Reformasi Peradaban: Membongkar Tabir Ketidaksetaraan di Indonesia dan Azerbaijan
“….Pena adalah senjata yang paling ditakuti dan berpengaruh, yang kini membawa kemanusian pada posisi yang lebih egaliter. Perang pemikiran tidak menuntut pertumpahan darah, tapi menuntut risiko atas inovasi yang mendahului zaman..”
Tulisan dan Pengasingan
Huseyn Javid, seorang maestro dalam bidang literatur dan sastra, seorang Azerbaijan yang mewakili seluruh bangsa. Ia wafat dalam sebuah keterasingan, atas tuduhan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan. Apa yang sebenarnya ia lakukan? Ia menuliskan puisi, ia menjadi salah satu tokoh pencipta dari gerakan romantisisme progresif, ia menulis sebuah drama yang sarat akan nilai-nilai spiritual yang tinggi, kisah tragedi dan dalam hemat penulis, ia berbicara tentang kemanusian dalam butir-butir tulisannya.
Ia berperang, berjihad untuk kaumnya dengan tulisan-tulisannya. Meluapkan protesnya, melalui jutaan kiasan kata yang ia paparkan dalam naskah drama. Ia berapi-api melawan ketidakadilan dari penjajahan yang menjarah martabat negerinya, dan ia paparkan dalam kisah-kisah kontemplatif yang implisit. Ia ingin mengembalikan rumahnya, sebagai tempat berlindung bagi bangsanya, bukan tempat di mana wajah- wajah penindas bergagah-gagahan di tanah miliknya bangsanya.
Namun, kisah dimana pemikir yang kritis, maupun penulis menjalani hidup yang sengsara, dipenjara atau diasingkan, bukan hal yang hanya terjadi di Azerbaijan ketika masa pendudukan Uni Soviet dulu. Hals tersebut juga berlaku di Indonesia ketika masa pendudukan Belanda dan Jepang. Penulis-penulis besar yang lahir pada masa peralihan pendudukan Belanda ke Jepang, banyak yang harus hidup meringkuk di balik jeruji besi atas tuduhan akan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan.
“My father had never been a member of any party. He had never been involved in any political organization. The KGB accused him of being a founding member of a counter-revolutionary organization which was preparing a coup. That was not true but it was impossible to prove otherwise. He never admitted to those accusations. They always pressured the people they arrested to admit to false charges. Some of them gave in when they were tortured but my father never admitted to being involved in any counter-revolutionary organization. There was no legal criteria for what they were doing in those days.”
Adalah sepenggal kisah yang dituliskan oleh Turan Javid, puteri dari Huseyn Javid yang harus menjadi saksi bagaimana ayahnya yang merupakan seorang nasionalis, pemikir ulung dan penulis harus menghadapi nasibnya.
Salah satu penulis Indonesia yang terkenal di kancah internasional, dan karyanya diakui sebagai simbol internasional dari kebebasan kreatif, mendapatkan penghargaan bergengsi Freedom-to-Write Award oleh PEN American Center pada tahun 1988, adalah Pramodya Ananta Toer, mesti hidup dalam represi meski itu tidak akan pernah mengungkung ekspresinya dalam berkarya dan menuangkan buah pikirannya dalam tulisan. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” merupakan sepenggal kata-kata terkenal dari Pramoedya Ananta Toer.
Sastra merupakan bukti nyata bagaimana sebuah kritik dan buah pemikiran yang disampaikan lewat tulisan dapat memberikan dampak kepada generasi-generasi setelahnya. Menjadi sebuah tolak ukur sejarah dan menjadi panduan bagi mereka yang meyakininya, untuk melawan semua bentuk penjajahan, represi dan penindasan terhadap hak-hak orang lain.
Sastra menjadi sebuah hal yang sangat ditakuti oleh para diktator maupun penjajah di seluruh dunia, bukan karena ia sangat mematikan seperti bom atom, tapi karena dampak yang dihasilkan oleh sastra dan literatur bisa menyebabkan sebuah perlawanan, bahkan revolusi. Maka tidak sedikit kisah pilu para penulis di seluruh dunia yang harus berakhir di balik jeruji besi, atas perbuatan yang tidak mereka lakukan. Meski penjara pun bukan lah menjadi titik atas torehan tulisan mereka.
