Hari Puisi Indonesia
Maman S Mahayana
Mengapa puisi seperti tersisih dari kehidupan sosial bangsa ini? Jawabannya terkait dengan proses terbentuknya semangat kebangsaan Indonesia. Sebelum Belanda datang, puisi telah menyatu dengan kehidupan keseharian masyarakat Nusantara. Pantun adalah contoh puisi yang dapat memasuki wilayah apa pun. Ia tidak terikat batasan usia, agama, suasana, status sosial, dan bisa hadir spontan, seenaknya, tanpa permisi, dalam semua aspek kehidupan. Di berbagai wilayah, pantun ditulis dalam bahasa setempat. Bentuk puisi lain yang akrab dengan kehidupan masyarakat, di antaranya, lagu dolanan anak-anak, mantra, doa pengasihan, petatah-petitah yang berupa ungkapan metafora, dan entah apa lagi.
Puisi yang menyatu dengan kehidupan masyarakat di wilayah Nusantara dan disampaikan dalam berbagai bahasa etnik, tiba-tiba tersisih ketika Gubernur Jenderal Rochusen (1850) memberlakukan pemakaian huruf latin dalam bahasa Melayu. Etnis lain yang tidak berbahasa Melayu, dipojokkan ke dalam kotak tradisional dan etnisitas. Posisi marjinal itu makin kukuh sejalan dengan pemberlakukan Ejaan vam Ophuijsen (1901). Di satu pihak, bahasa non-Melayu terusir dari kancah pemerintahan (kolonial), dan di pihak lain, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bahasa Melayu memasuki masyarakat non-Melayu. Tidak perlu heran jika puisi dianggap seolah-olah hanya ditulis dalam bahasa Melayu.
Dari situ perkembangan bahasa Melayu mengalir dalam tiga jalur. Pertama, sebagai lingua franca dan bahasa perdagangan yang lebih mementingkan pemahaman informasi tinimbang ejaan dan struktur kalimat. Bahasa Melayu pasar dengan kosakata gado-gado dan ejaan amburadul adalah produk bahasa Melayu dalam jalur ini. Kedua, bahasa Melayu yang digunakan dalam dunia pers, terutama dalam majalah dan surat-surat kabar yang dikelola golongan peranakan Tionghoa dan pribumi. Bahasa Melayu dalam jalur ini, di satu sisi berusaha menjaga ketertiban berbahasa, di sisi lain, ada pertimbangan kepentingan sasaran pembaca. Maka, tidak ada cara lain, digunakanlah bahasa Melayu yang hidup di masyarakat yang dikatakan Tirto Adhi Soerjo sebagai bahasa anak negeri. Ketiga, bahasa Melayu resmi yang diberlakukan di dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan. Di sinilah Ejaan van Ophujsen menjadi pedoman dengan gramatika (Belanda) sebagai aturan main berbahasa.
Sebenarnya, sastra Indonesia yang lebih awal dihasilkan golongan peranakan Tionghoa. Sifatnya populis dan menyebar memasuki masyarakat menengah-bawah. Tidak sedikit khazanah sastra mereka dibaca sekadar untuk belajar bahasa Melayu. Berdirinya Balai Pustaka (1908, 1917) adalah usaha Belanda membendung pengaruh bacaan terbitan swasta. Dampaknya seperti dua mata pisau. Sastra peranakan Tionghoa dan terbitan swasta dicitrakan sebagai bacaan liar, berisi hasutan dengan kualitas picisan. Pencitraan itu menjadi stigma ketika pemerintah melarang masuknya bacaan-bacaan itu ke sekolah pemerintah.
Sebaliknya, semua sekolah pemerintah dijejali buku-buku Balai Pustaka. Tujuannya, membangun citra positif bangsa Belanda. Dunia pendidikan dilarang memakai buku-buku terbitan swasta. Jadilah arus utama sastra Indonesia mengalir melalui sastra Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu lebih tertib dan terpelihara. Dengan begitu, puisi (sastra) yang berbahasa Melayu jalur ini, terkesan elitis dan tak dekat dengan masyarakat non-Melayu.
