IMG 20210605 WA0006

Puisi Eddy Pranata PNP, Syamsul Bahri dan Deri Hudaya

Mukadimah

Dalam fungsinya puisi bisa dikatakan sebagai alat penyampai apa pun yang menjadi kegelisahan atau kecamuk pikiran. Apa yang dirasa, dilihat, didengar bisa menjadi pintu keluar untuk menghasilkan puisi. Jadi, puisi bisa lahir dari berbagai peristiwa, bisa peristiwa sederhana atau peristiwa luar biasa. Yang penting, bagaimana fakta itu menjadi fiksi, diperlukan sentuhan imajinasi, asosiasi sampai pada perkara metafora. Perangkat itulah yang membedakan puisi (sastra) dengan berita atau sejarah, atau catatan hati di buku-buku diari. Selalu, peristiwa dalam puisi berfungsi menghidupkan imajinasi dan asosiasi pembaca. Teks (puisi) jadinya memiliki keterikatan konteks.

Itulah yang mungkin ditemukan pada puisi-puisi di bawah ini. Penyair Eddy Pranata PNP misalnya, ia bergumul dengan suatu objek yang nyata, yaitu Edelweis. Akan tetapi, situasi yang terasa pada larik-larik puisinya aku membayangkan engkau tengah berpeluk kasih/memetik bunga-bunga rekah di taman/lalu pergi jauh ke ceruk laut/abadikan kelepak sepasang camar/yang melintas di atas sampanmu, mengisyaratkan pemaknaan yang lain; imajinatif dan metaforis.

Lain halnya dengan Syamsul Bahri. Penyair yang tergolong muda secara usia ini masih mencari berbagai bentuk pada puisinya, meskipun terasa sentuhan imajinasi, akan tetapi diksi atau pilihan kata yang diambil masih terpengaruh dengan penyair-penyair yang telah mapan. Bisa jadi, ia pembaca puisi dari penyair Afrizal Malna. Bisa kita temukan pada larik Seputih dan sehitam, mencabik suara dari belakang mikrofon/Seminggu masih jauh/Pagi yang miring ke kiri dan kanan/Menjauh sayap terbang–jatuh tersungkur. Nuansa diksi yang sering kita temukan pada puisi-puisi Afrizal Malna dapat terbaca sehingga membuat puisi-puisinya terkesan gelap, meskipun dapat dinikmati.

Sementara itu, Deri Hudaya menciptakan suatu puisi yang pendek akan tetapi terasa hidup pada setiap lariknya. Pembaca dibawa masuk pada suatu objek ‘waktu’. Ia menghadirkan kegelisahan yang sangat dekat dengan setiap orang. Peristiwa waktu yang imajinatif, ‘hidup’ dan ‘mati’ seolah mewakili aktivitas keseharian dari setiap individu. Inilah puisi, lalu terang, lalu gelap, hangat dinikmati. Selamat membaca. (redaksi)

Puisi Eddy Pranata PNP
EDELWEIS KARANG

pada baris-baris puisi yang kutulis hari ini
kusisipkan pada setiap spasi sepotong hati putih aroma kesturi
walau tak ada jabat tak ada tatap tak ada gerak tubuh runduk
kupendam tetes air mata
kusembunyikan debur laut ke liang diri

aku ingin tak seorang pun tahu
rindu meruncing serupa duri
tak seorang pun melihat
perih dada sungguh telah berkarat

: “maafkan, imajinasi liar zigzag!”

aku membayangkan engkau tengah berpeluk kasih
memetik bunga-bunga rekah di taman
lalu pergi jauh ke ceruk laut
abadikan kelepak sepasang camar
yang melintas di atas sampanmu

: “edelweis karang, o, edelweis dari celah rengkah karang!” jeritmu
berulang-ulang lalu debur ombak menghempas di tebing-tebing karang

sampanmu berkilauan diterpa matahari senja
engkau terus mengayuh perlahan
menerabas ke dalam baris-baris puisiku dan o, masuk
ke terjal jiwaku!

Jaspinka, 13 Mei 2021

Eddy Pranata PNP, penyair Minangkabau kelahiran kota Padangpanjang Sumatera Barat, 31 Agustus 1963 adalah Juara 3 Lomba Cipta Puisi FB Hari Puisi Indonesia tahun 2020 lalu. Sekarang mengelola Jaringan Sastra Pinggir Kali— Jaspinka, Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia.

Puisi Syamsul Bahri
TELAH

Pengantar cawan madu,
Mata yang menunggu malam tiba bersetubuh serupa maskumambang
Dari dalam telinga, Orang-orang berkumandang
Menabuh segala hikmat keabadian
Menaruh takdir pada sebuah yang jinjit; hitam yang putih.

Seputih dan sehitam, mencabik suara dari belakang mikrofon
Seminggu masih jauh
Pagi yang miring ke kiri dan kanan
Menjauh sayap terbang–jatuh tersungkur

Menghijau daun, tumbuh dosa-dosa
Lupa pahala layu dalam senjakala
dan sangkakala kau tiup dengan pipi tirus–mencabut dan dicabut

Telah ku persembahkan sebuah kematian yang dahulu
Dari ujung jari hingga ke ujung nadi
Telah ku maafkan doa-doa masa lalu
Telah ku gugurkan tangkup tangan merengkuh sukmamu

Yogyakarta, 2021.

Syamsul Bahri, lahir di Subang 12 Juli 1995. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Sajak-sajaknya pernah tersiar di berbegai platform media daring dan luring. Salah satu puisinya termuat dalam antologi bersama, antara lain: Carpe diem (2020). Buku pertamanya adalah Dandelion untuk Nala! (2020). Buku keduanya adalah Sekuntum Bunga Tidur (2021).

Puisi Deri Hudaya
TENTANG WAKTU

Lalu hidup
Lalu mati

Begitukah waktu
Suntuk dinikmati

2020

Deri Hudaya lahir di Singajaya, Garut Kidul, 3 September 1989. Alumni Pendidikan Bahasa Daerah (Sunda) UPI tahun 2012 dan alumni Pascasarjana Kajian Budaya (Cultural Studies) Unpad tahun 2015. Saat ini bekerja sebagai petani, mengajar di Universitas Garut, dan mengelola Huma Nini Nora (WordPress). Ia pernah aktif dan belajar menulis di Majelis Sastra Bandung, FLP Bandung, Béngkél Ngarang Basa Sunda 2012, dan Turus. Menulis puisi dan prosa dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.