“I’d volunteer to go to prison, as long as there are books. Because with books I am free.” Ujar Wakil Presiden Pertama Indonesia, sekaligus salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta. Masa pendudukan Jepang di Indonesia, meski hanya berlangsung sejak Maret 1942 hingga Agustus 1945, menentukan banyak hal. Ia tak hanya “mematangkan revolusi” dalam konteks pergerakan nasional, tetapi juga dalam urusan bahasa dan kesusastraan.
Banyak sekali karya-karya penulis Indonesia yang dilarang untuk diterbitkan, atau bahkan untuk sekedar disebarkan kepada masyarakat setempat. Jepang banyak menerapkan sensor dan penggeledahan buku- buku literatur Indonesia, dan inilah mengapa Mohammad Hatta mengungkapkan bagaimana pentingnya buku bagi masa depan bangsanya. Penyair sekelas Chairil Anwar juga tidak bisa banyak berkutik kala itu, karya-karyanya semakin populer dan mendunia justru setelah ia meninggal pada tahun 1949 pada usia 26 tahun.
Sastra dan Propaganda
Tapi perlu diketahui, bahwa dalam masa-masa yang genting di Indonesia ini, seorang Chairil Anwar yang berdiri tegak untuk terus membangkitkan kekayaan Bahasa Indonesia, dan menyediakan dasar-dasar puisi dalam Bahasa Indonesia hingga saat ini. Menurut M. Balfas dalam “Modern Indonesian Literature in Brief” (Literaturen, volume 1, 1976), administrasi Jepang menetapkan sensor ketat terhadap segala jenis terbitan di Indonesia sejak awal kekuasaannya. Mereka bahkan menghentikan penerbitan sejumlah surat kabar dan majalah, termasuk Pujangga Baru, majalah sastra paling berpengaruh di Indonesia pada masa itu. Namun, di sisi lain, Jepang menyukai karya-karya sastra romantik bertendensi nasionalisme yang dipopulerkan majalah tersebut.
Bentuk sastra yang berbau nasionalisme romantik memudahkan propaganda Jepang. Mereka hanya perlu menambahkan unsur persaudaraan Asia Raya untuk mengganti sentimen patriotik orang-orang Indonesia menjadi dukungan terhadap kampanye militernya. Pada poster-poster rekrutmen ketentaraan, misalnya, tertulis: “Saya Heiho Angkatan Laut. Mari turut serta dalam pembelaan tanah air!” dan “Saya berjuang dalam Tentara Pembela Tanah Air. Ikutlah!”
Banyak orang Indonesia, termasuk sejumlah intelektual dan seniman, terbawa arus Jepang ini; salah satunya ialah Usmar Ismail, yang kelak menjadi tokoh penting perfilman Indonesia. Penuh keyakinan, Usmar muda menjerit dalam puisi “Kita Berjuang”: “Sebagai dendang menyapu kalbu,/Bangkit hasrat damba nan larang,/Ingin ke medan ridlah menyerbu:/’Beserta saudara turut berjuang!’”
Tetapi dengan kenyataan yang dihadapi oleh orang-orang Indonesia pada masa kolonialisme Jepang, kepalsuan propaganda ini tersingkap dan karya-karya yang hampa ini mulai ditinggalkan, propaganda solidaritas yang tadinya ingin dibangun oleh Jepang atas nama Asia Raya pun pupus, karena ini hanya merupakan topeng yang dipakai Jepang untuk menjajah Indonesia.
Penulis adalah penulis, mereka bukan orator atau seorang juru bicara dari kepentingan penguasa, mereka menuliskan suatu keadaan dengan apa adanya. Bukan melebih-lebihkan pula, atau menampilkan konflik yang senantiasa memakai ‘baju’ sebagai korban. Tidak seperti itu. Mereka mengibaratkan realita-realita di luar dunia yang mereka hadapi sekarang, kadang bahkan ke arah yang surgawi, atau menceritakan sebuah kisah romantis dan bahkan tragedi, meski dalam kenyataannya mereka berada dalam kobaran perang dan penderitaan tidak bekesudahaan juga tekanan kepada saudara-saudara sebangsa mereka.
“Tuan, jika bukan karena rakyat yang hatinya bersemayam Al-Quran, maka niscaya masih ada warna biru di bendera negeri ini,” merupakan sepotong syair yang dituliskan oleh seorang penulis Islam yang juga merupakan seorang Ustad, Buya Hamka. Ia adalah satu dari sedikit penulis Indonesia pada eranya yang tidak mendapatkan referensi dari naskah-naskah Belanda maupun Jerman, karena ketertarikannya dalam bidang agama, Buya Hamka justru banyak membaca referensi literatur dari Timur Tengah dan Persia yang bersifat sufistik.
