Penyair Perempuan Indonesia

Puisi Hanna Fransisca, Nissa Rengganis, dan Ni Made Purnama Sari

Mukadimah

Puisi lahir dan berkembang lewat jalannya sendiri. Membawa nasibnya entah ke mana. Puisi memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan ragam sastra lainnya. Ia padat, kuat dan berkarakter hingga puisi hadir dalam ruang yang intisari semacam ekstraksi yang diperas dari berbagai pengalaman hidup. Tetapi justru karena itu pula, puisi punya peluang yang luas dan dalam ketika ia sampai pada penafsiran dan pemaknaanya. Oleh karena itu, suasana di dalam puisi kerap ditafsirmaknai sebagai kegelisahan penyairnya itu sendiri; suasana batin yang cenderung bersifat sangat individual ketika berhadapan dengan pengalaman eksistensial, menyebar sebagai pengalaman bersama. Maka, meskipun penyair mengangkat berbagai tema, kegalauan individual yang sangat personal itu, akan ditafsirmaknai sebagai problem sosio-kultural. Segalanya seperti dipulangkan kembali kepada diri, dan sekaligus dicantelkan pada hakikat kehidupan manusia yang berlaku universal. Jadilah yang muncul ibarat potret dirinya dalam proses memberi makna pada kehidupan manusia. Demikianlah puisi, ia memiliki kepribadian, gaya ucap dan bentuk estetik yang khas, tetapi menyimpan universalitas.

Penyair yang baik adalah mereka yang tidak dihantui bayang-bayang. Bukan epigonis, bukan pembebek. Ia belajar dari kehidupan, pengalaman, dan model estetik penyair di belakangnya. Ia berada dalam ketegangan: konvensi dan inovasi. Mereka (seyogianya) membaca puisi lainnya. Itulah yang kita temukan dalam puisi tiga penyair wanita yang telah menggauli puisi dalam hidupnya. Hanna Fransisca misalnya, dalam ‘Puisi Mei’, menghadirkan sosok seorang anak sebagai tokoh. Anakku menulis puisi/Dengan tinta merah/serupa darah. Permulaan puisi itu membawa kita ke suatu hal yang mengerikan. Mei, adalah namanya, dijadikan tanda untuk menarik pemahaman kepada peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah terjadi, mungkin dalam kehidupannya atau sejarah yang lain. Ada semacam  kegalauan pribadi yang tak bisa ditahan atau disimpan dalam hati sehingga melahirkan kecemasan. Peristiwa inilah yang melatari kepribadian penyair untuk berpuisi. Hanna, tak ingin menjadi seorang diri yang menjadi saksi, dia menutup puisinya dengan bait, Ia tak tega/jika dari matanya/menyimpan saksi/kobaran api.

Berbeda dengan Nissa Rengganis, dalam ‘Kepergian Puisi’, ia menggunakan tokoh Jokpin, bisa jadi tokoh ini adalah penyair atau tokoh imajinatif lain yang ingin dia hadirkan sebagai perwakilan daya ucap pada puisinya. Pada bait Jokpin meneguk kopi/Untuk bait-bait puisi/Ia terus sabar menunggu/Sampai Tuhan membuka tubuhnya/Hingga hilang perih lapar di lambungnya/Hingga kantuk matanya/Berhasil menangkap kata-kata. Tokoh ini, seperti cerminan penyairnya sendiri, bagaimana ia begitu intim pada proses pembuatan puisi. Nissa seolah tak ingin kehilangan kegelisahannya sebagai penyair. Puisi tidak hanya rangkaian kata menjadi kalimat, frasa, bait atau alinea. Puisi bagi Nissa adalah kehidupan penyairnya, dan bagaimana jika puisi meninggalkan penyairnya? Jika puisi sudah tak dimiliki penyiar, bisa jadi penyair itu sudah kehilangan kegelisahannya, atau hidupnya sendiri. Pada penutupan puisinya, jelas Nissa menggambarkan itu, bahwa penyair dan puisi tak akan terpisahkan. Aku bertanya: Sudah sampai mana kegelisahanmu?/Sudah sampai pada ubun di kepala/dan keriput di wajahku.

