Mukadimah
Kali ini kita boleh menikmati puisi “Giang, Surat itu,” karya Irawan Sandhya Wiraatmaja. Puisi ini termuat dalam buku antologi Giang Menulis Sungai, Kata-kata jadi Batu (Jakarta Kosa Kata Kita, 2017), yang kemudian mendapat Anugerah Hari Puisi 2017.
Sengaja puisi itu yang dipilih dan disajikan di sini. Tujuannya, agar kita dapat mencermati salah satu teks puisi dalam antologi itu secara lengkap. Dengan cara begitu, terbuka peluang hadirnya perspektif dan tafsir lain. Implikasinya akan lahir pula makna lain.
Pada dasarnya, setiap karya sastra –dalam hal ini, puisi—bersifat unik, khas, dan berbeda satu sama lain. Karakteristik itu dimungkinkan lantaran setiap kata dalam puisi, selain bermakna denotatif, makna leksikal sebagaimana yang tercatat dalam kamus, juga menyimpan makna konotatif, makna kiasan yang menawarkan arti lain. Metafora selalu menyembunyikan makna konotatif.
Mengingat metafora merupakan salah satu unsur penting dalam puisi, maka puisi yang baik—puisi yang sebenar-benarnya puisi—akan mendorong pembaca mencantelkan teks puisi dengan pengalaman spiritual, keluasan wawasan, dan kedalaman menafsir dan memaknai.
Puisi “Giang, Surat itu” dibangun dengan kekuatan metafora yang tak lazim. Dalam beberapa larik puisi itu, ketaklazimannya menegaskan perbedaan dengan kecenderungan penyair lain yang memanfaatkan benda-benda alam sebagai leksem menyusun metafora. Meski begitu, diksi yang ditawarkan Irawan Sandhya Wiraatmaja, tidaklah berada dalam lorong gelap. Di sana ada clue, isyarat, tanda, trik atau kata kunci sebagai celah memasuki dunia puisinya. Di situlah puisi itu tidak tergelincir pada ruang gelap gulita, tetapi tidak juga memberi cahaya yang terang benderang.
Jadi, ia berada dalam wilayah remang-remang: agak gelap dan tak benderang.
Tentu saja isyarat atau pesan dalam Mukadimah ini tidak serta-merta mesti dipercayai. Skeptisme perlu dipelihara agar kita tidak terjerumus pada golongan orang yang taklid buta. Tak termasuk pula sebagai umat yang memberhalakan konon kabarnya sebagai sumber rujukan. Mukadimah sekadar lanjaran belaka. Selebihnya terserah Anda. Selamat menikmati!
Jakarta, 12 Agustus 2018
Tim Redaksi
Puisi Irawan Sandhya Wiraatmaja
GIANG, SURAT ITU
1//
Giang, menuju hilir kita mengayuh surat itu
Di antara orang-orang yang duduk di perahu satu-satu
Kaki-kakinya membagi ruang, dan arus waktu
Mengalir menyusuri tubuh sungai yang pucat dan kotor
Mencari napas di lalu lalang perahu yang bergoyang
Tak akan karam, katamu. Karena surat itu adalah
Kehidupan yang selalu ditulis dan dibaca sebagai
Kitab perjalanan yang tak pernah tamat-tamat
Tapi kau selalu tersenyum
Membuka kembali surat-surat yang ada di mata-mu
Sebagai cerita yang panjang untuk istri
Yang menunggu di rumah: berbagi senyap dan hati
Untuk berlayar dengan perahu yang tua
Sebelum surat-mu selesai, dan kau masukan dalam kenangan.
2//
Giang, surat yang ditulis masa silam, di antara rimbun
pohon bambu di akar-akar bakau menjadi napas
Dalam jejak-jejak langkah yang sembunyi
Di pinggiran sungai-sungai
Yang memanjang berliku-liku, dengan air coklat
Mengalir sampai muara, ketika ombak tidak sampai
Pada perahu kayu yang oleng, membawa tubuh kecil
Dengan tangan letih, gemercik kayuh membawa sauh
Hulu ke arah hilir, dan matamu seperti
Warna matahari yang terbelah di sela-sela daun
Bergoyang dimainkan arus yang tiba-tiba berputar
Dan kau terperangah oleh suara-suara cericit burung
Yang terbang memintas garis langit, di kaki laut
Tak pernah tercatat, dan tak selalu disebut
Sungai itu adalah kelahiran-mu.
3//
Jangan lupa kau tutup pintu dalam surat itu, Giang
Karena rumah-mu adalah kenangan
Yang selalu kau bawa dalam tas yang kau sandang
Selalu kau menulis di daun-daun kelapa, yang bergayut
Sebagai helai dan halaman kitab, yang tak pernah luput
Untuk berbicara dalam bahasa yang kau pahami
Di atas garis langit, seperti tergambar matahari
Angin yang berdesir, dan sebuah senja
Yang nanti akan menjadi buah anak-anakmu
Sebelum waktu menutup kelambu, di mana
Kau selalu berbaring, bergelinjang dengan napas istrimu
Ketika anak-anak bermain di bawah pohon, yang daun-daunnya
Memerah dan menguning di bawah semburat cahaya
Di tanah yang basah dan merekah: dan kau masih menulis.