Sementara itu, Pramoedya Ananta Tour, penulis yang sudah disinggung sebelumnya di atas, banyak menjalin hubungan yang erat dengan para penulis atau sastrawan dari Tiongkok selama tahun 1950-an. Pram secara bertahap berpindah haluan, banyak dari tulisannya dari akhir 1950-an berbentuk esai nonfiksi dengan tema kritik, khas literatur orientalistik.
Mengenang Huseyn Javid, membuat penulis teringat akan seorang maestro sastra Indonesia, yang wafat 5 tahun setelah Huseyn Javid meninggal dunia pada 5 Desember 1941 di pengasingan. Maestro sastra Indonesia itu bernama Amir Hamzah, guratan tinta dari Huseyn Javid yang ada di karya berjudul “Refugee” misalnya, rasanya dekat dengan karya Amir Hamzah ;
.. Angin pulang menyeduk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas..” (Amir Hamzah – Berdiri Aku)
` .. You enchant my soul when you smile.
You are the shy doe of the mountains, refugee.
Mercy, what happened? How did you fall
so far from your homeland? (Huseyn Javid – Refugee)
Come then, oh Death
Release me from mine suffering To you, again, must I cling
In these most dark times (Amir Hamzah – Buah Rindu)
it (devil) is the reason of all the betrayal, Who is the human who betrays everyone? it’s the devil. (Huseyn Javid – Iblis)
Dentuman puisi kedua penyair yang terbentang jarak benua ini, mengisahkan cerita romantis, memakai kiasan-kiasan dari keindahan alam. Marah pun tak tampak bergemuruh, meski ini adalah ekspresi-ekspresi jujur dari sang maestro.
Guratan nafas Huseyn Javid yang seirama dengan Amir Hamzah, begitu juga dengan salah satu sastrawan dari Indonesia, yang lahir pada tahun 1908 Sutan Takdir Alisjahbana. Puisi-puisinya tidak kerap menjadi
kritik yang pedas terhadap penindasan dan ketidakadilan, ia banyak menuliskan isu-isu yang terkait pemikirannya terhadap keyakinan, tuhan dan budaya. Ia menorehkan dakwahnya dalam buah tulisan. Ada, dan tidak banyak puisinya yang menyanjung amarahnya akan kekerasan yang dilakukan oleh penjajah terhadap warga Indonesia.
.. Kulihat, Kurasakan:
Peluru mendesing menembus kening, Pedang bersinau memenggal leher, Dan Tergulinglah jasad di tanah:
Darah mengalir merah panas. Mana harapanku, mana cita-citaku? Sebanyak itu lagi ‘kan kukerjakan! Mana isteriku, mana anakku,
karib handai tolan?
Lenyapkah sekaliannya selama-lamanya? Hampa! Kelam! Ngeri!
Potongan-potongan puisi dari para sastrawan yang datang dari dunia timur, seringkali mencakup sesuatu yang lebih jauh, melampui dunia yang materiil tapi makna-makna dari sebuah keyakinan, simbol-simbol ketuhanan dan kecintaan terhadap Illahi. Hal ini yang sering menjadi topik di mana penulis timur itu seolah-olah mistisis, sufistik, tidak rasional dan lain sebagainya.
“Kau terbang membentang sayap.. membawa harapan dari semua jenismu Bulu-bulumu sehalus rasaku…
Kuku-kukumu, setajam semangatku…. Paruhmu, pengucap jiwaku ….
Tak peduli buih, tak peduli ombak
Tak peduli angina, kau terjang bersama matahari… Kau bebas bersama sukma dan nalurimu..
Kau bebas melihat darah dan derita di bawahmu.”
(Dubes RI Azerbaijan Memberikan Kuliah Umum di Mingachevir State University, Azerbaijan)
Ketimpangan Sudut Pandang Barat Terhadap Literatur Orientalis
Seperti apa yang sama-sama kita ketahui bahwa dalam dunia literatur, khusunya sebelum pesatnya pergerakan globalisasi ini, terjadi ketidakseimbangan antara literatur yang biasanya dikatakan “Western” atau Barat dengan “Orient” yang stigmanya menjadi seperti sesuatu yang eksentrik, terbelakang, sensual dan pasif, dengan kekhasan inferior dan terjajah. Lagi-lagi ini adalah stigma dan sebuah negasi yang diciptakan untuk menjelaskan karakter ketimuran. Ini merupakan bentuk ketimpangan cara pandang yang berujung tidak adil pada literatur timur.
