Hamid Jabbar

Karya Sastra Hadir Tidak dalam Ruang Kosong

Hamid Jabbar

Karya Sastra Hadir Tidak dalam Ruang Kosong

Hamid Jabbar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

PERTAMA-TAMA yang ingin saya ingatkan adalah bahwa saya bukanlah ilmuwan. Jadi pendekatan saya dalam ceramah ini merupakan pendekatan orang yang bergelimang sehari-hari dengan kesusasteraan, khususnya puisi, meskipun saya juga menulis cerita pendek, cerita anak-anak, dan esei-esei kecil. Jadi harap dilihat bagi mahasiswa yang mengikuti ceramah ini, bahwa akan hal segala teori tentang kesusasteraan, jangan tanyakan ke saya. Silahkan mencari pada buku, pada teori-teorinya, dan itu sebenarnya adalah makanan harian dosen-dosen anda yang akan sama-sama anda cernakan  di dalam proses belajar dan mengajar menggeluti kesusasteraan Indonesia.

Hal yang kedua, karena saya bukanlah seorang ilmuwan, maka pendekatan saya bukan pendekatan yang sistematis. Sebagaimana puisi saya sering meloncat dari sesuatu ke sesuatu, dan cerpen-cerpen saya juga sering meloncat dari sesuatu ke sesuatu, maka pembicaraan saya kali ini mau tidak mau juga melakukan semacam loncatan-loncatan dari satu hal ke hal yang lain. Saya berharap, loncatan itu menjadi loncatan indah, yang akan merangsang pemikiran kita bersama.

Yang utama menurut saya, berdasarkan pengalaman, karya sastra itu hadir tidak dalam ruang kosong. Tidak lahir dalam hampa udara. Artinya, di sini saya ingin mengatakan bahwa kehadiran karya sastra itu dalam ruang dan waktu yang bergerak, yang terus berlangsung. Dalam konteks ini, artinya, di dalamnya selalu ada aspek-aspek kesejarahan dari kesusasteraan, yang saya kira anda juga mempelajari aspek-aspek kesejarahan dalam sastra Indonesia itu. Di samping itu, juga ada aspek-aspek yang berlangsung ulang-alik antara perkembangan masyarakat dengan perkembangan kesusasteraan itu sendiri.

Ada masa-masanya kesusasteraan Indonesia sangat begitu erat bersatu dengan perkembangan kebangsaaan, dan perjuangan pencerdasan masyarakat. Sebagai contoh misalnya, kalau anda merujuk pada sejarah kesusasteraan Indonesia, maka Muhammad Yamin yang menulis soneta –yang kemudian dikenal sebagai salah seorang konseptor Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tanggal  28 Oktober 1928 itu – pada tanggal 27 Oktober (sehari sebelumnya) ia menulis sebuah puisi (kalau saya tidak salah) judulnya “Tanah Air”. Apa yang kemudian akan dicetuskan di dalam Sumpah Pemuda itu, di dalam puisinya itu sudah tergambar. Detailnya puisi itu silahkan anda lihat di perpustakaan, saya kebetulan ndak bawa.

Puisi M. Yamin itu saya ketemukan dan saya pahami secara mendalam, ketika secara kebetulan saya bersama Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri menjadi editor buku kumpulan puisi “Ketika Kata Ketika Warna”, yang diterbitkan dalam sebuah bentuk renungan kembali 50 tahun Indonesia merdeka. Di dalam proses penerbitan buku itu kami berdiskusi, yang kemudian menetapkan bahwa kami merasa perlu mendudukkan beberapa puncak dari kepenyaran di Indonesia, berupa puisi-puisi penting di dalam 50 tahun Indonesia merdeka. Kemudian kami melihat bahwa ada sastra lama, puisi lama. Puisi lama ini kami kutip dari bahasa daerah aslinya, lalu kami terjemahkan ke bahasa Indonesia. Buku  “Ketika Kata Ketika Warna” itu akhirnya terbit dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.

