In Memoriam Hamsad Rangkuti: Selamat Jalan, Sastrawan Bersahaja…
Sihar Ramses Simatupang
Kepergian Hamsad Rangkuti, sungguh, tetap saja menyisakan kesedihan yang mendalam, Minggu pagi (26/8/18) ini.
Setelah dua tahun lebih dia mengalami stroke dan terbaring di rumah, setelah kedatangan dan dukungan serta doa kesembuhan dan kesehatan dari rekan-rekannya, para seniman dan masyarakat Indonesia, tak ada yang dapat mencegah si sastrawan bersahaja itu. Ia akhirnya dijemput dan dipeluk jua oleh-Nya.
“Jangan panggil ‘Pak’, panggil aku, ‘Abang’ saja,” ujar lelaki sederhana itu kepada seorang wartawan.
Tubuhnya masih segar. Usianya belum 60 tahun. Ketika itu tahun almanak tercatat 2001. Hamsad kelahiran Titi Kuning, Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1943. Dia kerap berkemeja dan bercelana panjang nyaris lusuh dan berperilaku sangat wajar, perawakan dan parasnya sangat terbuka, siap berkomunikasi dengan siapa saja.
Saya ketika itu bekerja sebagai Wartawan Harian Umum Sinar Harapan. Setelah lulus Fakultas Sastra dari sebuah universitas di Jawa Timur, saya hijrah ke Jakarta. Sebagai wartawan muda, saya tidak dapat menyembunyikan takjub, bertemu figur sastrawan nasional dengan nama besar, namun tampil unik, nyantei, dan polos. Sangat bersahaja, akrab dan merakyat. Dialah salah satu sastrawan yang mengajari saya, agar hidup tak berlebihan dalam bersikap dan berperilaku; wajar-wajar saja dan apa adanya. Tak perlu heboh dalam mengaitkan antara nama dan perilaku, sebab karyalah yang lebih penting. Belum lagi cara bicaranya yang spontan dan akrab. Gerak dan kode tubuhnya sudah sehangat itu.
Di Taman Ismail Marzuki masa itu, dia kadang berada bersama sastrawan lainnya yang memberi keakraban dengan sunggingan senyum, Sutardji Calzoum Bachri, Gerson Poyk, Martin Aleida, Slamet Sukirnanto, Sides Sudyarto DS. Ada juga perupa Syahnagra Ismail, Sri Warso Wahono. Yang lebih muda, sastawan Ari MP Tamba, Ahmadun Yosi Herfanda, Imam Muhtarom dan sastrawan lain. Bang Hamsad bangkit dari kerumunan. Dia ngeloyor. “Abang mau ke depan. Kau mau ikut?” ujar cerpenis yang terkenal dengan karyanya “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” itu, saat keluar dari Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kami berjalan beriringan. Obrolan masih berkanjut. Tak ada sekat, tak ada senior-junior. Begitu egaliter, begitu merakyat.
Latar kehidupannya memang bersahaja. Catatan dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa Hamsad bersama lima saudaranya, melewatkan masa kecil di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara.
Dia kerap menemani bapaknya yang bekerja sebagai penjaga malam merangkap guru mengaji, di pasar kota perkebunan. Hamsad juga membantu ibunya mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar dan buruh pencari ulat di perkebunan tembakau.
Berlangganan koran dan membeli buku saat itu adalah sebuah kemewahan. Maka, dia membaca koran yang ditempel di kantor wedana setempat. Dari koran-koran itu, dia pun mengenal karya para pengarang terkenal, seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer. Dia mulai tertarik menulis karya sastra. Cerita pendek pertamanya “Sebuah Nyanyian di Rambung Tua” dimuat di sebuah koran di Medan saat masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada 1959.
Hamsad hanya bisa bersekolah sampai kelas 2 SMA pada 1961 karena tak mampu membayar uang sekolah. Dia lalu bekerja sebagai pegawai sipil di Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan.
Namun tekadnya menjadi pengarang tak dapat dihentikan karena terputusnya pendidikan formal. Pada 1964, dia masuk rombongan delegasi pengarang Sumatra Utara pada Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta. Itulah titik tolak dia tinggal di Ibukota. Tempatnya numpang tidur di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.
Dua tahun lalu, rekan-rekannya di Depok mendengar kabar sakitnya dan menjenguk ke alamat rumahnya di Jalan Swadaya 8, Tanah Baru, Depok, Jawa Barat.
Kepergiannya di usia 75 tahun itu dengan meninggalkan seorang istri, empat anak dan delapan cucu.
Tiga kumpulan cerpennya, “Lukisan Perkawinan” dan “Cemara” tahun 1982 serta “Sampah Bulan Desember” tahun 2000, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas.
Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah diterbitkan Kompas pada 1981.
Sejumlah cerpen Hamsad telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, seperti “Sampah Bulan Desember” diterjemahkan ke bahasa Inggris dan “Sukri Membawa Pisau Belati” diterjemahkan ke bahasa Jerman.
Karyanya berjudul “Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo” dan “Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus” diterbitkan oleh Monash Asia Institute dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia.
Karya cerpennya yang tetap unik meski mengangkat persoalan keseharian adalah ciri yang tak lekang dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ciri itu berbaur dengan perilakunya yang akrab, bersahaja dan ramah pada siapa saja. Para pecinta kesusastraan Indonesia, terutama yang pernah mengenalnya, tentu amat berduka mendengarnya. Selamat jalan, Abang Hamsad Rangkuti, damailah kau dipelukan-Nya. Abang tetap dikenal sebagai salah seorang maestro cerpen Indonesia … ***
Leave a Reply