Jalaludin Rumi salah satu sufi penyair yang lahir di Balkh (Afganistan), 30 September 1207 dengan nama Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri. Di kota Nishapur di mana dia mengungsi bersama keluarganya, Attar pernah meramalnya -saat itu Rumi baru berusia 5 tahun- bahwa dia kelak akan masyhur sebagai penyala api gairah Ilahi. Murid kesayangan Syekh Syamsuddin Tabriz ini wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H dan dimakamkan di Konya (Turki). Pada nisannya tertulis: “Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.”
Jalaludin Rumi
HINGGA AKHIR WAKTU
Sang pecinta berubah sudah, hingga akhir waktu
Kufur menjadi iman sudah, hingga akhir waktu
Negeri antah berantah penuh perangkap setan
Kembali menjadi negeri Sulaiman hingga akhir waktu
Teman yang melukai kini menjadi pelipur hati, hingga akhir waktu
Dia yang tidak mau mabuk bersama dan selalu menyendiri dalam pesta
Kini menjadi penuang arak semoga selamanya
Sinar matanya yang menyinari gubuk itu
Membuat seluruh tepian menjadi lapang
Marahnya yang dusta dan perilaku manisnya
Membuat dunia menjadi negeri gula, hingga akhir waktu
Malam berlalu pagi datang, duka berlalu suka datang
Matahari bersinar, hingga akhir waktu
Dari suka, duka, dan kehendak orang-orang gila
Siklus itu beralih hingga akhir waktu
Hari raya datang dan tamu pergi
Hadiah bertambah hingga akhir waktu
Hai, arif yang sedang menggesek rebab
Jangan terpaku di nada rendah
Pelangi muncul sudah, hingga akhir waktu
Seorang fakir menjadi hartawan
Peti hartanya berbagi dengan Qarun
Minumnya pun bersama para raja
Lihat hembusan angin itu
Disihir oleh bibir manis
kini suara seruling yang merana
Firuan yang keras hati dengan seluruh sialnya
kini menjadi Musa ayah Imran, hingga akhir waktu
Singa yang buas, tolol, dan lupa
kini menjadi Yusuf, hingga akhir waktu
Syamsi Tabriz dengan citamu
kota Tabriz menjadi Khurasan, hingga akhir waktu
Sejak setan menyerah, ruhmu menjadi malaikat
Iblis pun tobat, hingga akhir waktu
semua bulan menjadi purnama, dua alam menjadi taman bunga
segala ruh menyatu, hingga akhir waktu
kau jadikan jiwaku besar hingga akhir waktu
auramu bersinar hingga akhir waktu
segala benci menjadi kasih, racun pun menjadi sirup
awan menjadi negeri gula hingga akhir waktu
apa yang dibanggakan dari istana ini
sapi disembelih karena tanduknya terperangkap?
atau yang disembelih di hadapan raja?
Kedua sapi ini sama-sama kurban hingga akhir waktu
Bumi menjadi langit, manusia biasa kini menjadi arif
Yang dulu seperti itu, kini seperti ini hingga akhir waktu
Semua diam, aku sudah mabuk, terperangkap dalam cinta
akalku sudah berubah hingga akhir waktu
(Penerjemah: Bastian Zulyeno dari Gazaliyyat e Shams; shams ta Bad Chonin Bad)
Leave a Reply