Dalam sebuah konteks kesetaraan, posisi literatur timur sebelum tokoh-tokoh seperti Nizami Ganjavi, Jalaluddin Rumi, Hafez E Shirazi, Umar Khayyam, Saadi Shirazi, Fuzuli, Lao Tse, dan juga Huseyn Javid, Pramoedya Ananta Toer, dan lainnya mengangkat khasanah yang berbeda dari bentuk literatur yang selama ini popular di barat, kita bisa juga melihat bagaimana rekognisi barat terhadap penulis laki-laki dan penulis perempuan.
Helene Cixous penulis perempuan asal Perancis, menjelaskan mengenai “tinta putih” sebagai sebuah cara menulis yang dipakai oleh perempuan dalam membuat karya tulis. Dalam artian, perempuan tidak perlu memakai gaya atau metode menulis maskulin untuk mengekspresikan jiwanya. Perempuan dapat mengekspresikan buah pikirannya dalam bentuk tulisan yang tidak saklek.
“And why don’t you write? Write! Writing is for you, you are for you; your body is yours, take it. I know why you haven’t written. (And why I didn’t write before the age of twenty-seven.) Because writing is at once too high, too great for you, it’s reserved for the great-that is for “great men”; and it’s “silly.”
Helene Cixous coba menyuarakan hasrat perempuan untuk menulis, tanpa harus terkungkung oleh aturan-aturan penulisan maskulin. Sama seperti para penulis timur, mereka melepas patron-patron saklek dalam jenis penulisannya dan melahirkan kisah-kisah maupun puisi-puisi terbaik yang pernah ada di bumi.
Kesetaraan yang dituntut oleh para penulis perempuan dari Barat digerakan tak hanya oleh Helene Cixous, tapi juga Virginia Woolf, Simone De Beauvoir, Audre Lorde dan lainnya. Mereka terus melawan hegemoni dunia penulis yang maskulin dengan terus membuat karya tulis mereka, dan akhirnya apa yang mereka lawan dapat diruntuhkan, bahkan berdampak pada sisi sosial yang lain pula. Ide-ide mereka juga menjadi pemicu munculnya keseteraan antara orang kulit berwarna denga kulit putih.
Kembali pada ketimpangan penulis barat dan timur, patutnya kita menyadari dulu bahwa subordinasi ini memang sebelumnya ada11. Seperti disebutkan dalam kutipan yang dituliskan oleh Kerstin Shands
“Even though some orientalist accounts were admiring and even romanticizing, the orient was usually described as less developed, civilized, and rational, as a negative mirror image reflecting the self-described positivities of the occident. Said showed how the alluring and appalling image of the Orient was used to underpin and legitimize European imperialist and colonialist undertakings. Orientalist discourses built on binary oppositions contrasting the ‘typical’ features of East and West, dichotomies that were unequal in praising the West as more ‘progressive’ while viewing the Orient as static, non-progressive, or even backward. In sharp contrast to the supposedly rational and straightforward West, the East was painted in irrational and mysterious hues.”
Dikotomi yang dipusatkan pada barat dan menyebabkan ketimpangan dunia Orient dengan Occident ini, memang mengalami perubahan untuk perlahan-lahan mulai terangkat pada tataran yang lebih setara. Ini juga merupakan kontribusi dari para penulis-penulis dari ‘timur’ seperti nama-nama yang disebutkan di atas, Husen Javid, Ummar Khayyam, Fuzuli, Nizami Ganjavi, Saadi Shirazi dan lainnya. Perubahan jelas ada, meskipun lama dan titik kesetaraan itu pun belum kita capai hingga sekarang.
“It seemed to me, and to many other Saudis, that the Western world still perceives us either romantically, as the land of Arabian Nights and the land where bearded sheikhs sit in their tents surrounded by their beautiful harem women, or politically, as the land that gave birth to Bin Laden and other terrorists, the land where women are dressed in black from head to toe and where every house has its own oil well in the backyard! Therefore, I knew it would be very hard, maybe impossible, to change this cliché.”
