Sutardji Calzoum Bachri

Cerpen dan Puisi

Sutardji Calzoum Bachri

Cerpen dan Puisi

Sutardji Calzoum Bachri

Bulan Maret hidupku meloncat-loncat, dari satu kota ke satu kota, baca puisi dan bicara sastra. Kesehatan juga loncat-meloncat. Dua hari sehat lima hari tak. Jadi jangan heran kalau catatan ini meloncat-loncat.

Ini kereta api terbaik untuk ke Surabaya. Karcisnya saja paling mahal, bilang Hamid menghibur, melihat raut wajahku tak bahagia. Harus berjam-jam dalam kereta. Nanti pulangnya kau naik pesawat, bilangnya lagi lebih menghibur. Aku diam. Sekali-sekali tak mengomel, apa salahnya belajar kooperatif. Lagi pula ada banyak teman, Hamid, Jamal, Joni, mereka ini—bolehlah di sebut pahlawan apresiasi sastra—bekerja untuk Yayasan Indonesia yang mengirim puluhan sastrawan ke berbagai sekolah lanjutan di kota-kota Jawa dan Sumatra untuk apreasiasi sastra.

Di gerbong kami hanya tujuh penumpang. Berjalan menuju gerbong restoran, aku lihat gerbong-gerbong lain juga lebih kurang sama. Sekitar sepuluh orang. Kecuali dua gerbong terdepan dekat restoran yang agak penuh. Aku pikir, siapa pula yang suka jam setengah sepuluh pagi Minggu ke Surabaya. Lebih baik santai dulu menikmati Minggu Jakarta baru malam harinya naik kereta ke Surabaya. Kecuali kalau memang benar-benar ada urusan.

Sudah empat koran Minggu habis dibaca. Hamid mulai mencari-cari colokan listrik. Ingin menghidupkan laptop-nya. Tapi colokan listrik kelihatan sudah lama tak ada, tinggal dua kabel yang sudah dilepas. Hamid memang tak pernah diam. Di mana saja ia bekerja, mengetik, membikin catatan. Sudah dua minggu tak pulang ke rumah, begadang di kantor, itu kata istrinya ketika aku telepon dua hari lalu. Mempersiapkan segala sesuatu untuk acara sastrawan ke sekolah-sekolah. Dan kini sampai dua minggu mendatang dia keliling di beberapa kota Jawa Timur mendampingi para sastrawan, di samping ia juga harus baca sajak. Aku mau menggoda Hamid, TS Eliot bilang penyair itu sebaiknya jangan rajin. Agak malaslah. Entah kenapa aku tak tega mengucapkan. Kesal tak bisa bekerja dan tak dapat tidur, Hamid minta televisi dihidupkan, tapi pelayan kereta api bilang televisi tidak bisa hidup. Sejak tadi di semua gerbong tak ada televisi yang hidup. Hamid mulai mengomel pada orang kereta api. Nah, kau rasakan sekarang, makanlah promosimu kemarin itu. Orang kereta tak melayani hujatan Hamid. Pergi dan kemudian muncul lagi dengan selembar formulir. Silakan tulis komplain Bapak di sini, sambil menyodorkan formulir. Aku — ketawa. Jamal dan Joni ketawa.

Kenapa komplain, begitu bagus fasilitas untuk kita. Lihat banyak tempat duduk disediakan. Mau baring, telentang, telungkup, silakan suka-suka, kata Jamal. Hamid mulai pandai lagi ketawa. Diambilnya walkman Joni, menyetel kaset iringan musik untuk sajaknya dan menyanyikan puisinya. Ia menyanyi keras tapi tidak sekeras-kerasnya, dan suara kereta menyembunyikan merdu suaranya.

Di Surabaya ketika acara baca sastra di SMU I Nano (Riantiarno) juga menyanyikan lagu dalam menampilkan naskah dramanya. Aku ingat kata Ratna beberapa tahun lalu. Ratna bilang ketika pacaran Nano sering merayu dengan mengirim kaset rekaman nyanyinya. Suara Nano memang indah, sekurang-kurangnya dibandingkan dengan suara para penyair. Namun, untunglah saingan Nano bukan Broery atau yang semacamnya. Kalau itu lawannya, bisa jadi Teater Koma hanya mementaskan yang sedih-sedih saja.

Kalau guru senang dan mampu apresiasi sastra, pasti murid bisa ketularan. Di sekolah-sekolah semacam ini, sedap sekali bicara dan baca sajak. Mereka sudah tahu tentang beberapa sastrawan dan bahkan hafal dua tiga bait sajak beberapa penyair. Respons dari para siswa sering marak dan cukup berbobot sebagaimana yang diharapkan dari siswa sekualitas sekolah lanjutan. Tapi sering juga kami seakan-akan memulai apresiasi dari nol. Dan para penyelenggara dari Yayasan Indonesia harus menceritakan panjang lebar dahulu biografi penyair yang tampil beserta karya-karya mereka, sebelum diskusi atau baca sajak dimulai. Kecuali Rendra dan Taufig Ismail yang sangat dikenal para siswa, tak jarang para penyair yang lain sering tak dikenal. Namun, dalam situasi seperti ini aku pikir acara baca sajak ke sekolah-sekolah itu anggap sajalah sebagaimana halnya waktu aku kecil dahulu di SD kedatangan tukang sulap. Bagaimanapun, sampai kini peristiwa itu masih tetap berkesan walaupun aku kurang minat dan tak berbakat jadi tukang sulap.

