Hakikat Puisi
Abdul Hadi W.M
(Epilog Hari Raya Puisi: Antologi Puisi Pemenang Anugerah HPI 2013-2017)
Anugerah Hari Puisi Indonesia telah lima tahun diselenggarakan oleh Yayasan Hari Puisi. Anugerah ini diberikan kepada penyair-penyair lama dan baru yang buku puisinya terpilih sebagai kumpulan puisi terbaik terbitan mutakhir yang dikirim oleh penyair atau penerbit buku yang bersangkutan kepada panitia sayembara buku puisi HPI. Hampir tiap tahun tidak kurang dari 250 sampai 300 buku puisi diterima oleh panitia sayembara. Dari sekian banyak antologi tersebut ditulis oleh penyair yang muncul pada tahun 2000-an, selebihnya adalah karangan penyair Angkatan 80-an dan 1990-an. Begitu pula selama lima tahun penyelenggaraan Anugerah Hari Puisi Indonesia terdapat banyak penulis dari generasi 2000-an.
Melimpahnya jumlah buku puisi yang diikutkan dalam sayembara ini memperlihatkan bahwa apa yang diperkirakan banyak pakar bahwa dalam era global atau digital ini kesusastraan akan kehilangan pengaruh dalam kehidupan umat manusia, sama sekali salah. Ledakan penulisan puisi yang terjadi di banyak negara di dunia, khususnya di Indonesia, justru memerlihatkan bahwa puisi tidak kehilangan pengaruh dan daya tariknya untuk diciptakan. Bahkan banyak sekali kejutan muncul dengan lahirnya puisi-puisi baru dalam lima dekade terakhir ini.
Seorang ahli sastra Amerika, saya lupa namanya, dalam sebuah buku pengantar puisinya pernah mengatakan bahwa abad ke-19 dan 20 merupakan abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengaruh besar ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia secara global akan membuat pengaruh kesusastraan, filsafat, dan agama semakin berkurang. Akan tetapi dalam kenyataannya, abad ke-19 dan 20 melahirkan banyak penyair, filosof, dan spiritualis besar juga. Goethe, Schiller, Baudelaire, Rilke, Tagore, Iqbal, T.S. Eliot, Kahlil Gibran, Gabrielle Mistral, Octavio Paz, Pablo Neruda, dan lain-lain adalah penyair besar yang lahir ketika ilmu pengetahuan dan tehnologi mengalami masa puncak kejayaannya. Ini memberikan petunjuk peranan puisi dalam kehidupan dan peradaban tidak bisa digantikan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat, serta pemikiran sosial dan keagamaan.
Puisi bukan wahana biasa dalam mengungkapkan pengalaman dan gagasan tentang kemanusiaan. Puisi mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkan itu semua, yaitu berbagai aspek yang kompleks dari kemanusiaan di mana penyair juga terlibat di dalamnya dan mengalaminya melalui kondisi kemanusiaan yang ia alami dan rasakan bersama manusia lain sezamannya. Yang diungkapkan penyair dalam karyanya bukan sekadar gagasan dan pemikiran, bukan pula sekadar pengalaman yang disaksikan, tetapi pengalaman yang dihayati dan direnungkan, serta mengalami proses internalisasi. Puisi berbicara dengan bahasa hati, bahasa intuisi atau bahasa perasaan atau rasa yang telah dihayati sedalam-dalamnya. Itu tidak ditemui dalam ilmu pengetahuan, pemikiran sosial dan keagamaan serta filsafat. Untuk memahami apa yang saya katakan itu marilah saya ajak Anda menyelami lebih mendalam tentang hakikat puisi dalam peradaban, khususnuya peradaban Timur.
Dalam masyarakat sastra tradisional di Asia setidak-tidaknya ada empat pendapat tentang hakikat puisi. Keempat pendapat itu saling mengisi satu dengan yang lain, baik berkenaan dengan fungsi atau kegunaan puisi, maupun mengenai hakikatnya sebagai seni kata-kata:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa puisi adalah seni permainan bunyi atau kata-kata. Anggapan ini menunjuk kepada kecakapan atau keterampilan teknis mengolah kata-kata menjadi pengucapan yang memiliki nilai estetika. Kearifan-kearifan lain di luar puisi seperti ilmu pengetahuan, filsafat dan paham keagamaan sering menggunakan peralatan yang berlaku dalam puisi untuk menyampaikan gagasannya, yaitu dengan bahasa yang indah dan berbunga-bunga.
Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa puisi yang baik harus mengandung pengajaran, entah pengajaran agama, filsafat, budi pekerti atau kearifan filsafat dan lain sebagainya. Dalam kesusastraan Melayu dan Jawa, serta kesusastraan daerah lain di Nusantara, puisi yang mengandung pengajaran itu banyak dijumpai terutama dalam bentuk syair atau pantun nasehat. Dulu para fisosof dan sufi di Asia banyak yang menyampaikan ajaran filsafat dan kerohaniannya melalui sarana yang disebut puisi.
Ketiga, pandangan yang tidak kalah popular ialah yang berpendapat bahwa puisi tidak lain adalah ekspresi dari jiwa penulisnya yang bersifat individual. Pendapat ini diikuti banyak penyair sejak dulu sampai sekarang.
Keempat, puisi sebagai hasil perenungan penyair terhadap pengalaman batin penyairnya. Sajak-sajak penyair besar yang juga filosof atau sufi, seperti Iqbal, Rumi, dan Hamzah Fansuri adalah contoh yang menarik.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, banyak penyair menerima empat pendapat itu sekaligus, misalnya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Sajak-sajak mereka, oleh karena itu, menjadi bukan saja indah dan memukau, tetapi dalam isinya dan bisa kita jadikan sumber perenungan.***
Leave a Reply