Sambutan Prof. Dr. Husnan Bey Fananie, M.A.
(Ketua Panitia Hari Puisi Indonesia ke-10)
Chairil Anwar bagi bangsa Indonesia adalah legenda bagi perpuisian Indonesia. Sepak-terjangnya terus-menerus hidup dan dihidupkan para penyair yang kemudian berkembang menghasilkan berbagai cerita, bahkan mitos. Puisi-puisinya diapresiasi banyak kalangan, diajarkan para guru, dan anak-anak sekolah membacakannya dalam berbagai ajang lomba baca puisi. Cuplikan puisi Chairil Anwar: “Aku ini binatang jalang! Aku ingin hidup 1000 tahun lagi! Sekali berarti, sudah itu mati!” kini menjadi jargon anak-anak muda atau siapa pun juga. Semangatnya hendak menegaskan, bahwa manusia mesti berani, mesti punya semangat berjuang di bidang apa pun! Kita juga mesti menjalani kehidupan di dunia ini dengan meninggalkan karya yang dapat dikenang abadi dan dengan reputasi yang baik. Chairil Anwar dalam usianya yang pendek itu berhasil menghidupkan namanya melalui karya-karya yang bermutu.
Karya-karya Chairil Anwar adalah catatan masa lalu. Ia telah menjadi sejarah. Tetapi seperti pesan Bung Karno, “Jas merah: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!” Maka spirit mengenang 100 Tahun Chairil Anwar adalah menegakkan persatuan Indonesia bukan cuma 1000 tahun, tetapi lebih dari itu: abadi dan selamanya! Itulah yang dilakukan para ulama besar kita, para aulia dan pujangga agung kita mulai dari Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, sampai ke Muhammad Yamin dan sastrawan seangkatannya. Mereka sadar, bahwa keberagaman etnik, agama, bahasa, budaya, bahkan juga ideologi penduduk Nusantara ini, meski direkatkan oleh satu bahasa yang dapat digunakan dan dipahami bersama. Berdasarkan semangat itulah, lahir Sumpah Pemuda yang berhasil merumuskan kesadaran bertanah air dan berbangsa yang satu, Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia!
Dalam menghadapi tantangan global dan perubahan zaman yang bergerak begitu cepat, Tuhan telah memberi mukjizat kepada bangsa Indonesia, yaitu Bahasa Indonesia! Sebuah bahasa yang berhasil menumbuhkan sentimen persaudaraan dan kebangsaan. Chairil Anwar berhasil mengembangkannya lebih kreatif menjadi bahasa yang berhasil mengakomodasi berbagai daya ungkap dan pemikiran. Sutardji Calzoum Bachri menegaskan kembali sebagai bahasa yang memberi banyak kemungkinan. Lalu, para penyair Indonesia dengan cara mereka masing-masing tiada henti menyalurkan kreativitasnya lewat karya sastra, lewat puisi. Maka, posisi penyair sesungguhnya sangat strategis, yaitu mengembangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, bahkan juga, bisa saja di suatu saat nanti, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi Asean.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, puisi dapat berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti. Sebab, dalam proses kreatif penulisan puisi, penyair perlu selektif memilih kata-kata dan menentukan diksi. Oleh karena itu, seorang penyair yang sebenar-benarnya penyair, akan selalu berusaha menghasilkan karya puisinya dapat menyentuh hati nurani dan perasaan pembacanya. Di situlah fungsi puisi dan peranan penyair dalam menjalankan kehidupannya di tengah masyarakat. Dari puisi pula akan tercipta kesantunan berbahasa. Dengan demikian, puisi, selain berfungsi menanamkan kesantunan itu, sekaligus juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan praktis, yaitu menolak berita hoaks, menentang ujaran kebencian, dan menumbuhkan semangat yang tak mudah menyerah.
Betapa pentingnya posisi para penyair dalam membangun nilai-nilai budi pekerti bangsa dan semangat kebangsaan, telah diperlihatkan bangsa-bangsa lain di dunia. Sebut misalnya apa yang terjadi di Azerbaijan. Para penyair—sastrawan—intelektual di sana ditempatkan secara terhormat. Sebagai bentuk penghormatan itu, negara membangun patung megah Nizhomi, penyair besar yang dikenal lewat mahakaryanya, Laila Majnun. Patung itu tegak menghadap sebuah museum besar yang di sekelilingnya berdiri patung dan foto para sastrawan. Itulah Museum Sastrawan, dibangun di tengah kota Baku, ibu kota Azerbaijan. Kini tempat itu tidak hanya berfungsi sebagai Taman Kota yang menjadi kebanggaan masyarakat, tetapi juga sebagai potret jati diri yang merepresentasikan sebuah bangsa yang bangga pada reputasi dan produk bangsanya sendiri.
Lihat juga Iran. Bagaimana negara membangun Taman Makam Penyair di Tabriz. Di sana, ada museum dan perpustakaan yang disulap jadi Taman Wisata. Lihat juga Turki. Di sana, ada makam penyair besar Rumi di Konia. Setiap tahun di makam itu diselenggarakan ajang pertemuan sastrawan, penyair, budayawan se-Dunia. Apa maknanya bagi Turki? Rumi yang sesungguhnya penyair sufi agung Persia, telah menyumbangkan “wisata religi” bagi para penyair dan kaum intelektual dunia.
Momentum 100 Tahun Chairil Anwar mesti dijadikan titik berangkat menyebarkan pencerahan bagi bangsa kita. Peringatan 100 Tahun Chairil Anwar bagi kita mesti menjadi semacam aufklarung yang meneguhkan ikatan keindonesiaan, sekaligus juga menyuarakan Indonesia di kancah pergaulan masyarakat dunia. Maka, diplomasi budaya yang dikembangkan pemerintah, perlu diikuti dengan penyebarluasan khazanah sastra Indonesia secara lebih luas. Dengan demikian, memperkenalkan kekayaan dan keberagaman bangsa Indonesia dapat dilakukan melalui keterlibatan para penyair atau sastrawan mancanegara dalam berbagai kegiatan puisi dan sastra Indonesia pada umumnya sebagaimana yang dilakukan Yayasan Hari Puisi!
Sudah 10 tahun Yayasan Hari Puisi menyelenggarakan perayaan Hari Puisi Indonesia. Saya sebagai bagian dari Yayasan Hari Puisi menyadari, betapa pentingnya Perayaan Hari Puisi Indonesia ini diselenggarakan oleh semua lapisan masyarakat kita di seluruh Tanah Air. Tujuannya, menjadikan puisi sebagai gerakan menciptakan kesantunan berbahasa dan sekaligus juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menyebarluaskan nilai-nilai budi pekerti dan meneguhkan semangat kebangsaan.
Dari kawasan Holiwood Amerika Serikat, saya mengucapkan Selamat Memperingati 100 Tahun Chairil Anwar dan Perayaan ke-10 Hari Puisi Indonesia.
Leave a Reply