Mukadimah
Puisi itu makhluk ajaib. Ia bisa mengganggu pikiran kita. Kadang menciptakan rasa penasaran yang tiada sudah. Kerap juga menyejukkan hati. Tak jarang pula membuat kita riang gembira. Nah, dengan riang gembira pula, kini kami tayangkan puisi “MENYENTUH PUISI” karya Saiful Anam Assyaibani (Lamongan) dan “SAAT KIM PULANG” karya Yuanda Isha (Kepulauan Riau).
Membaca puisi Anam kita seperti dibawa pada sebuah lelorong yang menggiring kita seolah akan menemukan ‘ruang kosong’. Di dalamnya kita sejenak diam lalu merenung tentang pertanyaan: bagaimana cara menyentuh puisi? Puisi ini terkesan seperti menyajikan sesuatu yang belum selesai. Ada ketersendatan. Tetapi justru di sanalah letak menariknya. Sebuah puisi yang menyisakan ‘antara’ sebagai pintu masuk ke ruang tafsir bagi pembaca. Bisa juga semacam pemantik untuk menghadirkan pertanyaan: bagaimana puisi ini berlanjut masuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca sebagai salah satu cara menyentuh dan mengidentifikasi puisi. Maka, silakan pembaca menafsir puisi ini dari perspektif yang lain.
Sementara itu, puisi Yuan cenderung lebih mengalir dengan tema sosial yang diangkatnya. Gaya ucap puisinya laksana ‘curhat’ pada seseorang bernama Kim. Dia mengeluh dan mengaduhkan segala hal yang mengganggu batinnya. Meski puisi Yuan cenderung menitikberatkan pada aspek komunikasi, kita tetap tidak kehilangan daya pukaunya, bahwa puisi ini bukan tentang ‘apa yang hendak disampaikan’, melainkan ‘bagaimana cara menyampaikan’.
Jakarta 8 Juli 2018
Tim Redaksi
Puisi Saiful Anam Assyaibani
MENYENTUH PUISI
suatu cara untuk menyentuhmu
adalah keheningan antara sepi kayu
angin dan burung-burung
antara kapal-kapal yang berlabuh
dalam hati dan menempatkan satu jangkar
kata pada karang untuk sesaat
ombak dan pasir-pasir
menggarisbawahi
matahari
meski kata-kata mengalir
menggenangi tubuhku yang laut
masih saja jari-jari terkesiap
tak mampu meraih pelampung
di mana air pasang memaksa
burung-burung berhenti terbang
dan tenggelam
maka suatu cara untuk menyentuhmu
adalah memecahkan setiap gelombang
dan ikan-ikan yang kelaparan
serta melewati waktu
tanpa bicara.
Saiful Anam Assyaibani, lahir di Lamongan 12 Maret 1983. Aktivitas keseniannya berada dalam Teater Roda, Komunitas Sastra dan Teater Lamongan dan Ketua bidang Sastra dan Film Dewan Kesenian Lamongan (DKL). Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa seperti: Indupati, Jawa Pos, Bali Pos, Surya, Mimbar, Surabaya Pos, Kidung, Sagang, Bongang, Sidogiri, Buletin Pawon, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Haluan, dan lainnya. Beberapa karyanya juga terdokumentasi secara komunal tak kurang dari 30 Antologi. Bukunya yang telah terbit adalah Syahadat Sukma, Tamasya Langit, The Lamongan Soul, dan buku pengayaan The Art of Theater. Sekarang tinggal di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Jl. Diponegoro No. 20 Simo Sungelebak 16/V Karanggeneng (62254) Lamongan. Kontak: 085655445507
Puisi Yuanda Isha
SAAT KIM PULANG
/1/
Aku masih menyimpan ribuan rajam sebagai ingatan
Oleh itu bacalah ia dari tubuhku yang cokelat
Kau pulang tanpa buah tangan, Kim
Tanpa cinta. Bahkan tanpa membawa tawa
untuk anak-anak yang kehabisan air mata
Kecuali senyum bagi diri sendiri
Jauh hari sebelum kau datang dan saat negeri rubuh
Bapak turut tak selamat bersama benda hitam yang meledak di sakunya
Lalu orang-orang turut mati
Seperti ibu yang kau lihat saat ini
Aku pernah menjadi seribu puisi seperti inginmu
Menjadi sangkar untuk mengurung negeri agar aman
Tetapi gagal!
Lalu kupahami tentang kalimat tak lebih murah dari caci-maki
Sedang toga di kepalamu itu
O, Kim. Andai hari ini boleh kupinjam untuk mereka
Untuk anak-anak yang kehilangan napas, udara dan cahaya
Tetapi aku paham tentang nilai dari segala kerelaan.
Yuanda Isha, lahir di Tanjungpinang (Kepulauan Riau). Menyukai puisi semenjak SMP dan mulai menulis puisi saat masuk SMU. Buku puisi tunggalnya yang terbit adalah Seribu Satu Puisi (2015), Perempuan Menulis (2017), Sejak Kau Ajari Aku Membaca. Ada pun buku antologi bersama yang memuat karyanya antara lain Etape Pejalan Malam (2014), Nyanyian Asmara Perempuan Luka (2014), Menyemai Ingat Menuai Hormat (2015), Kidung Cinta Yuanita (2015), Blencong (2016), Akar Rumput (2017), Akar Cinta Tanah Air Udara Indonesia (2017), Masih Ada Matahari yang Akan Terbit (2017), Mengunyah Geram: Seratus Puisi Melawan Korupsi (2017), Sergam (2018). Saat ini dia aktif sebagai pengasuh Komunitas Sastra Nusantara yang berada dalam naungan Yayasan Halaman Yuan.
Leave a Reply