Puisi

Puisi Aspar Paturusi dan Mohammad Saroni

Mukadimah

Nah, kita jumpai kini: puisi sebagai saluran suara hati. Catatan perjalanan dan tempat persembunyian berbagai peristiwa atau pengalaman hidup. Setidak-tidaknya Aspar Paturusi memperlakukan puisi seperti yang disebutkan tadi. Sengaja kami hadirkan puisi “Gerbang Waktu” karya penyair yang punya seabrek pengalaman hidup dalam kiprahnya berkesenian. Pernah jadi wartawan, salah seorang pendiri Dewan Kesenian Makassar, menghasilkan beberapa novel, dikenal sebagai dramawan, aktor yang sampai kini kerap bermain sinetron, deklamator andal dan entah bidang seni apalagi yang dimasukinya.

Aspar menulis puisi sejak SMP dan sampai kini, ia tdk dapat lepas dari panggilan puisi. Maka, catatan perjalanan hidup, dianalogikan sebagai gerbang waktu: pintu raksasa ketika makhluk manusia hijrah ke alam keabadian. Pilihan bahasanya sederhana, tapi muncul dari perenungan yang amat mendalam. Itulah yang disebut kesederhanaan dan kedalaman. Jadi penyair sengaja memilih diksi–metafora dan analogi– yang tak perlu membuat pembaca berkerut kening. Sebab, pesan puisi itu hendak berbagi isyarat. Sentuhan pesan itu dihadirkannya lewat dramatic poetic: wassalamu’alaikum. Pertanyaannya: siapakah yang menjawab salam kita saat melewati gerbang waktu? Ke kamar mana kita akan ditempatkan? Jawabnya: silakan hitung sendiri kebaikan dan keburukan yang sudah kita lakukan selama menempuh perjalanan hidup ini.

Kemudian puisi “Gili Terawangan” karya Mohammad Saroni, juga bermain dengan diksi yang sederhana. Tetapi, tak berarti puisi itu juga sederhana. Citraannya kuat menggiring kita masuk ke dalam wilayah puisinya. Maka teks itu berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita melayang membayangkan pemandangan laut, riak ombak, dan keciprat air. Tidak mudah mengangkat peristiwa alam ke dalam larik-larik puisi. Dan Saroni berhasil menghadirkan peristiwa itu sebagai suasana batin. Maka cantelan metaforanya tidak perlu melacaknya ke dunia entah-berantah yang berada nun jauh di sana. Sebuah puisi yg cenderung filmis.

Perhatikan juga pola persajakannya yang coba memanfaatkan rima dalam larik: datang/bertandang/ angan/kusimpan/dalam-dalam dan seterusnya yang terkesan mengalir begitu saja, tampak wajar, tanpa paksaan, justru mendukung komposisi puisi itu. Ada kesadaran penyair pada pilihan diksi. Ya, itulah puisi. Meski pesannya sekadar “Selamat datang Gili Terawang”, penyair telah menjalankan tugasnya mewartakan peristiwa biasa menjadi luar biasa!

Itulah puisi…

Jakarta, 15 Juli 2018
Puisi

Puisi Aspar Paturusi
GERBANG WAKTU

lembar demi lembar hidupku
telah kusalin ke dalam deretan kata
tak semua bisa tercatat
ada yang harus ditinggalkan
biarlah tersimpan di buku tua
semoga selamat dari sengatan rayap
lembaran rindu tak mau disisihkan
dia selalu ingin bersama lembar cinta
mereka mudah dijinakkan
lewat bisikan doa-doa
sehabis sujud yang khusyuk
lembaran hidup yang tersimpan
tetap tak melupakan masa lalu
ada lambaian selalu memberi salam
kepingan kenangan yang indah
suatu ketika bila tiba masa
lembar demi lembar berbaris perlahan
memasuki gerbang waktu
yang segera tertutup selamanya
semoga masih terdengar suaranya
walau berbisik: wassalamu’alaikum

Jakarta, 11 Maret 2018

Aspar Paturusi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Selain menulis puisi, ia juga dikenal sebagai penulis naskah drama, dramawan, aktor film/ sinetron dan novelis.  Ia juga dikenal sebagai pendiri Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurusnya selama 17 tahun, Anggota/Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1990-2002), Wakil Ketua Umum PB Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 1990-1993  dan Sekretaris DP Organisasi PARFI 2006-2010. Sebagai penyair, puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media massa.  Antara lain pernah dimuat di Mimbar Indonesia asuhan HB. Jassin (1960).Puisi-puisinya ikut diberbagai antologi puisi:  Sajak-sajak dari Makassar (1974), Tonggak  III (1985), Ombak Losari (1992), Ombak Makassar (2009),  Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (2012) dan Negeri Abal-Abal: Dari Negeri Poci 4 (2013). Buku puisi tunggalnya, Sukma Laut  (1985), Apa Kuasa Hujan (2002), Badik (2011) dan Secangkir Harapan (2012).

Puisi Mohammad Saroni
GILI TERAWANGAN

Perahu melaju,
air laut tersibak,
perlahan pantai ditinggalkan menuju pulau seberang,
riak air yang terputus oleh laju perahu terciprat
hingga membentuk lidah air yang menjilat-jilat angin,
dan angin bergerak menggoda sehingga lidah air semakin liar

Gili terawangan,
aku datang bertandang,
segala angan kusimpan rapi dalam-dalam
atas berbagai keinginan yang melayang,
gili terawangan wajahmu mengumbar tarik
pada hamparan pasirmu yang terik,
perahu, biduk, selancar dan tamu-tamu manca
telentang menantang matahari,
berharap mampu membakar pigmen diri
hingga sewarna anak negeri

Gili terawangan,
kupijakkan telapak kakiku di pasirmu yang basah,
bergerak oleh ombak pecahan lunas perahu,
dan, pijakan pertama kakiku terkalahkan oleh sirobok pandang mataku,
langit berdesir, angin gemuruh mengibarkan daun cemara yang melambai

Aku terus melangkah,
menyusuri tanah pijak bumimu,
gili terawangan

Mohammad Saroni, lahir di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1965. Alumni IKIP Surabaya Jurusan Teknik Mesin Produksi, aktif menulis buku pengetahuan pendidikan. Waktu kuliah aktif dalam kegiatan Teater Institut (TI) kampus IKIP Surabaya. Saat ini mengabdikan diri sebagai Pendidik di SMK Swasta Brawijaya di Kota Mojokerto. Sejumlah buku fiksi dan nofiksi telah ditulis dan diterbitkan, seperti Orang Miskin Harus Sekolah; Orang Miskin Bukan Orang Bodoh, Pendidikan Untuk Orang Miskin, Empunala dan Bupati Roller Coaster dan Sandal Jepit Ayu. Sedangkan buku puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Surat Cinta Untuk Aimel; Kata – Kata Lelaki. Puisinya juga terkumpul dalam buku puisi bersama, seperti Sepasang Merpati dari Bukit Tsur; Sang Perawi Laut; Melipat Waktu. Kontak: 0857 8499 0514