Penyair Indonesia

Kritik dan Ukuran Sendiri

Kritik dan Ukuran Sendiri

J.E. Tatengkeng

Enerzijds word daar met in sekere mate van reg beswaar geopper dat daar deur ons kritici alte veel met die maatstaf van die moderne Europese literatuur gemeet word, ‘n kriterium wat onbillijk is teenoor ‘n jong ontluikende letterkunde wat sij ele norme moet skep.Prof. S.P.E. Boshoff (dalam: Beskouinge en feite)

Dalam karangan Sutan Syahrir, “Kesusastraan dan Rakyat” dalam Nomor Peringatan terdapat beberapa pikiran tentang kesusastraan baru yang ada di Indonesia, yang menurut pikiran kami perlu dibicarakan lagi. Terutama apa yang dikemukakan tentang ukuran yang harus dipergunakan pada kesusastraan perlu ditimbang oleh pujangga-pujangga kita sekarang.

Sutan Syahrir katakan, “Ukuran yang dipergunakan pada kebudayaan mereka tak lain dari ukuran yang lazim dipakai untuk kebudayaan Barat”. Ia sampai pada ucapan ini beralas pada pendapatannya: kebudayaan kaum terpelajar di Timur tak lain daripada kebudayaan Barat itu. “Kebudayaan pemuda Timur ini satu dengan kebudayaan Barat….” Pikiran Sutan Syahrir ini sungguh nyata terang. Pertanyaan timbul: Benarkah begitu? Menurut perasaan kami tidak seperti yang dikatakan Sutan Syahrir itu.

Suatu hal yang menyukarkan akan bertukar pikiran dengan tuan itu adalah arti kata kebudayaan. Apakah kebudayaan? Menurut pendapat Sutan Syahrir, “Kebudayaan berarti sama dalam bahasa Inggris civiliation; perbedaan antara Zivilisation dan kultuur yang dibuat orang Jerman, saya anggap tidak berguna dan saya tolak.”

Dalam hal inilah ada permulaan perbedaan pikiran antara Sutan Syahrir dan saya. Menurut pendapatku, Zivilisation dan Kultuur ada berbeda. Zivilisation tiada selamanya berarti Kultuur. Siapa yang mempunyai Zivilisation tiada selalu mempunyai Kultuur, tetapi siapa yang mempunyai Kultuur selalu menyatakan Zivilisation dalam pen dan laku hidupnya. Menurut perbedaan ini ucapan Sutan Syahrir di atas  dapatlah saya ubahkan, “Zivilisation pemuda Timur sama dengan Zivilisation Barat, Kultuur pemuda Timur tidak satu dengan Kultuur Barat.” Boleh jadi (umpamanya) Sanoesi Pane dan Anthony Donker sama-sama memakai sepatu Bata dan membersihkan hidungnya dengan sapu tangan Pyramid, tetapi Kultuur Madah Kelana berlainan dengan Kultur De draad van Ariadne. Yang pertama habis dalam ‘benua’ Ramayana sedang yang kedua dalam ‘benua’ Nibelungen.

Tak dapat tidak kesusastraan Indonesia sekarang ini berbeda dengan kesusastraan Barat, karena cultureele achtergrond berbeda; serta juga ada perbedaan psychologische dan social-econimische geaardheid dari bangsa dan tempat yang melahirkan kesusastraan itu. Berhubung dengan hal ini ukuran yang dipergunakan pada kesusastraan Indonesia tidak dapat sama dengan ukuran kesusastraan Barat.

Kesusastraan Indonesia masih muda; kesusastraan Belanda sudah tua. Keduanya tak dapat diukur dengan satu ukuran. Sajak Fatimah Delais tidak dapat diukur dengan ukuran sajak Henriette Rolland Holst dan roman Selasih tidak boleh diukur dengan ukuran roman Ina Boudier-Bakker.

Cultureel-historische, psychologische dan ethnologische, social-maatschappelijke, materieele (stof, gegevens), instrumenteele (de taal) differenties yang mempengaruhi lahirnya dan perkembangannya kedua kesusastraan itu menuntut juga perbedaan ukuran.

Dan lagi: bagaimanakah ukuran Barat itu? Adakah itu serupa yang dipakai dalam Critisch Bulletin, atau dalam De Gids? Atau yang dipakai dalam Haagsche Post? Dirk Coster-kah ukuran kesusastraan Belanda? Atau Ter Braak, atau Anton van Duinkerken? Berapa tahun yang lalu orang melakukan ‘saneering van de letterkundige kritiek’ tetapi chaos dalam hal ini bertambah, sehingga kita boleh bertanya, “Ukuran manakah yang harus dipakai akan mengukur ukuran Barat supaya kita dapat mengetahui ukuran itu?”
Selanjutnya: bukankah ukuran Barat itu gagal dalam usahanya? Tidakkah Huizinga menamakan beberapa fatsal dalam bukunya In de schaduwen van morgen: de algemeen verzwakking van het oordeel; daling van de kritische behoefte; verval der moreele normen?

Albert Schweitser dalam bukunya Verval en wederopbouw der Cultuur, sebutkan sebagai beslissende factor bij het verval der cultuur adalah het tekort schieten van het denken. Kami boleh tambahkan juga oleh karena: daling van het kritisch vermogen, en de onmacht van het kritisch waardeerend en oordeelend bewustzijn om aan het cultuur-scheppend denken leiding te geven. Meskipun kita belum mengalami total Untergang des Abendlandes, tetapi keadaan dunia Barat dewasa ini lebih memberi petunjuk kepada kita bagaimana cultuur itu harus lain keadaannya, dan bagaimana ukuran Barat itu telah memimpin cultuur itu.

Jadi kecuali onbillijk teenover ‘n jong ontluikende letterkunde ukuran Barat itu tak dapat dipakai pada kesusastraan kita sebab tak dapat ditentukan dengan benar bagaimana ukuran Barat itu dan sebab sejarah telah menunjukkan kelemahan dan kekhilafan usaha ‘mengukur’ di Barat itu.

Jadi, ukuran apakah yang harus dipakai pada kesusastraan kita? Sij moet norme skep. Ia harus melahirkan ukurannya sendiri. Bukan supaya kita mendapat ukuran yang ‘gampang’, yang rendah. Tetapi suatu ukuran dan cara mengukur yang lain. Inilah ada kewajiban kritisi kita akan mengadakannya.

Sumba, Maret 1939