak di pulau Bali, capaian tinggi para resi
Senyummu gelombang ombak Kintamani sunyi
bukan kemarin! Guruku termesra itu hari ini
Anak-anak merdeka yang kuasuh tak terasa menjelma raksasa
Mereka menjadi kidung rindu rumah bhineka
Pekikannya memukul kita yang hanya tinggal jiwa
Merdeka!

Bukit Padaladang, 11 Agustus 2019

KADO IMPIAN

telah hidup dan lahir dari darahku cawan madu dan racun melumuri langkah para penderma daya pengabdi kemerdekaan
Geraknya tenang di alur kegelapan
deras di gurat cahaya seperti gelombang laut selatan.
Siapakah minta lahir di senyap,
waktu mati dinyanyikan semua bunga ?
ia perempuan matang ditabuh mayapada hutan hujan merindukan doa rintihan malamnya, negeri tropis memeluk erat
: bercermin di air embun bunga melati
berterima kasih ke bumi pemberi gizi,
“Aku lahir dari ketiadaan musim kering dan pucuk daun taklukan angin,
rantingnya saja menolak bujukan angin untuk dibanting tanpa tujuan pasti”
Garis takdir bisa ditawar setahun sekali; hei, jangan merasa sepi, dan tak berarti!

telah berdenyut hidup, meminta keluar dari dagingku, kemudaan bertopi rumbia seorang nenek tua duduk di tungku Erofa
tersenyum, menawarkan ubi bakar
kemungkinan gosong sibuk ditepiskan :
“Kamu perlu selimut, ini negeri bengal” katanya dengan sorot mata berasap

abad-abad dibangun cinta dan dusta
sekali saja hidup bermakna seroja
gugur pelahan
darah ibu kandungnya
berbatas diam
tembangnya kedukaan
kampung kekal kembalinya

Bukit Padalarang, 24 Mei 2021

Jang Sukmanbrata lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karya puisinya beragam genre: di buku antologi puisi Negeri Pesisiran; 2019 & buku Antologi Puisi Negeri Rantau; 2020- DNP-Penerbit KKK. Sejumlah 30 haiku-nya di koran PosBali 2019, puluhan karya puisinya di beberapa buku antologi bersama. Karya tanka dan haiku-nya di buku – buku antologi Newhaiku Puisi dan esainya di Majalah Elipsis 2021.