Di dalam buku kumpulan puisi itu yang kami pilih dari Jawa adalah “Zaman Edan” karya Ranggawarsita. Dari Aceh kami pilih “Hikayat Perang Sabil”. Dari Sunda Kiyai Haji Musthafa tentang Suluk. Kemudian dimulailah sesudah itu dengan Hamzah Fanzuri, M. Yamin dengan puisi “Tanah Air” –yang kemudian sajak ini menjadi pernyataan kebudayaan dalam pengertian yang luas yang telah terwujud dalam Sumpah Pemuda.

Sebenarnya, kalau kita rujuk sejarah kesusasteraan Indonesia, sejak dari Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ‘45, Angkatan ’66, dan sampai sekarang juga, semua tampak bahwa ada keterkaitannya yang kuat dengan perjuangan kebangsaan, perjuangan kebahasaan, dan perjuangan nilai-nilai pendidikan. Betapa pun kesusasteraan itu telah menjadi, mengilhami, dan menimbulkan inspirasi dalam pergolakan kebudayaan secara menyeluruh; dalam pergolakan kemasyarakatan dan kebangsaan. Semuanya itu kalau dilihat dari sisi lain, maka kesusasteraan merupakan bagian terdepan (sering berada di bagian terdepan) dari masyarakatnya.

Kalau kita lebih merujuk lagi ke masa silam, maka sebenarnya kesusasteraan, apakah itu puisi atau prosa, kita mengenal yang namanya sastra lisan. Nah, kalau kecenderungan sekarang, misalnya, saya di dalam menyampaikan puisi, saya membacakan puisi itu. Dalam pembacaan puisi itu, faktor kelisanan sangat saya perhitungkan. Sesungguhnya bagi saya memang dalam menulis puisi, saya membuat sastra tulis. Tetapi di dalam saya menulis sastra tulis itu, saya menulisnya dengan kesadaran sastra lisan. Maksud saya, ketika itu saya memaksimalkan unsur-unsur kelisanan di dalam sastra tulis saya. Atau dengan bahasa lain, ketika saya menulis itu, saya sangat sadar bahwa puisi saya nanti akan saya lisankan di depan khalayak.

Buku puisi saya “Super Hilang” ini, misalnya, sebagian besar puisi-puisi di sini (boleh dikatakan minimal 30 persen) itu mula pertama dimasyarakatkan selalu saya lakukan lewat pembacaan puisi. Harus diketahui juga bahwa faktor kelisanan ini penting, karena menurut saya, puisi itu adalah permainan. Permainan apa? Puisi itu adalah permainan kata. Begitu kita menyebut puisi itu sebagai permainan kata, maka di dalamnya sesungguhnya terjadi permainan makna, permainan suasana, dan permainan suara. Maka, dengan pendekatan seperti ini, mau tidak mau kekuatan dari sastra lisan dengan sendirinya ada dan harus ada di dalam karya puisi. Memang pada puisi selalu ada pergulatan penyair di dalamnya. Ada pergulatan bentuk dan pergulatan isi. Ada puisi yang dari bentuk dia menemukan isi, dan ada dari isi menemukan bentuk.

Saudara-saudara, sekarang saya mau melengkapkan. Saya telah menceritakan tadi kaitan sastra dengan sejarah, dan dengan sastra lisan, kemudian perkembangannya. Di dalam puisi Indonesia, berkembang pembacaan pusi, berkembangnya poetry reading. Jadi, dalam konteks sastra Indonesia, dalam konteks perpuisian Indonesia dan kaitannya dengan sastra lama, maka sebenarnya pembacaan puisi, pembacaan cerpen, dramatisasi puisi, maupun musikalisasi puisi, atau apapun istilahnya dari pembacaan puisi berkembang: berkawin dengan musik, puisi berkawin dengan teater, puisi kawin dengan seni rupa, puisi kawin dengan menjadi sebuah opening-art, itu sesuatu yang lumrah-lumrah saja kalau kita lihat dalam konteks perjalanan kesusastraan Indonesia dari sastra lama sampai sekarang. Malah, dalam perspektif masa depan –dan saya kira sebagiannya sudah sedang berlangsung sekarang —perkembangan perpuisian dunia (termasuk Indonesia) bisa secara ekstrim lagi.

Padang, 1999