Mukadimah
Ya. Puisi kerap menyimpan misteri. Tema-tema besar yang sebenarnya boleh dikatakan ‘klise’ seperti pertanyaan tentang Tuhan, kecintaan pada ibu atau ayah yang melahirkan konsep Oedipus dan Electra Complex atau problem individu pada diri sendiri, masyarakat dan alam, kerap muncul dengan perspektif yang lain. Puisi menjadi saluran untuk mengekspresikannya. Itulah misteri puisi. Ada panggilan yang tak terdengar, tetapi ia mengganggu hati dan pikiran. Puisi lalu menjadi alternatif menumpahkannya dalam bentuk yang tak lazim.
Bisa juga lantaran keterpukauan dan ketakjuban, seseorang –sadar atau tidak– tergoda menyampaikan perasaannya. Ia tak dapat menyembunyikan misteri daya pukau, dan puisi menjadi sarananya. Di sinilah keterpengaruhan kadang menjelma sesuatu yang orang mudah saja mencantelkannya pada konteks dan objek yang pernah kita kenal. Begitulah puisi!
Keterpukauan pada alam, lazim juga menjelma misteri yang mencekam. Alam dipandang sangat menakutkan atau menggerakkan nilai spiritualitas ketika dikaitkan dengan sesuatu yang mahamisteri. Begitulah puisi! Misterius dan membius.
Kali ini kita menampilkan tiga puisi yang merepresentasikan misteri itu. Ketiga puisi itu karya Pringadi Abdi Surya, “Sup Kimlo dan Beberapa Hal.
Janggal mengenai Ibu,” Maulidan Rahman Siregar, “Aku”, dan Atik Bintoro, “Diam Pun Bergerak Hoong.”
Pringadi Abdi Surya dalam puisi coba menyajikan diksi ‘baru’, di samping pilihan kata yang lazim kita jumpai dalam puisi-puisi tentang Ibu. Ekspresi yang cukup tajam tampak dengan upaya membaginya ke dalam dua lapisan: spirit feminisme keibuan dan kedalaman cinta pada ibu. Konsep wanita dalam puisi ibu dapat diterima dengan baik dari perasaan khas feminis melankolis, tetapi tidak lupa tambahan sorotan kata surga dengan teknik dan citra yang lebih baik dari nasihat sang Ibu. Puisi ini boleh dikatakan sebagai anarkisme bahasa yang dihasilkan dari pergeseran elemen kalimat yang tidak direncanakan dan tidak konvensional untuk mengalihkan perhatian pembaca.
Puisi “Aku” dengan pesan Kepada: Allah, coba mengekspresikan makhluk yang sedang manjalani takdirnya sebagai manusia di tengah hiruk pikuk hedonisme dan fananya kehidupan dunia. Aku lirik, seperti biasanya gambaran seseorang yang mencitrakan sebagai ‘mesias’ berusaha mengingatkan manusia untuk bertuhan di kala suka dan duka. Ia seolah ingin menyampaikan bahwa Tuhan selalu mengingatkan hamba-Nya, manakala ia lengah. Perlu dicatat bahwa dalam puisi, tujuan atau pesan tidak berarti, karena ia berperan sebagai media untuk “melarikan diri” dari kebakuan setiap kata. Ia berjuang demi menemukan makna yang lebih dalam dari sekadar curhat. Ada kesan hendak menekankan pentingnya pesan daripada ekspresi yang mengalir lepas begitu saja.
Atik Bintoro lain lagi. Ia coba meminta penafsiran mimpinya tentang sepi dalam keramaian. Sebuah paradoks yang bagi Carl Gustav Jung (1998) sebagai bentuk dari salah satu fungsi positif Anima yang terdapat dalam jiwa laki-laki: “Kapan pun akal manusia selalu gagal mendeteksi tindakan tersembunyi dari ketidaksadaran”. Puisi Atik Bintoro membuka kemungkinan pikiran berdamai dengan dirinya sendiri; dengan nilai-nilai batin yang justru nyata. Dengan pengakuan khusus ini, penyair memainkan peran sebagai pemandu dan mediator antara “aku” dan dunia “batin”.
Nah!
Puisi Pringadi Abdi Surya
Sup Kimlo dan Beberapa Hal
Janggal Mengenai Ibu
I.
aku benci ibu ketika ia mulai berceramah,
laki-laki harusnya tak pernah punya dada
sambil menunjukkan dadanya yang gosong,
ia mengajakku ke dapur, lalu mengajarkan
caranya memeras kencur, menghaluskan
andaliman, membedakan kunyit dan jahe,
menciptakan air mata dari bawang bombai.
biasanya ibu menanak batu, malam-malam
kami dipenuhi biji pala dan kembang gedang.