4//
Jendela surat itu harus kau buka, Giang
Dan kau akan mendengar suara-suara rumpun bambu
Bergesekan dengan masa lalu
Biar kau tulis kata-kata yang menghampir pada
Musim yang berdesir, di balik perahu kayu yang membawa
masa silam sebagai jarak dari kenangan
yang menjadikan suratmu sebuah jejak
di antara tanah yang menggaris kehidupan: tua dan senyap
5//
Suratmu yang menulis di sungai adalah air yang mengalir
Menghilir-hilir, di antara pohon bakau dengan daun-daunnya
Terkulai berjuntai di sela-sela cahaya matahari
Siang yang terik, di tengah riak dan suara kerinduan
Yang kau tulis dalam surat-surat yang tak pernah terkirim
Ketika kau masih mengayuh sampai ke tepian
Waktu yang menjadi arus menuju ke laut
sampai ke tongkang perahu
Dan kau menarik tubuh, di ujung kemudi untuk membawa
Anak-anak angin kembali mendesirkan musim.
6//
arus muara, dari ujung laut yang membuka
mengalir suratmu membawa riak-riak kecil, sebelum
ada yang mengapung di atas air, hilir ke sebalik daun bakau
wajahmu tirus, di bayang-bayang matahari, yang terpejam
dalam waktu muram
ada yang temaram, dalam catatan surat, sepotong kalimat
yang kau bawa pulang ke rumah di kampung yang pernah hilang
sebuah kerinduan yang harum kekekalan, tanah yang coklat.
7//
Giang, tak ada rumahmu dalam surat yang ditulis
di halaman depan, sebuah beranda kayu untuk masa lalu
mungkin kau lupa, karena terlalu sering
kau buka pintu dan jendelanya. tak ada kata-kata
yang bisa jadi suatu ingatan, yang membuatmu ingin menulis
di lembaran kertas yang tua dan berwarna coklat
seperti air sungai di depan matamu: berabad-abad mengalir
sebagai waktu yang memintas, tak pernah kembali melihat
ke belakang, di antara daun-daun rumpun bambu dan pohon
bakau yang berderetan seperti rumah dari masa silam
ketika kau masih anak-anak berlarian…..
8//
sudah malam Giang. Waktu pun telah larut di dalam
cangkir kopi yang hitam. Sudah terasa di belahan lidah
yang memanjang usia. Dan kau tersenyum
ketika menulis surat yang hampir selesai
sambil mematut kalimat di depan kaca: retak dan buram
matamu serupa lampu-lampu jalanan. Semakin temaram
berpijaran membagi cuaca yang sampai
di antara etalase bertubuh perempuan, dan kau tertawa
mengalirkan arus kota dalam kelelapan hotel-hotel.
9//
Giang, jangan kau lahirkan kembali anak-anak
di kota yang penuh asap dan ledakan
peperangan yang membakar tubuh kemanusiaan
Diam saja sudah. Tidak ada lagi api untuk membenci
agar bumi menjadi rumahmu yang teduh
untuk menulis surat-surat kerinduan. Yang lama
tersimpan dalam tumpukan
helai-helai waktu dan musim yang luruh
dari kitab nenek moyangmu
Sejarah dalam tubuhmu adalah luka
di jantung yang menjadi catatan muasal
rahim yang terkoyak di abad-abad lalu
Februari 2016
Irawan Sandhya Wiraatmaja, lahir tanggal 21 Juni di Jakarta. Pendidikan S3 diselesaikan di Universitas Indonesia. Korrie Layun Rampan memasukan penyair ini ke dalam Angkatan 2000. Menulis sastra, kebanyakan puisi dan pernah menulis cerita pendek (cerpen), esei sastra dan artikel sosial politik dan ekonomi. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah terbitan Jakarta, Bandung, Banjarmasin, Padang, Tanjung Pinang, Semarang dan Yogyakarta. Sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi bersama. Kumpulan puisi tunggalnya Anggur, Apel dan Pisau Itu (2016), Dan Kota-Kota Pun (2016), Giang Menulis Sungai, Kata-kata Jadi Batu (2017) dan Air Mata Topeng (2017) serta Serpihan Esei Sastra dan Sosial Politik, Teror Di Antara Dua Ideologi (2016). Buku Puisinya, Giang Menulis Sungai, Kata-kata Jadi Batu (2017) memenangkan Anugerah Puisi Terbaik HPI Tahun 2017. Kumpulan Puisi terbarunya, Ideologi Ibu dan Baju yang Koyak (2018). Sejak awal tahun 2014 menjabat sebagai kepala ANRI. Tahun 2014-2016 menjabat sebagai President of Sarbica (Southeast Asian Regional Branch of International Council on Archives). Di samping itu pernah juga mengajar di Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran, STIA-Lembaga Administrasi Negara, STIE IPWIJA, Universitas Az-Zahra dan STIMA Yaksi, Jakarta.
Leave a Reply