Puisi

Puisi Irvan Syahril, Eko Ragil Ar-Rahman, dan Rahmat Akbar

Mukadimah

Kepada penyairlah sabda itu diserahkan untuk dipelihara. Itulah Pernyataan Dick Hartoko (“Penyair Sebagai Bendahara Sabda”) memberikan ruang bagi penyair dalam menghidupkan puisinya dengan kata. Dari setiap kata yang dituliskan menjadi suatu tanda atau isyarat sehingga dapat mewujud ekspresi, gerak, suasana, gagasan. Tentu saja, ada orang yang menggunakan bahasa berbeda. Namun, dapat dipahami maksudnya, begitu juga bahasa dalam puisi. Kata dalam puisi hendak menyampaikan keterangan yang mencerahkan tidak hanya sekadar meluapkan kegundahan hati. Maka, puisi menjadi komunikasi yang metaforis dan simbolik.

Penyair sejati tidak mungkin berhenti pada satu karya. Ia selalu gelisah terhadap problem sosial atau masalah di sekitarnya. Itulah yang menggiringnya melakukan perenungan-perenungan. Dari situlah lahir gagasan berdasarkan ketajaman indera. Ia menjadi jembatan kegundahannya sendiri menjadi kegundahan orang lain.

Berdasarkan pemikiran di atas kita lihat tiga puisi yang dimuat kali ini, penyair hendak menegaskan rasa optimismenya sebagai pengalaman bersama. Ia bisa datang dari masa kini atau masa lalu seperti tampak pada  puisi Irvan Syahril. Ia mengawalinya dengan larik: November pagi hujan jatuh rintiknya menjelma kolam. Ada upaya untuk menghadirkan kenangan masa lalu; Masa muda yang indah hadir dalam peristiwa hujan pagi. Irvan mengisyaratkan kenangan itu memberikan kesejukan dan optimisme untuk hidup. Lain halnya dengan puisi Eko Ragil Ar-Rahman, peristiwa natal yang hingar-bingar keceriaan menjadi latar puisinya. Ada suasana sakral dan khidmat, Eko Ragil memberikan dua pandangan yang kontras; keceriaan dan kesunyian. Natal memberi harapan melalui doa. Dalam konteks ini pemaknaan natal memberi kemungkinan ketika dihadirkan dalam puisi. Sementara puisi Rahmat Akbar mewartakan mimpi membangun peradaban. Mimpi kerap jadi spirit hidup meskipun mewujudkannya tidak mudah. Rahmat sadar akan jalan berliku. Itulah yang memaksanya menghadirkan Tuhan sebagai sang penguasa.

Tentu saja tafsir di atas sekadar pemantik bagaimana sesungguhnya yang terjadi dalam tiga puisi yang dimuat kali ini, silakan nikmati sendiri! Salam Literasi!

Puisi

Irvan Syahril
November Pagi

November pagi hujan jatuh rintiknya menjelma kolam
yang bisa kau taruh wajahmu sendu dan kenangan
yang keruh tanpa ikan-ikan berenang

Remah air diembus angin mengenai wajahku
seolah ingin memberi kabar kalau kau
pun sedang berada di beranda yang hujannya sama;
merambat dari awan ke awan berderai-derai

Kita adalah bagian dari hujan itu bukan?
berkecipak di kubang-kubang
memecah air lalu berkejaran
ah, kau tawananku yang kabur dari permainan

Tapi waktu telah menguningkan umur-umur kita
masa-masa itu dipetiknya dan berjatuhan
Lihatlah lekuk kulit yang semakin hari semakin terasa
seperti peta perjalanan yang telah kita jejak

November pagi hujan jatuh
kita lerai seperti bekas air
yang bertahan
dikeringkan musim

Serpihmimpi, Juli 2018.

Irvan Syahril, lahir pada 18 November 1997 di Subang, Jawa Barat. Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Singaperbangsa Karawang. Menggawangi komunitas Gubuk Benih Pena (GBP) serta bergiat dalam Ekstrakurikuler Bengkel Menulis Unsika (Bemsika) dan mengelola blog puisikusyahril.blogspot.com & sastrarumah.blogspot.com. Beberapa puisi permah terbit di media cetak dan online seperti Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Republika, Banjarmasin Post, Rakyat Sumbar, Janang. Id, Simalaba Online dan lainnya. Serta beberapa puisi termaktub dalam buku antologi puisi bersama Karawang Abadi Dalam Puisi (2018), Kunanti di Kampar Kiri (2018), Kepada Toean Dekker (2018), Bintalak (2018). Bisa  disapa melalui surel Irvansyahril18@gmail.com dan akun instagram @Serpihmimpi.