Itulah sumber masalah puisi Nusantara tersisih dari kehidupan keseharian masyarakat kita dan seolah-olah puisi hanya ditulis dalam bahasa Melayu yang tertib dan terpelihara. Padahal, puisi (: sastra) yang hidup di tengah kultur etnik Nusantara sudah tumbuh dan berkembang semarak jauh sebelum Belanda datang. Peminggiran puisi etnik non-Melayu mendapat semacam legitimasi lewat pembicaraan puisi dalam rubrik majalah Pandji Poestaka dan Pudjangga Baroe yang dikelola Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Sejumlah puisi yang dibincangkan STA semuanya berbahasa Melayu. Penolakan pada puisi tradisional tertuju pada pantun dan syair. Sampai Chairil Anwar menghancurkannya, hampir semua puisi pada masa itu mengambil bentuk pantun dan syair.
*
Secara sosiologis, puisi mengerucut sebagai karya elitis berbahasa Melayu. Tetapi, dalam kehidupan kebangsaan, puisi menjadi produk budaya yang berdampak politik. Konsep Tanah Air (motherland/fatherland/ibu pertiwi), seperti ditulis Muhammad Yamin dalam puisi “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921) dan “Tanah Air” (9 Desember 1922) yang lebih panjang dari puisi sebelumnya, adalah tempat kelahiran, tanah tumpah darah: Minangkabau yang dipahami sebagai Sumatera dan Nusantara. Disadarinya, problem Nusantara adalah keanekaragaman: perbedaan etnis, budaya, agama, dan bahasa. Diperlukan satu bahasa sebagai alat untuk mempersatukannya. Jatuhlah pilihan pada bahasa Melayu. Dikatakannya: O, Tanah, wahai pulauku/ Tempat bahasa mengikat bangsa. Dalam pengantar antologi “Indonesia Tumpah Darahku” ditegaskan: “…. Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”
Dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku,” –ditulis menjelang Kongres Pemuda, 26 – 28 Oktober 1928—yang dimaksud Tanah Air bukan lagi Sumatera—Nusantara, melainkan Indonesia. Tetapi, siapakah bangsa Indonesia itu? Bagaimana etnis-etnis dengan beragam bahasa dab budayanya punya kesadaran sebagai bangsa Indonesia? Beberapa larik dalam puisi itu menyebutkan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku// Bertanah air di-Indonesia. Kesadaran itulah yang menghasilkan rumusan konsep Indonesia dengan landasan tiga faktro, (1) goegrafi wilayah Nusantara; (2) sejarah; dan (3) keberagaman sukubangsa, budaya, agama, dan bahasa.
Teks Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dilahirkan atas kesadaran pada ketiga faktor itu, dan Yamin mengemasnya dalam bentuk puisi dengan pola repetisi. Pada larik ketiga, bahasa Indonesia tak ditempatkan sebagai bahasa yang satu, melainkan menjungjung bahasa persatuan yang berarti ruang keberadaan dan perkembangan bahasa etnik, tetap terbuka. Jadi, meski dikemas dalam bentuk puisi, pesannya tegas: Tanah dan bangsa yang satu: Indonesia; menjungjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia! Itulah puisi yang membayangkan Indonesia. Secara de facto, Indonesia mengada; secara de jure, berada di bawah kekuasaan Belanda.
Meski awalnya deklarasi Sumpah Pemuda sebagai gerakan budaya, kelahirannya mencapai momentum politis ketika bertumbuhan gerakan kebangsaan. Jadi, teks Sumpah Pemuda, berdampak politik. Bahasa Indonesia seketika berfungsi sebagai alat membangun sentimen kebangsaan, meski Belanda tetap menyebutnya sebagai bahasa Melayu. Teks itu pun menjadi ajimat bagi gerakan politik kebangsaan mencapai cita-cita Indonesia merdeka! Tetapi, ibarat kacang lepas dari kulitnya, kemasan teks berupa puisi, tiada sesiapa pun menyentuhnya. Orang melupakan puisi yang menjadi baju Sumpah Pemuda.
Sutardji Calzoum Bachri (2002) yang mula mengangkatnya dalam artikel yang dimuat Kompas. Dalam Kongres Bahasa Indonesia (2003), penyair Jamal D Rahman membicarakannya lagi, dan selepas itu, baju Sumpah Pemuda yang berupa puisi, kembali tercampakkan. Dalam deklarasi Hari Puisi Indonesia (22/11/2012) di Pekanbaru yang diprakarsai penyair Rida K Liamsi, diingatkan kembali teks Sumpah Pemuda sebagai puisi. Maka, perayaan Hari Puisi Indonesia, 26 Juli (hari lahir Chairil Anwar) bukan sekadar seremonial, melainkan usaha mengembalikan peran puisi sebagai bagian sejarah pemikiran bangsa Indonesia.
Leave a Reply