Ni Made Purnama Sari, penyair perempuan ini menempatkan puisi pada posisi yang suci, bisa jadi untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Dalam puisi ‘Doa Puisi’, Ni Made telah menjadikan penyair dan puisi sebagai energi untuk menghidupkan. Misalnya pada larik pertama, Di stasiun karet aku menunggu bukan untuk chairil/puisi orang mati atau keluh sebuah kota yang berubah. Ada semacam energi untuk membangkang agar dirinya tidak terlena dengan puisi atau kehidupan penyair yang telah memengaruhi kehidupan dalam berproses menjadikannya penyair. Ni Made menyadari kekuatan puisi dapat menggerakan seluruh indera dalam dirinya atau orang lain. Puisi baginya sebagai alat perubahan, pembangkit diri untuk selalu menuju pada dunia yang teduh disaat segalanya tampak riuh dan gemuruh. Ni Made telah menemukan makna puisi sebagai doa yang dipanjatkan oleh setiap orang kepada yang dicintai dan dikasihi. Sehingga, katanya: Semua yang mati/hidup bangkit kembali karena doa puisi.

Itulah energi puisi bagi penyair. Ia tidak hanya hadir sebagai kata-kata melainkan suatu gerakan perubahan dalam sejarah kehidupan manusia. Jika bagi penyair puisi begitu besar pengaruhnya, mengapa kita masih memperdebatkan puisi, tidakkah kita sunyi sejenak menikmati kesuciannya? Salam Puisi!

Penyair Perempuan Indonesia

Hanna Fransisca
Puisi Mei

Anakku menulis puisi.
Dengan tinta merah
serupa darah.

“Di taman kota ada burung mati, Mama.
Aku ingin mendekap, dan menguburkannya.”

Tapi ibu keburu cemas,
Menyuruhku segera berlari.
“Cepatlah bergegas, Mei,
orang-orang berjubah putih
akan tiba sebentar lagi.
Mereka membawa bendera
Bertuliskan nama Tuhan Maha Penyayang.”

“Alangkah kasihan burung kecil itu, Mama. Apakah malam
ini tubuhnya kedinginan? Seperti tubuh ibu,
yang menggigil ketakutan semalaman.”

Aku ingin menyalin puisi itu, anakku,
dengan tinta biru serupa warna taman di surga
yang dipenuhi nyanyian cinta. Agar engkau segera tidur,
dan melupakan ingatan burung mati
dalam igaumu.

Tuhan telah mengambil nyawanya,
Sebelum huru-hara tiba, Mei,
Sebab Tuhan begitu lembut,
Bahkan kepada burung.

“Ia tak tega
Jika dari matanya,
Menyimpan saksi
Kobaran api.”

Jakarta 2017

Hanna Fransisca, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 30 Mei 1979. Ia menempuh pendidikan hinggal lulus SMP dan belajar menulis secara otodidak, lewat dunia maya dan bacaan. Cerita pendeknya pertamanya Darahku Tumpah di Kelenteng, terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Jakarta International Literary Festival 2008. Salah satu naskah lakonnya, Kawan Tidur dibacakan oleh Saturday Acting Club dan Teater Tetas dalam Indonesia Dramatic Reading Festival 2010. Dia juga menulis sejumlah esai dan tulisan-tulisan motivasi. Puisi-puisinya juga dimuat di beberapa media massa, seperti Kompas, Suara Merdeka, Koran Tempo, Horison dan lain-lain. Buku kumpulan puisi tunggalnya adalah Konde Penyair Han (2010), Benih Kayu Dewa Dapur (2012). Minatnya yang tinggi untuk bersekolah menuntunnya untuk berkuliah di Jurusan Psikologi. Dia terpilih sebagai tokoh sastra versi majalah Tempo (2011).

