Penyair Muda

Puisi Afrilia Utami, Polanco S. Achri, dan Hendri Krisdiyanto

Mukadimah

Yang bisa merasakan kekuatan syair ini adalah sesiapa yang mati rasa, demikian Rumi menilai puisinya sendiri, seperti tertulis dalam puisi mukadimah “Nei Namah” pada maha karyanya Masnawi. Para penyair memiliki banyak keistimewaan, tetapi banyak makhluk di dunia ini yang kerap menutupi keistimewaan tersebut. Sebaliknya para penyair menyadari keistimewaan yang dimilikinya dan merasakannya ketika karya mereka disukai banyak orang. Siklus seperti ini berlangsung dalam lingkaran mata rantai yang kecil, karena kebahagian para penyair tersebut hanya sebatas popularitas inderawi saja. Padahal apa yang mereka hasilkan lebih dari kemampuan inderawi kebanyakan.

Afrilia Utami menyajikan puisi kuat kata dan makna melalui simbol yang berenang bebas dalam karyanya. Karena simbol adalah ekspresi tidak langsung dari sebuah ide dan memilki titik kesamaan dengan alegori, refrensi, mitos dan sebagainya yang pada intinya ingin menujukkan kepada kita kekuatan dari sebuah cita-cita melalui narasi.

Kadang penyair itu seperti nabi tanpa kitab suci, karena ingin meyampaikan kebenaran melalui kata-kata, oleh karenanya para penyair harus bisa meyakinkan pembaca untuk percaya pada puisi mereka.
Polanco S. Achri, berhasil melakukan hal tadi melalui pilihan kata yang disajikannya seolah melatih imajinasi kita untuk siap membayangkan suatu saat tidak ada lagi kata-kata tersebut (alis, bola mata, hutan, laut dll)  dan yang tinggal hanya bendanya saja. Dan di sini deskripsi menemukan esensinya.

Hendri Krisdiyanto, menawarkan hal lain ketika semua hal penting bagi manusia, maka kehidupan belum tentu berarti kehidupan bagi yang lain, tapi ada satu hal yang membuat itu menjadi sama penting itulah waktu dan kesatuan dari satu yang berbilang itulah integritas imajinasi makhluk dalam membayangkan masa depan.

Penyair Muda

Afrilia Utami
Kabar Dari Jakarta

4.
Senja tidak pernah lupa membicarakan tentang kepulangan.
Tentang jalan-jalan yang padat serta lampu yang mulai hidup
Menggantikan lelah perbudakan, menjadi sebuah sinyal.

Sampah-sampah yang kehilangan kasih dan orang-orang
Yang cemas, tak punya belaian. Bertumpuk jadi satu.

Senja di Jakarta, seperti pecahan piring yang kembali dirapatkan
Ada yang tinggi menjulang, tak ada tepi lagi.
Ada yang padat dan menanggung pengap. Dari kita?
Ada sungai yang tersisih, menggariskan pembuangan dan rasa hilang.

Aku bisa merasakan semua nafas yang memanggil duka terdalam.
Aku bisa menanyakan kabar politik negara yang semakin gila kuasa.
Tapi apa yang rakyat tanggung, selain rasa kecil dan permainan borjuis.
Aset-aset yang diperoleh dengan sekali suapan, dan kata napi –
Menjadi kemewahan untuk para legislatif yang bisa kembali menjabat?

Kini Trump menjadi nama yang begitu bergairah –
Membuat banyak perempuan yang memiliki suami
Ingin memperkosanya secara serempak. Sementara
Suami yang ditinggal para istrinya akan sibuk bermain
Dengan ranjang yang di sewa di jam makan siang berbeda.
Begitulah dampak dari kenaikan suku bunga USD.

Apalagi politisi yang sebagiannya sibuk melipat lidah
Dan menyembunyikan anak-anak dibalik punggung pilkada
atau sekolah bertaraf international.

Sementara kau dan aku,
Dalam seikat sal berwarna darah.
Mulai bicara mengenai arah manusia Jakarta dan Papua.
Dan kamu memintaku untuk sebutkan keberpihakan,
Secara senyap pada paginya, ke arah Sumatera..

Afrilia Utami, lahir 3 April di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia. Saat ini sedang mengambil disiplin ilmu International ICT Business Management dan terlibat dalam Singapore—Indonesia Startup Company Project sebagai Market Research Executive di Yogyakarta. Tahun 2016, ia mendapatkan kesempatan beasiswa dan delegasi Indonesia menjelajahi beberapa negara di Eropa kemudian Korea Selatan membuat ketertarikan yang kuat dalam cultural studies yang memengaruhi cara ia mempresentasikan pemikirannya ke dalam tulisan. Salah satu capaiannya di bidang kepenyairan adalah buku berjudul Karya 100 Penyair Terpilih Perempuan Indonesia (KPPI, 2014). Buku puisi tunggalnya adalah Halte Biru.

Polanco S. Achri
Kawanku, Tuan N.N.

Alismu yang tebal adalah hutan. Hitam layaknya malam.
Membuat orang yang memandangnya jatuh dan menemukan
sepasang bola mata yang gemar memandangi langit dan lautan.

Butuh waktu lama, memang, untuk menyadari
bahwa alismu yang tebal adalah hutan yang
tumbuh subur dengan menyerap air mata pemiliknya:
tak diizinkannya keluar meski untuk menyapu debu
wajahmu. Dan akhirnya aku percaya, bahwa kau
memang bisa bersedih, namun tidak dengan menangis.

Lewat matamulah, kutemukan ruang penuh kotak teka-teki
yang kau jadikan rak-rak penyimpanan: potongan-potongan kejadian
dan juga puing-puing Genesis. Kau merangkainya, menikmati sesaat
setelah jadi, lalu kembali membongkarnya.

(2018)

Polanco S. Achri, lahir dan tinggal di Yogyakarta. Mahasiswa jurusan sastra yang kini menjadi seorang pekerja buku. Dapat dihubungi via FB: Polanco Surya Achri.

Hendri Krisdiyanto
Yang Pergi Adalah Waktu

Setiap saat ia mampu menjelma
Beribu-ribu wujud
Tetapi, apakah arti semua itu
Dibanding satu jiwa yang sanggup
Memaknai segala bentuk makhluk?

Yang pergi adalah waktu
Ia hadir sebagai kenangan Bagi masa lalu
Rahasia bagi masa depan.

Yogyakarta, 2018

Hendri Krisdiyanto, lahir di Sumenep, Madura. Alumni Annuqayah daerah Lubangsa. Karyanya pernah dimuat di Minggu Pagi, Kabar Madura, Koran Dinamikanews, Nusantaranews, Radar Cirebon, Radar Banyuwangi, Buletin Jejak, Tuban Jogja, Flores Sastra, Buletin kompak, Jejak publisher, Majalah Simalaba, Antologi buku puisi bersamanya Suatu Hari Mereka Membunuh Musim (2016), Kelulus (2017), The First Drop Of Rain, (2017) dan Suluk Santri, 100 Penyair Islam Nusantara (2018) Sekarang aktif di Garawiksa Institute, Yogyakarta.