Perubahan yang disebabkan adanya letupan-letupan tulisan dari para penulis timur yang membawa kita membuka tabir ketimpangan cara pandang timur dan barat, dan mengajak kita untuk mengambil jarak dari litaratur dan praktik Bahasa yang kita pahami selama ini, untuk mempertanyakan apakah Bahasa ini berakar pada tanah tempat lahir kita?
Pikiran-pikiran liar yang revolusioner terus dituliskan, hingga seperti sudah disinggung di atas penulis Indonesia, seperti Chairil Anwar menancapkan dasar-dasar puisi berbahasa Indonesia. Tulisan tidak hanya membawa perlawananan dan kemerdekaan dari bangsa-bangsa yang terjajah sebelumnya, tapi juga membedah ketimpangan dalam cara pandang global, termasuk mengenai bias gender dan bias ras. Pena telah membawa umat manusia pada posisi yang lebih setara daripada zaman sebelumnya, pena yang membawa kita pada kehidupan lintas batasan negara seperti pada zaman globalisasi ini, dan yang terpenting tulisan pula yang membawa bangsa-bangsa dari timur kini mulai jadi negera-negara unggul di tataran global.
Para penulis, akademisi baik dari belahan dunia barat maupun timur yang telah secara berhati-hati dan menghindari sikap tidak peka dan bias, telah turut berkontribusi pada pembentukan zaman kontemporer sekarang ini. Termasuk Huseyn Javid yang telah ikut berjuang dan mengangkat martabat negerinya dalam kalangan internasional. Menyulap amarah dan kekecewaannya menjadi sebuah lintasan kata yang menginspirasi, menjadi pengingat bagi generasi yang terus berganti.
Berikut penulis persembahkan, sebuah puisi bertajuk Ranahku, Kasihku yang penulis buat pada tahun 2000 silam dan puisi tesebut sekaligus menjadi judul dari buku kumpulan puisi karya penulis.
“Suatu hari aku datang ke sebuah pulau yang tentu tak asing bagiku Pulau itu menyimpan sebuah sejarah panjang perjalanan bangsaku…
Tak terhitung berapa jumlah cerdik cendikia yang dihasilkan oleh tanah pulau itu, Tak terhitung berapa jumlah manusia yang berkelana dari tanah pulau itu,
Tak terhitung berapa jumlah bangsawan yang lahir dari air di pulau itu,
Tak terhitung berapa jumlah kekuatan rohani yang tersebar untuk bangsaku.
Putihnya buih di sepanjang pantai mengingatkanku pada kakek dan nenekku.. Mereka pernah menjalin kasih dengan suasana romantic dan penuh syair cinta.. Mereka pernah meninggikan derajatnya hingga terlahirlah ayahku dan aku sendiri…
Barisan bukit yang terjajar dari Utara hingga Selatan menjadi saksi utuh keberadaan mereka.
Adat yang dikembangkan mengingatkanku pada puisi-puisi lama yang merubah hidup. Legenda-legenda tua yang tertuang di pulau itu segera menyadarkanku.
Bahwa, pulau itu memiliki lebih dari apa yang aku dan mereka tau..
Bahwa, pulau itu telah menanggung beban dari sebagian besar kebutuhan negeri ini Bahwa, rakyat yang ada di pulau itu masih banyak yang hidup tanpa kelayakan..
Bahwa, kayu, dahan, ranting dan daun.. tergerai tanpa makna yang berarti.. Bahwa, bukt, gunung, dataran dan lembah.. hanya indah untuk orang asing..
Bahwa, bakau, karang, dan bermacam jenis ikan hanya untuk hari ini dan esok lusa..
Menangiskah aku? Mendengar jeritan si Buyung dan si Upik yang berteriak lapar di tengah-tengah lumbung padi… Bergetarkah aku? Melihat para nelayan miskin yang terubahkan nasibnya…
Tiba-tiba aku tersesak dengan kepulan asap hutan-hutan hijau yang dibakar untuk kesenangan orang- orang asing !!!
Jantungku pun berdetak kencang..
Seakan semua terkejut dengan tertawanya pembesar-pembesar yang hanya diam karena sudah maklum dengan hasil ganda mereka dari hutan-hutan yang dibakar.
Terseret-seret dengan luka bakar di kakiku yang mungkin juga di hatiku..
Ku coba menyelusuri lagi jalan-jalan pantai yang konon kabarnya perjalanan asmara kakekku dan nenekku dengan ribuan cinta yang mengelilinginya saat itu.