Namun, terlepas tinggi atau tidak apresiasi para siswa, setelah penampilan dan diskusi selalu saja siswa-siswa itu menyerbu para pembicara minta tanda tangan. Entah apa gunanya tanda tangan itu, kata Ratna di restoran Hotel Weta setelah pegal tangannya di SMU I membubuhkan tanda tangan untuk ratusan siswa. Paling-paling beberapa hari kemudian dibuang, katanya lagi entah merendah entah memang kesal.

Aku kira baca sajak dari seorang penyair mirip ihwal memperoleh tanda tangan. Para penonton ingin melihat dan mendengarkan bagaimana sang penyair membaca sajaknya sendiri. Soal bagus atau tidak vokalnya, artikulasi, penampilan, dan sebagainya, itu nomor dua. Yang penting penonton dapat tanda tangan bisa jelek, tak bisa dibaca, aneh, tak jadi soal, Yang penting asli, bukan tiruan.

Sendirian di kamar mungil, apik, rapi, dengan kelembutan sejuk AC, sambil menunggu kantuk, tak ada yang lebih tepat kecuali berkomunikasi dengan murid yang paling cerdas dan paling cantik. Aku telepon Zenar. Basa-basi sahabat, bincang-bincang tanpa tema, kilas-balik ihwal peluncuran buku cerpenku di TIM itu. Zenar ikut hadir dalam peristiwa itu. Tentang para serigala yang ingin berkenalan dengan dia. Danarto yang malu-malu kucing. Untung malu-malu kucing. Kalau malu-malu macan engkau harus jadi pawang atau orang sirkus yang andal, aku bilang, sambil meyakinkan dia, Danarto bisa jadi guru yang dapat dipercaya.

Apa sih bedanya kata-kata dalam puisi dan dalam prosa seperti cerpen, kata Zenar tiba-tiba menjadi serius, sambil mengingatkanku perbedaan pendapatku terhadap penilaian Ignas Kleden tentang sebuah cerpenku yang pernah secara sambil lalu aku ucapkan dalam perbincangan kami di Cafe Miranda.

Secara ekstrem, atau garis besarnya, dalam puisi penyair menciptakan kata-kata (metafora), dalam cerpen pengarang menciptakan peristiwa-peristiwa. Konsentrasi seorang penyair ketika menulis puisi terutama adalah pada upaya menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata. Di situlah makna dapat diraih. Kecenderungan untuk mendapatkan makna dari menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata, itulah sebabnya kenapa kata-kata dalam puisi kelihatan aneh atau tidak familiar. Dalam cerpen, kata-kata menjadi sekunder. Yang utama adalah peristiwa, kata-kata adalah alat untuk menyampaikan atau menciptakan peristiwa-peristiwa. Makna diperoleh dari interaksi atau susunan peristiwa-peristiwa itu.

Dalam puisi, tekanan pada defamiliarisasi kata-kata atau bahasa. Dalam prosa, tekanan diarahkan pada defamiliarisasi peristiwa. Itulah sebabnya dalam cerpen pembaca sering menemukan peristiwa yang aneh, misalnya orang yang selangit rasa laparnya bisa dengan nyaman dan gampang menelan seekor gajah utuh. Makna cerpen diraih dari interaksi dua peristiwa yakni lapar selangit dan menelan gajah.

Tentu saja aku sedang berbicara secara ekstrem atau hitam putih sebagai landasan umum dalam memandang kedua jenis karya sastra itu. Kini tak jarang antara karya puisi dan prosa saling tumpang-tindih, campur-baur. Namun demikian, mengharapkan makna kata-kata dari seorang penyair yang meniatkan suatu cerpennya benar-benar cerpen (bukan prosa lirik) aku kira bukan hal yang tepat. Sikap atau penilaian itu mungkin terjadi karena bias dari pembaca akibat penulisnya lebih dikenal sebagai penyair. Dalam kasus ini pada hematku, Zenar, teks dan author benar-benar harus dipisahkan. Author yang lazimnya menulis puisi tentu bebas pula untuk meniatkan dirinya menulis cerpen yang benar-benar prosa. Mengharapkannya agar menciptakan makna kata-kata sebagaimana halnya dalam puisi tentu saja menjadi kurang tepat.

Sumber Cetak: Kompas, 6 April 2001