“apa kita akan memasak sup kimlo, Bu?”
sebab kami merindukan ayah dan panglima
bermata basah; sebuah ketukan di pintu
rumah, bunyi denting sendok dan piring,
juga jam dinding yang menyerukan larut,
pertanda kami harus segera berselimut.
hanya malam itu, kami kembali menanak
batu. aku tak tahu kapan batu itu matang
juga kenapa dada ibu menjadi gosong.
II.
tak ada yang lebih menyenangkan dari kabar
surga berada di bawah telapak kaki ibu
di hari ulang tahunnya, aku mengado sepatu
agar surga tidak kotor, menginjak tahi lencung
tetapi ibu lebih suka bertelanjang kaki
sama halnya ia lebih sering bertelanjang dada
“…kita tidak perlu menjadi tertutup, Nak.
Biarlah onak—paku merunjam, barangkali
surga juga butuh luka, butuh darah!”
III.
“…tumis bumbu halus, lalu tuangi air,
biarkan mendidih. masukkan daun melinjo
biarkan matang, lalu masukkan ikan pari
panggang. biarkan mendidih sekali lagi…
…di dadanya.”
buku harian ayah memuat banyak resep:
kangkung balacan, rendang, ayam betutu,
yang tak aku tahu—sambal goreng dada
ayah dikabarkan pergi ke surga dan belum
pulang juga. ah, kasihan ayah, setiap hari
harus diinjak-injak oleh ibu. barangkali
ibu sudah mengunci pintunya agar ayah
tak lagi menguji segala macam bumbu
di dada ibu.
Pringadi Abdi Surya. Sekarang bekerja di Ditjen Perbendaharaan. Novel terbarunya berjudul PHI.
Puisi Maulidan Rahman Siregar
Aku
Kepada: Allah
Kalau habis uangku.
Kutak mau seorang pun kan mengaduh.
Hanya Kau tumpuanku.
Laju kencang doa-doa.
Kalau banyak uangku.
Aku bahkan lupa, bahwa Kau ada.
Selalu ada.
Tapi, bumi selalu kau putar-putar.
Pagi selalu kau datangkan
Serta malam-malam panjang
Jika dalam puisi jelek ini
Kau cabut seluruhku, tiada
Daya dan upaya.
Ampuni aku, hai Zat Mahabaik
Ampun segala luputku.
Ampun, aku jahat.
Kau pemilik pintu
Rahmat dan taubat.
2018
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 03 Februari 1991. Menulis puisi sulit dilakukannya ketika tidur dan salat. Buku puisinya, Tuhan Tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang (2018).
Puisi Atik Bintoro
Diam Pun Bergerak Hoong
Jarak tercepat menghitung nikmat
apakah si lelawa lupa pada malam
derik pun mengigau menjadi raja
suara suara itu mulai
dilipat menjadi
pertaruhan
hooong
buka mata buka hape
berkelana mengubah diri
serupa pesawat terbang idola
tanpa rasa bergerak
tanpa rasa berlari lari
langsung sudah di lokasi
hooong… hong hong
terpaku lantunan pandang
aku masih beraku aku dalam aku
sedang engkau malah berkenan kupanggil mu berkamu kamu
iyya kamu kamunya kamu
Di atas pesawat dari Banyuwangi menuju Jakarta, 11 Juli 2018
Lahir tahun 1964 di desa Jajag, Banyuwangi, Jawa Timur. Kini tinggal di Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Lelaki lulusan Insinyur Teknik Mesin Universitas Brawijaya, dan Master Cum laude Teknik Mesin Universitas Indonesia ini, bekerja di Pusat Teknologi Penerbangan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dia telah melahirkan buku kumpulan puisi tunggal Rimba Dalam Sains (2008), antologi puisi bersama penyair Malaysia Sampah Karat edisi II (2009), Antologi puisi Roket pun Bersyair (2010), Antologi Puisi Tangerang Serumpun Kado Sang Terdakwa (2011), Antologi cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010). Saat ini, Kek Atek aktif bersastra di beberapa komunitas yakni Dapoer Sastra Tjisaoek-Tangerang, dan Mata Aksara Jakarta. Puisi-puisinya dapat dinikmati di web www.kemudian.com, dan facebook Kek Atek. Alamat e-mail : atekbintr@yahoo.co.id.
Leave a Reply