Maka aku pun lupa dengan nelayan-nelayan itu, Si Buyung dan si Upik itu.. Bahkan dengan hutan ranahku yang terbakar di sana.
Mesra.. dengan hati yang penuh Mawar, Melati, Anggrek, bahkan Tulip pun dapat mekar tanpa malu- malu.. Menemani sejoli yang sedang kasmaran.
Semua menjadi saksi keberadaan atas harapan-harapan..
Ya harapan anak cucu dari kakek dan nenekku ketika mereka membasahkan kaki dengan buih ombak di sepanjang pesisir.
Riuh rendah suara anak-anak dan orang ranah itu memberi dukungan kepada datuk-datuk mereka menjadi wakil dari harapan-harapan yang pernah ditinggalkan.
Semua bercampur, semua terasa tak jujur, semua menjadi gila akan kebenaran. Kebenaran yang tak pernah terasa benarm
Kebenaran yang selalu dibungkus kebohongan,
Kebenaran yang hanya diketahui oleh orang-orang yang memiliki cinta, Kebenaran yang hanya diketahui ketika bulan purnama penuh.
Aku pun heran.. Tiba-tiba ada rasa kasih yang muncul dari semua itu, kasih yang tak pernah kurasakan, kasih yang kudapat setelah sekian lama tak mendengar cerita tentang kakek dan nenekku.
Semoga aku tak salah, menulis sebuah cerita tentang legenda yang pernah ada di ranah itu..entah Siti Nurbaya, entah Malin Kundang, entah Mande Rabi’ah.
Senyum yang melegenda itu kini muncul lagi di hadapan mataku, senyum itu membawaku berangan- angan untuk menjelajahi lebih jauh ke dalam rimba pulau yang kudatangi.
Kemegahan yang pernah kulihat dari yang kutahu selama ini telah memberikan makna lain setelah kucoba untuk ikut menyelusuri perjalanan dan berkenalan dengan kehidupan ranah leluhurku.
Aku sendiri tak yakin bahwa aku dapat menjadi orang ranah itu, namun aku ikut iba dengan semua yang kulihat dari ketidak pedulian orang-orang ranah itu, mereka yang jauh atau lupa dari mata air tempat mereka mandi ketika kecil.
Kini.. aku ingin ikut merasakan kepedihan yang menjadi awal dari masa depan pencerahan rakyat dan sanak familiku di ranah ini.
Kumohon kepada yang kuasa.. agar Sinar Rahmatnya tercurah lebih ke pulau itu
Kumohon kepada yang kuasa.. agar Aliran Berkahnya mengairi tanah itu Kumohon kepada yang kuasa.. agar Hembusan Kebahagiaan tersebar untuknya. Kumohon kepada yang Kuasa.. agar rasa kasihku pun ikhlas dan kekal disana.
Peradaban sedang mencatat awal dari legenda yang hamper ditinggalkan. Peradaban sedang menanti anak, cucu, dari kakek dan nenekku.
Bagai seorang kekasih yang datang dan pergi. Kekasih dengan penuh curahan hati.
Kekasih yang ditunggu. Penuh Pesona.
Keikhlasan.
*Prof Dr Husnan Bey Fanani
Penulis adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Azerbaijan periode 2016 – 2020
Bahan Rujukan:
https://www.azer.com/aiweb/categories/magazine/41_folder/41_articles/41_javid.html cited 23 February 2019.
http://www.hariansejarah.id/2017/02/pramoedya-ananta-toer.html cited on 25 February 2019
Balfas, Muhammad (1976). “Modern Indonesian Literature in Brief”. In Brakel, L. F. Handbuch der Orientalistik [Handbook of Orientalistics]. 1. Leiden, Netherlands: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2.
http://www.sepenuhnya.com/2018/11/puisi-kita-berjuang.html, cited on 2 March 2019
Hamka, Buya (1939). “Tuan Direktur”. Balai Pustaka
https://historyplex.com/orientalism-characteristics, cited on 26 February 2019
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-sutan-takdir-alisjahbana
cited on 5 march 2019
Bey Fananie, Husnan (1993). Ranahku Kasihku
https://artandobjecthood.files.wordpress.com/2012/06/cixous_the_laugh_of_the_medusa.pdf Cited on 5
March 2019.
Shands, Kerstin: Neither East Nor West – Postcolonial Essays on Literature, Culture and Religion 2008
1Alsanea, Rajaa. Girls of Riyadh (2007)
Leave a Reply