Eko Ragil Ar-Rahman
Natal Merah

Sunyi menggerus wajah jendela
dan tubuh ini belum kering dari air mata
bahkan dengan denting lonceng gereja
atau rindang lagu seriosa di taman kota musim dingin

Cemaraku sama sekali tak terisi hadiah
selain renda tua mengkilat,
lonceng-lonceng pudar
dan lampu-lampu sekarat cahaya.
Sesuatu, atau seseorang telah tiada
membawa jauh cahaya dan apa yang seharusnya ada.

Bintangku patah lengannya
lalu sunyi semakin beku di sisi waktu
di atas kue bantet
susu basi
dan hidangan yang sama sekali tak tersantap.
Malam kudus, dimana doa telah turun
menjelma teman tidurku malam ini
Suster? Bunda? atau siapa saja.

Kamar ini
: Mimpi yang kehilangan maknanya.
Seperti salju di luar jendela yang memilih mati
dengan menjatuhkan diri.
Ranjangku hanya ranjang,
tersapu sunyi selain dari remang senja cahaya lilin
dan tubuh gigil yang menunggu peluk hangat di malam hari.

Seseorang tertawa.
Siapa? Atau barangkali diriku sendiri
Jauh disana, anak-anak bermain seluncuran,
Lempar salju
atau sekedar jalan santai dengan ayah bunda
“Adakah sisi lain sunyi selain kekosongan?”

Maka nanti, jika ada yang datang
bertandang membawa mimpi sebagai sepasang tangan terbentang,
kamar, cemara dan tubuh basah ini akan cerah sempurna.
Hadiah-hadiah berdatangan
menyusun diri di bawah cemara serta bintangku yang berbahagia.
Dan kayu bakar akan menyala di perapian
meski siapapun sama sekali tak sempat membakarnya.

Malam kudus,
aku tak tahu kaus kaki mana lagi yang siap kering
siap gantung di perapian
Sebelum purna terisi atau kosong belaka
sebelum seseorang mungkin datang
turuni perapian
menjajakan derap tawa
“Tuhan, aku ingin sekali hadiah.
Adakah hadiah untukku yang bahkan nakal pada kesunyian?”

2017

Eko Ragil Ar-Rahman, Kelahiran Pekanbaru, 22 Juni 1995. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Riau. Aktif di Community Pena Terbang dan Rumah Kreatif Suku Seni Riau. Karyanya dimuat di Riau Pos, Medan Bisnis, Rakyat Sultra, Dinamika News, Sumut Pos, Litera.co.id, Linikini.id, lokomoteks, dan termuat dalam berbagai antologi nasional dan Asia Tenggara. Penerima Anugerah Penulis Puisi Terpuji Litera 2017. Buku puisi tunggalnya Asmaranaloka (2017). Email: eko.ragil06@gmail.com

Rahmat Akbar
Merakit Mimpi

Di lipatan waktu
Dingin, beku bisu telah beradu
Menampung ribuan mimpi sunyi
Harapan berkelana pada sebuah peradaban
Berlayar menuju kenyataan

Merakit mimpi
Sepeti mengharap hujan akan datang
Walau terkadang terhalang kemarau
Terhenti sejenak menunggu saat musim mekar
Hingga musim pun berjatuhan melalui bulirnya

Merakit mimpi meraih asa
Menyelinap ke dalam sukma
Meruntuhkan pembatas
Bahwa tidak ada yang bisa menghalangi selagi kita berusaha

Merakit mimpi menyulam puisi
Bersyukur atas nikmat yang diberi
Walau kadang tidak seperti di hati
Namun, semua adalah kuasaNya sendiri

Kotabaru, 2018

Rahmat Akbar, kelahiran Kotabaru 04 Juli 1993 Kalimantan Selatan. Puisinya  mengisi beberapa media massa seperti Republika, Pikiran Rakyat, Jurnal Asia, Fajar Makassar, Haluan Padang, Majalah Simalaba, Radar Mojekerto, Minggu Pagi, Medan Post, Kabapesisir, Radar Bojonegoro, Radar Cirebon, Rakyat Sumbar, Radar Banyuwangi, Koran Dinamikanews, Malang Post, Analisa Medan, Magelang Ekpres, Flores Sastra, Koran Merapi, Tribun Bali, Media Kalimantan dan sejumlah antologi bersama. Sekarang mengabdikan diri sebagai guru di sekolah SMA Garuda Kotabaru dan pendiri sekaligus pembina siswa-siswanya di Taman Sastra SMA Garuda Kotabaru. Akbar bisa disapa melalui email  Rahmatakbar464@gmail.com, fb: Kai.akbar, No Hp: 082254609721