Nissa Rengganis
Kepergian Puisi

Seorang yang lusuh dari dirinya
Sibuk membolak-balikkan koran pagi yang basi
Peristiwa itu-itu saja
Wajah yang selalu begitu
Kopi yang ia reguk berulang kali
Tidak juga meredakan segala gelisahnya

Di antara kemacetan jalan
Aku melihat Jokpin
Membawa kecemasan-kecemasan
Menyeduh beragam macam kopi
Juga puisi
Ia memesan kopi yang lebih hitam dari kantung matanya
Kopi yang lebih asing dari dirinya

Jokpin meneguk kopi
Untuk bait-bait puisi
Ia terus sabar menunggu
Sampai Tuhan membuka tubuhnya
Hingga hilang perih lapar di lambungnya
Hingga kantuk matanya
Berhasil menangkap kata-kata

Ia terus menyeduh kopi
Matanya menatap kejauhan
Entah apa yang ia bayangkan
Barangkali kerinduan
Atau sekadar kenangan
Pada keduanya puisi ia terus hidupkan

Aku bertanya:
Sudah sampai mana kegelisahanmu?
Sudah sampai uban di kepala
Dan keriput di wajahku

Yogyakarta, 2016

Nissa Rengganis, lahir di Kota Cirebon, 08 September 1988. Menyelesaikan sarjana di Ilmu Politik Unsoed Purwokerto. Semasa kuliah bergiat di Teater SiAnak dan mengelola komunitas Terang Sore yang fokus pada budaya literasi. Ia juga terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi Fisip tahun 2010. Aktif menulis esai politik maupun sastra di berbagai media dan sempat menjadi jurnalis magang di Suara Merdeka. Puisi-puisinya tergabung dalam antologi bersama Ibu Kota Keberaksaraan, Jakarta International Literary Festival 2011, Di Kamar Mandi, 62 Penyair Jawa Barat-Komunitas Malaikat Bandung 2012, Sauk Seloko, Penyair Nusantara Jambi 2012, Negeri Abal-Abal, Titik Temu, Komunitas Kampung Jerami 2014, dan lainnya. Buku kumpulan puisi tunggalnya Manuskrip Sepi menjadi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia 2015. Saat ini ia bersama teman-temannya mendirikan dan mengelola Rumah Kertas—rumah sastra yang dihuni anak-anak muda di Cirebon. Saat ini ia menjadi dosen politik di Universitas Muhammadiyah Cirebon.

Ni Made Purnama Sari
Doa Puisi

Di stasiun karet aku menunggu bukan untuk chairil
puisi orang mati atau keluh sebuah kota yang berubah

Nasib buruk berulang lewat
membujuk siapa saja untuk lekas berangkat

Adapun waktu
diam-diam menyamar kepala stasiun
atau penjaga loket yang letih dan payah
selalu memintaku bersitahan menunggu

Mereka menawarkan tiket
menuju dunia baru yang tak pernah kutahu:

Dunia tempat penyair chairil hidup abadi
dan bercinta tak jemu di gerbong tua kereta
Dunia yang jadi rumah teduh
bagi kotaku yang jauh berubah

Baru saja seekor burung menukik dari langit yang nun
menyelusup dalam pikiranku
Suara kicaunya beri warna pada kata-kataku

Lalu kudengar kereta sayup mendekat
membuka pintunya di hadapanku
menampilkan ruang remang sepi penumpang

Semua yang mati
hidup bangkit kembali karena doa puisi

Ni Made Purnama Sari, lahir di Bali, 22 Maret 1989, menulis puisi, prosa, dan esai. Dia menamatkan studi antropologi di Universitas Udayana dan Magister Manajemen Pembangunan Sosial di FISIP Universitas Indonesia. Buku puisi pertamanya, Bali-Borneo, meraih Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2014 dari Yayasan Sagang dan Indopos. Naskah manuskripnya meraih Juara II Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015, terbit dengan judul Kawitan (2016). Buku novel berjudul Kalamata (2016). Ia terpilih mengikuti berbagai program penelitian, Residensi Sastrawan Berkarya dari Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud (Nunukan-Kalimantan Utara, 2016), residensi penulis dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Melbourne, 2017), dll. Selain mendirikan Komunitas Sahaja di Bali, dia sempat bergiat di TEMPO Institute, kurator fiksi-budaya di Indonesiana TEMPO, kontributor, hingga asisten editor buku-buku memoar dan terjemahan. Kini ia bergabung dalam tim bidang program di Bentara Budaya Jakarta.